Jakarta (Antara Kalbar) - Peluncuran Satelit 3S milik Telkom sukses
dilakukan pada 14 Februari 2017 pukul 18.39 waktu setempat di Kourou
Guyana, Prancis. Peluncuran satelit itu telah memenuhi harapan banyak
pihak, umumnya rakyat Indonesia karena nantinya akan sangat membantu dan
mendukung pembangunan ekonomi berbasis digital.
Terkait peluncuran satelit tersebut Direktur Utama Telkom Alex J Sinaga menyampaikan apresiasinya terhadap kesuksesan peluncuran satelit itu.
Ia juga mengapresiasi kerja keras Telkom serta mitra manufaktur dan launcher (pelontar) satelit Telkom 3S itu. Satelit tersebut diproduksi oleh Thales Alenia Space dan diluncurkan oleh roket milik Arianespace.
"Praise the Lord. Congratulations. Thank you very much for Thales and Arianespace for this fantastic job," ujarnya pada kesempatan tersebut. Ia juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada rombongan yang hadir dari Kementerian Kominfo dan Kementerian BUMN.
Dirut Telkom menyatakan sangat bangga atas suskesnya peluncuran satetlit Telkom 3S itu serta berharap ke depan peran Telkom semakin strategis dalam mendukung program Nawacita, khususnya dalam mengembangkan ekonomi Indonesia yang berbasis digital.
Dengan adanya peluncuran satelit itu juga diharapkan pelayanan Telkom kepada masyarakat Indonesia ke depan semakin baik serta menjangkau daerah terpencil dan terluar.
Setelah peluncuran Satelit Telkom 3S, semua rombongan pada 15 Februari 2017 kembali ke Indonesia. Beberapa orang ada yang sengaja mampir ke Suriname.
Suriname adalah negara yang menarik untuk diceritakan karena di sana banyak orang Suriname keturunan Jawa. Catatan dan informasi yang tersedia menyebutkan, Suriname (Surinam) dahulu bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda.
Suriname adalah sebuah negara di Amerika Selatan, bekas jajahan Belanda. Negara itu berbatasan dengan Guyana Prancis di timur dan Guyana di barat, sedangkan di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara dengan Samudra Atlantik, dengan luas keseluruhan 163.821 km2 .
Keturunan Jawa
Di Suriname terdapat banyak warga keturunan Jawa yang dibawa ke sana dari Hindia Belanda (Nusantara) antara tahun 1890-1939.
Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad ke-15, yaitu ketika bangsa-bangsa imperialis Eropa berlomba menguasai Guyana, suatu dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon, Rio Negro, Sungai Cassiquiare, dan Sungai Orinoco.
Semula dataran ini oleh para ahli kartografi diberi nama Guyana Karibania. "Guyana" berarti dataran luas yang dialiri oleh banyak sungai, dan "Karibania" berasal dari kata "Caribs", yakni nama penduduk asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut.
Pada 1870, Pemerintah Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan imigran asing ke Suriname. Perjanjian ini diimplementasikan secara resmi pada 1873 sampai 1917, dimana rombongan imigran Hindustan pertama dari India didatangkan, termasuk imigran dari Jawa yang didatangkan pada 1890 - 1939.
Seiring dengan ditempatkannya para imigran di sektor perkebunan, Suriname mengalami kemajuan pula dalam beberapa bidang lainnya, seperti telekomunikasi, pembuatan jalan raya, dan pembukaan jalur hubungan laut langsung antara Suriname dan Belanda.
Namun sebenarnya tidak semua "orang Jawa" di Suriname adalah etnis Jawa, karena terdapat juga suku Sunda, Madura, dan beberapa suku lainnya. Tetapi karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa.
Dilihat dari asalnya, kurang lebih 70 persen orang Jawa itu berasal dari Jawa Tengah, 20 persen dari Jawa Timur, dan 10 persen dari Jawa Barat. Kurang lebih 90 persen termasuk etnis Jawa; 5 persen Sunda; 2,5 persen Madura dan 2,5 persen suku lain, termasuk juga orang-orang dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu.
Bahasa selain Jawa seperti Sunda dan Madura sudah tak dituturkan lagi serta tidak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname.
Diguncang kudeta
Pada 25 Februari 1980, lima tahun setelah kemerdekaannya, Suriname diguncang oleh kudeta yang dilancarkan pihak militer, Pelakunya adalah para Sersan yang dipimpin Sersan Mayor Desiree Delano Bouterse dan Sersan Roy Dennis Horb.
