Kuching  (Antara Kalbar) - Senyum lebar mengiasi wajah pasangan suami istri tenaga kerja Indonesia, Haris Hikma dan Siti Fatimah ketika mendapatkan buku nikah, setelah 30 tahun lalu menikah secara siri di Sarawak, Malaysia Timur.

Pasangan ini mendapatkan buku nikah setelah mengikuti program Sidang Isbat Nikah yang diadakan Konsulat Jenderal RI Kuching dan Kantor Pengadilan Agama Jakarta Pusat, sejak 26 - 28 September 2016, di Kuching, Sarawak.

Mereka sesungguhnya bukanlah pengantin baru. Pasangan ini sudah menikah secara siri 30 tahun lalu. Namun pernikahan tersebut tidak pernah tercatat secara resmi menurut aturan pemerintah RI.

Karena itu, ketika program Sidang Isbat Nikah bagi para TKI di Malaysia yang diinisiasi Kementerian Luar Negeri itu diadakan, mereka pun menyambut dengan semangat.

Haris dan Siti sudah menikah pada tahun 1986. Kini mereka baru bisa memiliki akta kutipan atau buku nikah yang dikeluarkan Kantor Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

"Saya sangat senang dan berterima kasih kepada KJRI yang telah memfasilitasi kami sehingga bisa memiliki buku nikah," ujar Haris saat ditemui usai berfoto bersama Siti di pelaminan untuk semua pasangan suami istri yang disiapkan di halaman KJRI di Kuching.

Haris merupakan TKI yang saat ini bekerja sebagai mandor di sebuah perkebunan sawit di Mukah, Sibu, Sarawak. Sudah panjang perjalanan hidup yang ia lalui bersama istrinya, baik suka maupun duku sebagai TKI di Malaysia.

Ia sendiri merupakan warga asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang sudah meninggalkan kampung halaman sejak 30 tahun lalu untuk merantau mencari pekerjaan di Sarawak, Malaysia Timur atau tepatnya sejak tahun 1986.

"Saya berangkat dari kampung menggunakan kapal laut dan hanya berbekal paspor dan pakaian seadanya. Saat itu, saya sudah bersama Siti Fatimah, tapi masih berstatus pacaran, kemudian bekerja bersama-sama di sebuah ladang sawit di Sabah," ungkapnya.

Saat itu, ia berusia 17 tahun, sedangkan Siti Fatimah baru berusia 13 tahun. "Istri saat itu masih sangat kecil (muda) sekali waktu saya bawa kesini," katanya mengisahkan.

Pria kelahiran tahun 1969 itu melanjutkan perjalanan hidupnya bersama Siti. Setelah dua bulan berada di Sabah, mereka kemudian melangsungkan pernikahan yang disaksikan pemuka agama kampung tempat mereka tinggal.

Seperangkat alat shalat dan sebidang tanah kebun menjadi maskawin. Sebagai bukti pernikahan, selembar surat keterangan mereka dapatkan meski kini, Haris mengaku tidak tahu kemana lagi surat tersebut.

"Kami saling mencintai atau dia suka saya, saya suka dia, sehingga menikahlah kami di sini," ujarnya.

Seusai menikah secara siri, kebahagiaan pasangan tersebut juga disampaikan ke keluarga besar di kampung halaman. Sehingga keluarga di kampung sudah mengetahui mereka sudah menikah dan hidup bersama untuk meraih masa depan di negeri orang.

"Saat ini kami sudah dikaruniai tiga anak. Anak pertama lahir tahun 1988 di Sabah dan diberi nama Muhamad Ali, kemudian setahun kemudian, di tempat yang sama disusul kelahiran anak kedua yang bernama Awaludin, dan si bungsu yang lahir di Bulukumba saat kami pulang ke kampung halaman pada tahun 1998 lalu," katanya.

Menurut bapak tiga anak tersebut, selama bekerja di Malaysia, anak-anak mereka tumbuh dan berkembang serta dirawat oleh paman istrinya di kampung halaman.

Menurut dia, meski hanya nikah siri, anak-anak mereka memiliki akta kelahiran yang digunakan untuk berbagai kelengkapan administrasi, mulai dari sekolah hingga melamar pekerjaan di kampung halaman.

Sebelum nekat merantau, Haris sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 1 SMA. Sedangkan istrinya hanya sempat bersekolah hingga kelas 1 sekolah dasar (SD). Maka dari itu, ia tak mau nasib anak-anaknya sama dengan dirinya.

Sehingga baginya, malang melintang dari ladang perkebunan satu ke perkebunan lainnya sudah biasa, demi keberlangsungan hidup dan pendidikan anak-anak mereka.

"Saya di Sabah selama 12 tahun. Pada tahun 1998, pindah kerja ke daerah Miri. Kemudian berpindah lagi ke daerah Mukah, Sibu, Sarawak pada tahun 2003 hingga saat ini dan menjadi mandor di ladang sawit. Alhamdulillah anak-anak sekarang sudah bekerja dan masih ada yang sekolah," ujarnya.

