Jakarta (ANTARA) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bahwa kejaksaan tidak dapat menggunakan restorative justice (RJ) pada kasus pemelihara landak Jawa di Bali, karena korban perkara tersebut adalah negara.
"Tidak semua perkara bisa diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, penggunaan RJ pada kasus hukum memiliki kriteria yang harus dipenuhi di antaranya yaitu adanya perdamaian antara pelaku dan korban.
Sedangkan lanjut Harli, terdakwa I Nyoman Sukena (38), warga Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, Badung, Bali, dalam kasus yang menjeratnya sebagai pemelihara landak Jawa, hewan yang dilindungi korban merupakan negara.
"Restoratif adalah mengembalikan situasi pada keadaan semula sedangkan dalam perkara ini korbannya negara," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa situasi ini menjadi pemikiran Kejagung ke depan untuk memperluas perkara yang dapat diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Bali mengupayakan penangguhan penahanan terhadap tersangka I Nyoman Sukena (38) yang merupakan pemelihara hewan dilindungi berupa landak Jawa.
"Saya sudah minta ke tim JPU untuk segera minta penangguhan kepada yang bersangkutan, untuk berkoordinasi dengan majelis hakimnya," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Ketut Sumedana Senin (9/9).
Dia menjelaskan perkara landak itu penyidikannya dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, karena secara hukum, termasuk tindak pidana. Karena itu, Jaksa tidak bisa menolak perkara sehingga perkara tersebut di P21 dan disidangkan di pengadilan.
Perkara tersebut pun tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice karena perkara tersebut sudah masuk tahap persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar.
Namun demikian, dirinya sudah memerintahkan JPU untuk mengajukan kepada majelis hakim yang mengadili perkara tersebut agar tersangka tidak ditahan lagi di Lapas Kelas II A Kerobokan, Badung.