Peristiwa kudeta ini telah mengakibatkan jatuhnya Pemerintah Demokrasi Parlementer pertama sejak kemerdekaan Suriname. Sebagai reaksi terhadap pemberontakan tersebut, pada 8 Desember 1982 pihak militer melakukan penembakan terhadap 15 tokoh oposisi demonstran.
Peristiwa ini telah menjadi penyebab bagi dihentikannya bantuan pembangunan Belanda kepada Suriname yang berdampak pada semakin buruknya kondisi perekonomian negara itu.
Pemerintahan militer diakhiri dengan penyelenggaraan pemilihan umum pada November 1987 yang telah mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada golongan sipil.
Namun pemerintahan hasil pemilu ini tidak berjalan lama. Kemudian, pelaksanaan Pemilu 25 Mei 2000 mengantarkan kembali R.R. Venetiaan (NPS) ke tampuk kursi kepresidenan dan memimpin Suriname untuk masa lima tahun (tahun 2000-2005).
Saat ini Presiden Suriname dijabat oleh Dasai Bouterse dari partai National Democratic yang diangkat sejak 20 Agustus 2010. Dia berasal dari partai National Democratic.
Populasi Suriname terdiri dari beberapa kelompok minoritas. Kelompok terbesarnya adalah Hindustani. Berdasarkan data statistik dari Biro Pusat Administrasi Kependudukan Suriname, jumlah penduduk Suriname pada sensus tahun 2003 tercatat 481.146 orang.
Sekitar 14,7 persen merupakan suku Jawa, sebagian besar Hindustan, dan selebihnya adalah suku Kreol, Tionghoa, dan lain-lain. Mayoritas beragama Kristen, sedangkan Islam hanya 13,5 persen.
Bahasa resmi di Suriname adalah Bahasa Belanda, juga bahasa Sranang Tongo, bahasa Hindustani, dan bahasa Jawa Suriname. Ada juga bahasa asal bahasa Karibia dan bahasa Arawakan, yakni bahasa orang India Suriname.
Selain itu, bahasa Inggris digunakan secara luas, terutama yang terkait dengan fasilitas dan toko yang berorientasi pariwisata. Demikian sekilas profil Suriname yang kami dapatkan. Kami sungguh bersyukur dapat berkunjung ke negara itu.
Duta Besar RI untuk Suriname Dominicus Supratikto (Tikto) asal Yogya begitu respek dan sangat membantu kami, sehingga perjalan kami ke Suriname berjalan lancar.
Perjalanan kami menghabiskan waktu lebih kurang lima jam, yakni dua jam perjalanan darat hingga perbatasan, dilanjutkan naik kapal ferry selama 30 menit, kemudian dilanjutkan jalan darat selama dua jam utuk sampai di Ibukota Paramaribo.
Warung Bu Toeti
Sebelum masuk ke kota Paramaribo, kami terlebih dahulu mampir di salah satu warung milik orang Suriname keturunan Jawa. Namanya "Warung Bu Toeti". Sungguh terasa sekali nuansa Jawa-nya.
Selain pemilik warung masih berbahasa Jawa, juga disain warung dan warna yang disajikan bernuansa Jawa. Ada juga kain batik dan gambar wayang Jawa, sementara makanan yang disajikan adalah makanan khas Jawa seperti telo teri, soto serta goreng tahu dan urap. Sungguh kami merasa seperti mudik ketika Lebaran di Indonesia.
Setelah makan siang, kami melanjutkan kunjungan ke lokasi pertama dimana orang Jawa atau para imigran Jawa tiba di Suriname pada 1890.
Konon ceritanya, saat itu jumlah orang Jawa dari Hindia Belanda (Nusantara) yang diturunkan dari kapal laut lebih kurang 3.000 orang yang semuanya dipekerjakan di kebun-kebun maupun pabrik gula milik Belanda.
Kamipun tak lupa mampir ke pabrik gula di Parimaribo. Kami disambut oleh bapak tua keturunan Jawa yang bernama Bimbo. Dia sangat antusias menjawab pertanyaan ketika tahu kami datang dari Indonesia.
Bimbo langsung membawa kami ke sudut-sudut lokasi pabrik dengan bahasa "Jawa medok". Menurut dia, dulu hampir sebagian besar buruh pabrik adalah orang Jawa. Selebihnya orang India keling dan orang Kreol.
