Ngabang (Antara Kalbar) - Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kabupaten Landak Klemen Apui mendesak pengusaha kelapa sawit di wilayah itu untuk patuh terhadap pedoman harga tandan buah segar (TBS) yang ditetapkan pihak provinsi.
"Selama ini harga yang dibeli oleh pabrik kelapa sawit yang di Landak ini bervariasi, artinya antara satu pabrik dengan pabrik lain atau pengusaha yang satu dengan pengusaha yang lain tidak mempedomani harga yang ditetapkan tim Provinsi," kata Klemen Apui saat dihubungi di Ngabang, Rabu.
Menurut dia, lanjut Klemen, setiap pabrik menentukan harganya masing-masing kecuali PTPN 13 terhadap petaninya, berdasarkan tahun tanam. Artinya berpeoman dengan harga yang ditetapkan Disbun Provinsi.
"Tetapi untuk pekebun-pekebun lain atau pekebun-pekebun mitra itu di bawah harga yang ditentukan tim penetapan harga TBS Provinsi. Sementara harga di Kementan itu tidak mengenal jenis petani kelapa sawit, jadi hanya menyebut pekebun kelapa sawit," ungkapnya.
Untuk di luar petani misalnya plasma atau KKPA itu mengadakan kerja sama kemitraan, tetapi dalam ketentuan tidak ada perbedaan antara petani yang dibina oleh PTPN 13 atau pun yang di luar PTPN 13 misalnya. Artinya seluruh petani kelapa sawit dianggap sama kedudukannya.
"Artinya harus dibeli berdasarkan tahun tanam, itu ketentuannya yang disepakati oleh pengusaha kelapa sawit yang ada di Kalbar. Itu setiap dua minggu diadakan rapat di kantor Dinbun Provinsi," ungkap Klemen.
Menurut mantan anggota DPRD Kabupaten Landak ini, dari fakta di lapangan, banyak perusahaan membeda-bedakan perusahaan dan petani mandiri. "Petani kelapa sawit itu di anak tirikan, TBS nya rendemennya dianggap kurang," ujarnya.
Saat ini harga TBS tergantung masa tanam, untuk yang 25 tahun Rp1.900an harga tertinggi. Sementara yang 10-20 tahun itu Rp2.000 lebih per kilo. Untuk petani PTPN berlaku harga itu. Tapi untuk petani di luar KKPA atau petani mandiri harganya selisih 200an.
"Jadi untuk mandiri sekarang atau yang biasa di sebut pihak ke tiga sekitar Rp1.600an, begitu juga dengan yang di pabrik lain. Mereka tidak berpedoman terhadap harga Provinsi.Jadi tidak berlaku untuk petani mandiri," bebernya.
Semestinya dengan adanya Pergub, Kementan, Perbup yang menentukan harga untuk Provinsi Kalbar, menurut kami di Apkasindo, suka tidak suka seluruh pabrik yang ada harus berpedoman dengan harga tersebut.
"Kalau tidak ya untuk apa SK Gubernur tersebut tentang penetapan harga TBS, dan ini sudah beberapa kali kita rapat dengan DPRD dengan mengundang mereka. Tetapi fakta di lapangan tetap saja tidak mempedomani," tegasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Selama ini harga yang dibeli oleh pabrik kelapa sawit yang di Landak ini bervariasi, artinya antara satu pabrik dengan pabrik lain atau pengusaha yang satu dengan pengusaha yang lain tidak mempedomani harga yang ditetapkan tim Provinsi," kata Klemen Apui saat dihubungi di Ngabang, Rabu.
Menurut dia, lanjut Klemen, setiap pabrik menentukan harganya masing-masing kecuali PTPN 13 terhadap petaninya, berdasarkan tahun tanam. Artinya berpeoman dengan harga yang ditetapkan Disbun Provinsi.
"Tetapi untuk pekebun-pekebun lain atau pekebun-pekebun mitra itu di bawah harga yang ditentukan tim penetapan harga TBS Provinsi. Sementara harga di Kementan itu tidak mengenal jenis petani kelapa sawit, jadi hanya menyebut pekebun kelapa sawit," ungkapnya.
Untuk di luar petani misalnya plasma atau KKPA itu mengadakan kerja sama kemitraan, tetapi dalam ketentuan tidak ada perbedaan antara petani yang dibina oleh PTPN 13 atau pun yang di luar PTPN 13 misalnya. Artinya seluruh petani kelapa sawit dianggap sama kedudukannya.
"Artinya harus dibeli berdasarkan tahun tanam, itu ketentuannya yang disepakati oleh pengusaha kelapa sawit yang ada di Kalbar. Itu setiap dua minggu diadakan rapat di kantor Dinbun Provinsi," ungkap Klemen.
Menurut mantan anggota DPRD Kabupaten Landak ini, dari fakta di lapangan, banyak perusahaan membeda-bedakan perusahaan dan petani mandiri. "Petani kelapa sawit itu di anak tirikan, TBS nya rendemennya dianggap kurang," ujarnya.
Saat ini harga TBS tergantung masa tanam, untuk yang 25 tahun Rp1.900an harga tertinggi. Sementara yang 10-20 tahun itu Rp2.000 lebih per kilo. Untuk petani PTPN berlaku harga itu. Tapi untuk petani di luar KKPA atau petani mandiri harganya selisih 200an.
"Jadi untuk mandiri sekarang atau yang biasa di sebut pihak ke tiga sekitar Rp1.600an, begitu juga dengan yang di pabrik lain. Mereka tidak berpedoman terhadap harga Provinsi.Jadi tidak berlaku untuk petani mandiri," bebernya.
Semestinya dengan adanya Pergub, Kementan, Perbup yang menentukan harga untuk Provinsi Kalbar, menurut kami di Apkasindo, suka tidak suka seluruh pabrik yang ada harus berpedoman dengan harga tersebut.
"Kalau tidak ya untuk apa SK Gubernur tersebut tentang penetapan harga TBS, dan ini sudah beberapa kali kita rapat dengan DPRD dengan mengundang mereka. Tetapi fakta di lapangan tetap saja tidak mempedomani," tegasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017