Anaknya yang pertama Muhammad Ali kini mengabdi kepada negara sebagai anggota TNI AD di Batalyon Infanteri Rider berpangkat Sersan Satu di Makassar. Anak kedua, Awaludin bekerja di perusahaan pelayaran di Samarinda dan si bungsu masih duduk di bangku kelas dua di salah satu pesantren yang ada di Makassar.

Kini Haris dan Siti Fatimah serta puluhan pasangan suami istri TKI lainnya sudah terdaftar pencatatan nikah.

Haris mengaku, informasi sidang isbat ini didapatnya dari pihak KJRI yang mendatangi tempat kerjanya sejak beberapa bulan lalu.

Sehingga ia mempersiapkan segala administrasi dan membawa kedua orang saksi dalam sidang tersebut.

"Dengan memiliki buku nikah, kami tenang dan ada bukti bahwa kami memang pasangan yang sah. Tidak khawatir lagi misalnya kami menginap di hotel, tiba-tiba ada razia," ujarnya.



Isbat Nikah

Kepala Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Mochamad Sukkri menyatakan, untuk mengabulkan dan mengesahkan pernikahan dalam sidang isbat itu, setiap pasangan suami istri peserta sidang isbat nikah harus membuktikan status dan melengkapi administrasi lainnya, misalnya jika salah satunya adalah janda atau duda, mereka harus bisa membuktikan status itu.

"Jika tidak lengkap, tidak akan diikutsertakan dalam isbat ini. Jadi dalam sidang isbat ini, semua tergantung hakim, apakah ditolak, dikabulkan atau tidaknya. Namun sejauh ini semua yang disidang di KJRI ini, lengkap dan dikabulkan oleh majelis hakim," ujarnya.

Selaku Ketua Majelis dalam sidang isbat nikah itu adalah Nurroh Sunah, hakim anggota Istianah dan Suciati. Menurut Sukkri, momen seperti ini untuk memberikan landasan hukum kepada pasangan suami istri atau bagi para TKI bahwa mereka merupakan pasangan sah yang tercatat dan terdaftar oleh negara. Selain itu, juga untuk memberikan perlindungan hukum kepada mereka.

"Mereka nanti akan mendapatkan surat nikah dari Kementerian Agama, tugas kami hanya menyidangkan isbat nikahnya saja," kata Sukkri.

Sidang isbat nikah berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.08-KMA/SK/V 2011 tertanggal 25 Mei 2011 tentang Izin Sidang Pengesahan Perkawinan (Isbat Nikah) di Kantor Perwakilan Republik Indonesia.

Dengan demikian, WNI yang non muslim juga bisa mengurus pernikahan di KUA atau Kantor Perwakilan RI dengan membawa surat dari pihak pengurus agama masing-masing.

"Isbat nikah ini sudah kami lakukan sejak 2011 sementara ini di dua negara prioritas yang banyak WNI. Yakni di Kuching, Kinibalu dan Tawau, Malaysia ini, kemudian di Jeddah, Arab Saudi," katanya.

Pejabat Fungsi Konsuler II KJRI Kuching, Muhammad Abdullah mengatakan sebenarnya yang mendaftar untuk mengikuti sidang isbat nikah itu sebanyak 191 pasangan suami istri.

Namun sebanyak 81 pasangan batal mengikuti sidang isbat nikah karena masih harus menyelesaikan urusan administrasi, salah satunya seperti paspor mereka masih diproses oleh Imigrasi.

"Kami berterima kasih kepada pemerintah karena telah membantu untuk mengesahkan perkawinan para TKI yang bekerja di Sarawak, terutama mereka yang sebelumnya telah menikah siri yang secara agama sudah sah tetapi secara hukum belum diakui oleh negara," katanya.

Menurut Abdullah, program isbat nikah telah berjalan sejak beberapa tahun lalu setelah diketahui banyak pernikahan yang dilakukan WNI khususnya para TKI yang tidak tercatat baik di KJRI maupun di kantor KUA.

Untuk mengikuti sidang isbat nikah ini hanya dikenakan biaya administrasi sebesar Rp116.000 atau 38 ringgit Malaysia, dan uang tersebut langsung dikirimkan ke rekening Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Adapun syarat yang harus dipenuhi calon peserta, di antaranya surat yang menyatakan kebenaran telah menikah secara agama atau menikah di bawah tangan, kemudian mengisi formulir dan berkas pendaftaran dengan menyertakan fotokopi identitas serta pas foto.

Kemudian pasangan suami istri yang telah menjalani sidang isbat nikah dan dinyatakan sah akan mendapatkan buku nikah sebagai bentuk pengesahan perkawinan atau pernikahannya.

"Program sidang isbat nikah itu bagian dari prioritas Kementerian Luar Negeri dan bagian dari perlindungan hukum bagi warga negara," katanya.


(U.A057/N005)

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016