Sayang sekali pabrik gula di Paramaribo itu sudah tidak beroperasi lagi semenjak Belanda melepaskan Suriname pada 25 November 1975. Sebagai dampaknya, kebun-kebun tebu di Suriname lenyap. Para pekerja yang semula bekerja di pabrik tebu kemudian beralih menjadi buruh toko dan buruh pabrik lainnya.
Setelah mengunjungi pabrik gula yang sudah tidak beroperasi itu, rombonganpun sepakat untuk mampir sholat di Masjid Darul Falah. Pengurus masjid tersebut adalah Ustadz Sobri asal Cilacap dan masih WNI yang juga berkedudukan sebagai Ketua "Nurusobri Islamic Foundation of Suriname".
Selesai beramah-tamah dengan Ustadz Sobri, rombongan melanjutkan perjalanan ke tempat penginapan (hotel) untuk bersitirahat. Pada malam harinya kami akan dijamu oleh Dubes Dominicus Supraptikto yang juga akan memperkenalkan kami ke beberapa pengusaha Jawa Suriname.
Kami pun mendapat informasi bahwa penganut Islam keturunan Jawa masih ada yang shalatnya berkiblat ke arah barat, karena masih memegang kebiasaan leluhurnya dulu di Indonesia yang sholatnya mengarah ke barat. Sejatinya arah kiblat yang benar di Suriname adalah ke timur.
Meskipun berbeda pemahaman arah kiblat, kerukunan agama di Suriname sangat baik, karena tidak pernah ada konflik terjadi terkait persoalan agama.
Tepat setelah shalat magrib, kami memenuhi undangan makan malam Dubes Indonesia untuk Suriname. Dalam jamuan makan tersebut hadir pula istri Dubes serta beberapa pengusaha lokal Suriname keturunan Jawa, yaitu Mr Marciano Dasai selaku Direktur Wahida Collections, Mr Jurmic Kartodongso sebagai Dirketur Jammie dan Suja Management, dan Mr Erwin Atmodimedjo sebagai Managing Director of Solve IT.
Mr. Marciano berbisnis di bidang pakaian dan furniture yang diimpor dari Indonesia. Dia menyelesaikan kuliah S1 dan S2 di UGM Yogyakarta, dan sekarang sedang menyelesaikan studi S3 di perguruan tinggi yang sama.
Sementara itu Mr Jurmic adalah seorang "entertainer" yang populer di Suriname dengan group lawaknya "Dast Cabaret" serta berbisnis sebagai pengusaha restoran dan sosis terkenal, sedangkan Mr Erwin adalah pengusaha di bidang IT, semengtara Dr Jim adalah pemilik Rumah Sakit dan Pembiayaan Syariah.
Keesokan harinya, pada 16 Februari 2017 kami diajak oleh Dubes Tikto untuk bertemu dengan beberapa pengusaha Suriname guna melihat kemungkinan kerjasama bisnis atau usaha dengan pengusaha Indonesia. Beberapa peluang usaha yang ditawarkan adalah di bidang industri kayu/furniture serta tambang dan wisata.
Dari pertemuan tersebut, para pengusaha Suriname tertarik untuk datang ke Indonesia pada April 2017. Mereka akan bertemu beberapa pengusaha dan pimpinan BUMN terkait guna membicarakan kemungkinan kerjasama usaha yang akan difasilitasi oleh Kementerian Kominfo dan Kementerian BUMN serta akan dikoordinasikan oleh Kedutaan Besar RI di Suriname.
Sudah dua malam kami berada di Suriname. Sebelum berangkat ke Bandara untuk pulang ke Indonesia, kami menyempatkan diri untuk berkeliling kota Suriname serta berkunjung ke rumah-rumah peninggalan Belanda dan Istana Presiden Suriname.
Di pasar-pasar kami pun banyak menjumpai orang-orang keturunan Jawa yang juga masih bisa berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Barang-barang yang dijual ada batik serta lukisan khas Jawa dan souvenir bernuansa Jawa.
Dalam siaran radiopun kami mendengar lagu-lagu Jawa. Salah satu radio yang cukup terkenal di sana adalah radio "Mustika" yang juga masih berbau jawa.
Sungguh banyak cerita dan pengalaman menarik yang kami dapatkan di Suriname. Rasanya tidak cukup dan mampu kami tulis di sini. Yang jelas, kami merasa Indonesia ada di Suriname, dan mudah-mudahan "rasa Indonesia" itu serta budaya Jawa di sana tetap terjaga, selain tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Suriname.
