Arizona (Antara Kalbar) - Pekan ini, hakim federal di Phoenix akan menggelar sidang dengan mendengarkan argumen terkait kelanjutan hukuman eksekusi mati di Arizona.

Pada 2014 lalu, proses hukuman suntik mati Joseph Wood di Arizona, yang membutuhkan waktu dua jam, telah menimbulkan pertanyaan mengenai protokol dan zat kimia yang digunakan untuk mengeksekusi tahanan tersebut.

Kasus ini adalah babak baru dari pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan mengenai penggunaan zat kimia untuk mengeksekusi tahanan di banyak negara bagian dan kemungkinan akhirnya akan menempatkan isu tersebut untuk diuji ulang oleh Mahkamah Agung AS.

Tahun lalu, Arizona telah mengubah prosedur suntik matinya selepas masalah yang ada saat eksekusi Joseph Wood pada 2014 lalu.

Akan tetapi, para kuasa hukum bagi tujuh terpidana mati di Arizona berpendapat pedoman dan zat-zat baru yang digunakan akan melanggar konstitusi AS yang melindungi tahanan dari hukuman kejam dan tidak biasa.

Masalah utama dalam sidang yang ditetapkan pada Rabu di pengadilan distrik AS itu, adalah mengenai obat penenang midazolam yang merupakan valium.

Kritikus obat menilai obat tersebut tidak membuat tahanan mencapai tingkat ketidaksadaran yang diperlukan untuk operasi, karenanya tidak cocok diperuntukan bagi eksekusi mati.

Obat tersebut digunakan bersama dengan hydromorphone (zat adiptif) dalam eksekusi mati Wood. Dia terlihat terengah-engah selama prosedur yang membutuhkan waktu hampir dua jam dengan 15 kali suntikan zat kimia.

Padahal seharusnya hukuman suntik mati menyebabkan kematian dalam hitungan menit.

Di bawah protokol baru, Arizona berencana menggunakan midazolam bersama dengan obat-obatan yang menyebabkan kelumpuhan dan menghentikan jantung.

Kombinasi yang sama juga digunakan di Oklahoma yang juga memiliki sejarah masalah eksekusi mati ketika seorang terpidana mati terlihat memutar di atas brankar dalam ruang eksekusi.

Para kuasa hukum dari terpidana mati berpendapat zat dalam obat tersebut dan kemurniannya telah dirahasiakan sejak perusahaan farmasi pembuatnya di Eropa dan AS, Pfizer Inc menghentikan penjualan obat-obat mereka untuk digunakan dalam eksekusi mati dalam beberapa tahun terakhir.

Mereka juga menyebut jika midazolam memang benar-benar efektif, maka tidak akan dibutuhkan zat pelumpuh yang digunakan untuk menutupi rasa sakit.

Para kuasa hukum itu juga menginginkan eksekusi mati ditunda sementara karena pengadilan tengah meninjau ulang protokol eksekusi mati itu.

"Para pejabat di Arizona telah mati-matian melindungi kerahasiaan penggunaan kombinasi obat-obatan percobaan yang hanya akan meningkatkan resiko dalam eksekusi mati yang bermasalah, " kata salah satu pengacara Dale Baich.

Sementara pihak negera bagian berpendapat protokol tersebut telah memperbaiki masalah sebelumnya dan telah mengacu pada putusan Mahkamah Agung AS pada 2015 yang memperbolehkan penggunaan midazolam dalam eksekusi mati.

"Saya akan meminta pengadilan (distrik) untuk ingat bahwa korban dan pemerintah negara bagian memiliki hak dan kepentingan juga, termasuk kepentingan untuk pelaksanaan putusan tepat waktu dan penegakan hukumnya sendiri," kata David Weinzig yang mewakili Arizona dalam persidangan pada tahun ini.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016