Kami harus segera berangkat ke Bandara. Jadwal kami harus kembali ke Jakarta melalui Amsterdam tepat jam 14.00 waktu Suriname. Selamat tinggal Suriname!!!
Penulis*, Asisten Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media 1 Kementerian BUMN.
(A015/N004)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
Terkait peluncuran satelit tersebut Direktur Utama Telkom Alex J Sinaga menyampaikan apresiasinya terhadap kesuksesan peluncuran satelit itu.
Ia juga mengapresiasi kerja keras Telkom serta mitra manufaktur dan launcher (pelontar) satelit Telkom 3S itu. Satelit tersebut diproduksi oleh Thales Alenia Space dan diluncurkan oleh roket milik Arianespace.
"Praise the Lord. Congratulations. Thank you very much for Thales and Arianespace for this fantastic job," ujarnya pada kesempatan tersebut. Ia juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada rombongan yang hadir dari Kementerian Kominfo dan Kementerian BUMN.
Dirut Telkom menyatakan sangat bangga atas suskesnya peluncuran satetlit Telkom 3S itu serta berharap ke depan peran Telkom semakin strategis dalam mendukung program Nawacita, khususnya dalam mengembangkan ekonomi Indonesia yang berbasis digital.
Dengan adanya peluncuran satelit itu juga diharapkan pelayanan Telkom kepada masyarakat Indonesia ke depan semakin baik serta menjangkau daerah terpencil dan terluar.
Setelah peluncuran Satelit Telkom 3S, semua rombongan pada 15 Februari 2017 kembali ke Indonesia. Beberapa orang ada yang sengaja mampir ke Suriname.
Suriname adalah negara yang menarik untuk diceritakan karena di sana banyak orang Suriname keturunan Jawa. Catatan dan informasi yang tersedia menyebutkan, Suriname (Surinam) dahulu bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda.
Suriname adalah sebuah negara di Amerika Selatan, bekas jajahan Belanda. Negara itu berbatasan dengan Guyana Prancis di timur dan Guyana di barat, sedangkan di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara dengan Samudra Atlantik, dengan luas keseluruhan 163.821 km2 .
Keturunan Jawa
Di Suriname terdapat banyak warga keturunan Jawa yang dibawa ke sana dari Hindia Belanda (Nusantara) antara tahun 1890-1939.
Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad ke-15, yaitu ketika bangsa-bangsa imperialis Eropa berlomba menguasai Guyana, suatu dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon, Rio Negro, Sungai Cassiquiare, dan Sungai Orinoco.
Semula dataran ini oleh para ahli kartografi diberi nama Guyana Karibania. "Guyana" berarti dataran luas yang dialiri oleh banyak sungai, dan "Karibania" berasal dari kata "Caribs", yakni nama penduduk asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut.
Pada 1870, Pemerintah Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan imigran asing ke Suriname. Perjanjian ini diimplementasikan secara resmi pada 1873 sampai 1917, dimana rombongan imigran Hindustan pertama dari India didatangkan, termasuk imigran dari Jawa yang didatangkan pada 1890 - 1939.
Seiring dengan ditempatkannya para imigran di sektor perkebunan, Suriname mengalami kemajuan pula dalam beberapa bidang lainnya, seperti telekomunikasi, pembuatan jalan raya, dan pembukaan jalur hubungan laut langsung antara Suriname dan Belanda.
Namun sebenarnya tidak semua "orang Jawa" di Suriname adalah etnis Jawa, karena terdapat juga suku Sunda, Madura, dan beberapa suku lainnya. Tetapi karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa.
Dilihat dari asalnya, kurang lebih 70 persen orang Jawa itu berasal dari Jawa Tengah, 20 persen dari Jawa Timur, dan 10 persen dari Jawa Barat. Kurang lebih 90 persen termasuk etnis Jawa; 5 persen Sunda; 2,5 persen Madura dan 2,5 persen suku lain, termasuk juga orang-orang dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu.
Bahasa selain Jawa seperti Sunda dan Madura sudah tak dituturkan lagi serta tidak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname.
Diguncang kudeta
Pada 25 Februari 1980, lima tahun setelah kemerdekaannya, Suriname diguncang oleh kudeta yang dilancarkan pihak militer, Pelakunya adalah para Sersan yang dipimpin Sersan Mayor Desiree Delano Bouterse dan Sersan Roy Dennis Horb.
Peristiwa kudeta ini telah mengakibatkan jatuhnya Pemerintah Demokrasi Parlementer pertama sejak kemerdekaan Suriname. Sebagai reaksi terhadap pemberontakan tersebut, pada 8 Desember 1982 pihak militer melakukan penembakan terhadap 15 tokoh oposisi demonstran.
Peristiwa ini telah menjadi penyebab bagi dihentikannya bantuan pembangunan Belanda kepada Suriname yang berdampak pada semakin buruknya kondisi perekonomian negara itu.
Pemerintahan militer diakhiri dengan penyelenggaraan pemilihan umum pada November 1987 yang telah mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada golongan sipil.
Namun pemerintahan hasil pemilu ini tidak berjalan lama. Kemudian, pelaksanaan Pemilu 25 Mei 2000 mengantarkan kembali R.R. Venetiaan (NPS) ke tampuk kursi kepresidenan dan memimpin Suriname untuk masa lima tahun (tahun 2000-2005).
Saat ini Presiden Suriname dijabat oleh Dasai Bouterse dari partai National Democratic yang diangkat sejak 20 Agustus 2010. Dia berasal dari partai National Democratic.
Populasi Suriname terdiri dari beberapa kelompok minoritas. Kelompok terbesarnya adalah Hindustani. Berdasarkan data statistik dari Biro Pusat Administrasi Kependudukan Suriname, jumlah penduduk Suriname pada sensus tahun 2003 tercatat 481.146 orang.
Sekitar 14,7 persen merupakan suku Jawa, sebagian besar Hindustan, dan selebihnya adalah suku Kreol, Tionghoa, dan lain-lain. Mayoritas beragama Kristen, sedangkan Islam hanya 13,5 persen.
Bahasa resmi di Suriname adalah Bahasa Belanda, juga bahasa Sranang Tongo, bahasa Hindustani, dan bahasa Jawa Suriname. Ada juga bahasa asal bahasa Karibia dan bahasa Arawakan, yakni bahasa orang India Suriname.
Selain itu, bahasa Inggris digunakan secara luas, terutama yang terkait dengan fasilitas dan toko yang berorientasi pariwisata. Demikian sekilas profil Suriname yang kami dapatkan. Kami sungguh bersyukur dapat berkunjung ke negara itu.
Duta Besar RI untuk Suriname Dominicus Supratikto (Tikto) asal Yogya begitu respek dan sangat membantu kami, sehingga perjalan kami ke Suriname berjalan lancar.
Perjalanan kami menghabiskan waktu lebih kurang lima jam, yakni dua jam perjalanan darat hingga perbatasan, dilanjutkan naik kapal ferry selama 30 menit, kemudian dilanjutkan jalan darat selama dua jam utuk sampai di Ibukota Paramaribo.
Warung Bu Toeti
Sebelum masuk ke kota Paramaribo, kami terlebih dahulu mampir di salah satu warung milik orang Suriname keturunan Jawa. Namanya "Warung Bu Toeti". Sungguh terasa sekali nuansa Jawa-nya.
Selain pemilik warung masih berbahasa Jawa, juga disain warung dan warna yang disajikan bernuansa Jawa. Ada juga kain batik dan gambar wayang Jawa, sementara makanan yang disajikan adalah makanan khas Jawa seperti telo teri, soto serta goreng tahu dan urap. Sungguh kami merasa seperti mudik ketika Lebaran di Indonesia.
Setelah makan siang, kami melanjutkan kunjungan ke lokasi pertama dimana orang Jawa atau para imigran Jawa tiba di Suriname pada 1890.
Konon ceritanya, saat itu jumlah orang Jawa dari Hindia Belanda (Nusantara) yang diturunkan dari kapal laut lebih kurang 3.000 orang yang semuanya dipekerjakan di kebun-kebun maupun pabrik gula milik Belanda.
Kamipun tak lupa mampir ke pabrik gula di Parimaribo. Kami disambut oleh bapak tua keturunan Jawa yang bernama Bimbo. Dia sangat antusias menjawab pertanyaan ketika tahu kami datang dari Indonesia.
Bimbo langsung membawa kami ke sudut-sudut lokasi pabrik dengan bahasa "Jawa medok". Menurut dia, dulu hampir sebagian besar buruh pabrik adalah orang Jawa. Selebihnya orang India keling dan orang Kreol.
Sayang sekali pabrik gula di Paramaribo itu sudah tidak beroperasi lagi semenjak Belanda melepaskan Suriname pada 25 November 1975. Sebagai dampaknya, kebun-kebun tebu di Suriname lenyap. Para pekerja yang semula bekerja di pabrik tebu kemudian beralih menjadi buruh toko dan buruh pabrik lainnya.
Setelah mengunjungi pabrik gula yang sudah tidak beroperasi itu, rombonganpun sepakat untuk mampir sholat di Masjid Darul Falah. Pengurus masjid tersebut adalah Ustadz Sobri asal Cilacap dan masih WNI yang juga berkedudukan sebagai Ketua "Nurusobri Islamic Foundation of Suriname".
Selesai beramah-tamah dengan Ustadz Sobri, rombongan melanjutkan perjalanan ke tempat penginapan (hotel) untuk bersitirahat. Pada malam harinya kami akan dijamu oleh Dubes Dominicus Supraptikto yang juga akan memperkenalkan kami ke beberapa pengusaha Jawa Suriname.
Kami pun mendapat informasi bahwa penganut Islam keturunan Jawa masih ada yang shalatnya berkiblat ke arah barat, karena masih memegang kebiasaan leluhurnya dulu di Indonesia yang sholatnya mengarah ke barat. Sejatinya arah kiblat yang benar di Suriname adalah ke timur.
Meskipun berbeda pemahaman arah kiblat, kerukunan agama di Suriname sangat baik, karena tidak pernah ada konflik terjadi terkait persoalan agama.
Tepat setelah shalat magrib, kami memenuhi undangan makan malam Dubes Indonesia untuk Suriname. Dalam jamuan makan tersebut hadir pula istri Dubes serta beberapa pengusaha lokal Suriname keturunan Jawa, yaitu Mr Marciano Dasai selaku Direktur Wahida Collections, Mr Jurmic Kartodongso sebagai Dirketur Jammie dan Suja Management, dan Mr Erwin Atmodimedjo sebagai Managing Director of Solve IT.
Mr. Marciano berbisnis di bidang pakaian dan furniture yang diimpor dari Indonesia. Dia menyelesaikan kuliah S1 dan S2 di UGM Yogyakarta, dan sekarang sedang menyelesaikan studi S3 di perguruan tinggi yang sama.
Sementara itu Mr Jurmic adalah seorang "entertainer" yang populer di Suriname dengan group lawaknya "Dast Cabaret" serta berbisnis sebagai pengusaha restoran dan sosis terkenal, sedangkan Mr Erwin adalah pengusaha di bidang IT, semengtara Dr Jim adalah pemilik Rumah Sakit dan Pembiayaan Syariah.
Keesokan harinya, pada 16 Februari 2017 kami diajak oleh Dubes Tikto untuk bertemu dengan beberapa pengusaha Suriname guna melihat kemungkinan kerjasama bisnis atau usaha dengan pengusaha Indonesia. Beberapa peluang usaha yang ditawarkan adalah di bidang industri kayu/furniture serta tambang dan wisata.
Dari pertemuan tersebut, para pengusaha Suriname tertarik untuk datang ke Indonesia pada April 2017. Mereka akan bertemu beberapa pengusaha dan pimpinan BUMN terkait guna membicarakan kemungkinan kerjasama usaha yang akan difasilitasi oleh Kementerian Kominfo dan Kementerian BUMN serta akan dikoordinasikan oleh Kedutaan Besar RI di Suriname.
Sudah dua malam kami berada di Suriname. Sebelum berangkat ke Bandara untuk pulang ke Indonesia, kami menyempatkan diri untuk berkeliling kota Suriname serta berkunjung ke rumah-rumah peninggalan Belanda dan Istana Presiden Suriname.
Di pasar-pasar kami pun banyak menjumpai orang-orang keturunan Jawa yang juga masih bisa berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Barang-barang yang dijual ada batik serta lukisan khas Jawa dan souvenir bernuansa Jawa.
Dalam siaran radiopun kami mendengar lagu-lagu Jawa. Salah satu radio yang cukup terkenal di sana adalah radio "Mustika" yang juga masih berbau jawa.
Sungguh banyak cerita dan pengalaman menarik yang kami dapatkan di Suriname. Rasanya tidak cukup dan mampu kami tulis di sini. Yang jelas, kami merasa Indonesia ada di Suriname, dan mudah-mudahan "rasa Indonesia" itu serta budaya Jawa di sana tetap terjaga, selain tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Suriname.
Kami harus segera berangkat ke Bandara. Jadwal kami harus kembali ke Jakarta melalui Amsterdam tepat jam 14.00 waktu Suriname. Selamat tinggal Suriname!!!
Penulis*, Asisten Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media 1 Kementerian BUMN.
(A015/N004)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017