Pontianak (Antaranews Kalbar) - Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia Kalimantan Barat (AIMI Kalbar) menyoroti tiga isu penting dalam hal menyusui, karena berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak serta masa depan generasi Indonesia.
Isu pertama yakni terkait kode etik promosi susu formula (sufor) baik yang dilakukan oleh produsen sufor hingga petugas kesehatan. Ketua AIMI Kalbar Aditya Galih Mastika mengakui bahwa pihaknya kerap mendapatkan laporan terkait adanya upaya untuk promosi sufor bagi anak usia di bawah enam bulan.
"Bahkan, hal itu dilakukan secara langsung oleh petugas kesehatan. Hal tersebut menurutnya telah melanggar kode etik," katanya saat diskusi dengan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa di Pontianak, Kamis.
Ibu-ibu pasca-melahirkan pernah dibekali susu formula oleh pihak rumah sakit.
Promosi produk sufor kerap dilakukan dengan menggaet pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Hal ini pun masih ditemukan di pelayanan kesehatan di Kota Pontianak.
"Masih ada kami temukan pelayan kesehatan yang turut mempromosikan sufor. Bahkan ada yang menjanjikan hadiah kepada petugas kesahatan yang mampu menjual produk-produk sufor tersebut," ungkap Wakil Ketua AIMI Kalbar, Rizky Pontiviana.
Iklan sufor bagi anak usia di bawah enam bulan memalui media elektronik selama ini memang secara ekspilisit belum ditemukan di media-media cetak dan elektronik. Namun ada upaya-upaya untuk mempromosikan susu pengganti ASI. Padahal menurutnya tidak ada satu produk susu pun yang bisa menggantikan peran ASI.
"Ada itu promosi susu hewan yang bilang mendekati kandungan ASI bahkan sama dengan ASI," ucapnya.
Menurut dia, pelayanan kesehatan tidak terlibat dalam promosi sufor. Apalagi yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia di bawah 6 bulan. Selain itu, peran pemerintah menurutnya juga penting agar penegakan terkait kode etik ini dapat dilakukan. Teguran mestinya dilayangkan bagi perusahaan atau pelayanan kesehatan yang melakukan hal demikian agar memberikan efek jera.
Sorotan kedua yakni ketersediaan ruang laktasi yang layak bagi ibu untuk menyusui anak. Adapun sejauh ini diakuinya fasilitas umum telah dilengkapi dengan ruang laktasi. Namun standar raungan yang dikatakan layak, masih jauh dari harapan.
Meski tidak memiliki data secara pasti, namun pihkanya juga mendapatkan laporan adanya perusahaan yang tidak menyediakan ruang laktasi bagi pegawainya yang menyusui. Padahal hal itu juga telah diatur dalam Pasal 128 UU No.39/2009 Kesehatan yang berbunyi memberikan arahan agar pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Penyediaan fasilitas khusus yang dimaksud yakni diadakan di tempat kerja dan di tempat sarana umum.
Ketiga yakni terkait cuti ibu melahirkan. Selain pasal 128 UU No 39/2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang ASI, pasal lain yang mendorong agar ibu diberikan cuti melahirkan terdapat dalam pasal 83 Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
"Walaupun cuti melahirkan di Indonesia yang hanya 3 bulan, namun negara menyatakan bahwa ibu bekerja dapat terus memberikan asi kepada anaknya dengan memerah dan menyusui selama jam kerja," tutur Aditya.
AIMI Kalbar berharap ketiga isu ini dapat menjadi sorotan baik pemerintah, instnasi terkait, anggota dewan, pelayanan kesehatan, hingga perusahaan. Dengan memperhatikan kualitas ASI, maka pihaknya meyakini akan tercipta generasi-generasi Indonesai yang berkualitas.
Sementara itu, Wakil Ketua JPK, Nurul Hayat menilai isu terkait ASI perlu menjadi sorotan media. JPK sebagai organisasi yang mewadahi jurnalis perempuan di Kalbar menurutnya perlu untuk berkontribusi dalam mengampanyekan pentingnya ASI ke masyarakat.
"JPK juga perlu turut andil dalam mendorong berbagai upaya mendorong ASI yang berkualitas. Sebagai jurnalis, tentu kami akan memberikan porsi pemberitaan terkait hal ini agar menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat luas, sehingga timbul kesadaran," katanya.
(N005/)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018
Isu pertama yakni terkait kode etik promosi susu formula (sufor) baik yang dilakukan oleh produsen sufor hingga petugas kesehatan. Ketua AIMI Kalbar Aditya Galih Mastika mengakui bahwa pihaknya kerap mendapatkan laporan terkait adanya upaya untuk promosi sufor bagi anak usia di bawah enam bulan.
"Bahkan, hal itu dilakukan secara langsung oleh petugas kesehatan. Hal tersebut menurutnya telah melanggar kode etik," katanya saat diskusi dengan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa di Pontianak, Kamis.
Ibu-ibu pasca-melahirkan pernah dibekali susu formula oleh pihak rumah sakit.
Promosi produk sufor kerap dilakukan dengan menggaet pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Hal ini pun masih ditemukan di pelayanan kesehatan di Kota Pontianak.
"Masih ada kami temukan pelayan kesehatan yang turut mempromosikan sufor. Bahkan ada yang menjanjikan hadiah kepada petugas kesahatan yang mampu menjual produk-produk sufor tersebut," ungkap Wakil Ketua AIMI Kalbar, Rizky Pontiviana.
Iklan sufor bagi anak usia di bawah enam bulan memalui media elektronik selama ini memang secara ekspilisit belum ditemukan di media-media cetak dan elektronik. Namun ada upaya-upaya untuk mempromosikan susu pengganti ASI. Padahal menurutnya tidak ada satu produk susu pun yang bisa menggantikan peran ASI.
"Ada itu promosi susu hewan yang bilang mendekati kandungan ASI bahkan sama dengan ASI," ucapnya.
Menurut dia, pelayanan kesehatan tidak terlibat dalam promosi sufor. Apalagi yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia di bawah 6 bulan. Selain itu, peran pemerintah menurutnya juga penting agar penegakan terkait kode etik ini dapat dilakukan. Teguran mestinya dilayangkan bagi perusahaan atau pelayanan kesehatan yang melakukan hal demikian agar memberikan efek jera.
Sorotan kedua yakni ketersediaan ruang laktasi yang layak bagi ibu untuk menyusui anak. Adapun sejauh ini diakuinya fasilitas umum telah dilengkapi dengan ruang laktasi. Namun standar raungan yang dikatakan layak, masih jauh dari harapan.
Meski tidak memiliki data secara pasti, namun pihkanya juga mendapatkan laporan adanya perusahaan yang tidak menyediakan ruang laktasi bagi pegawainya yang menyusui. Padahal hal itu juga telah diatur dalam Pasal 128 UU No.39/2009 Kesehatan yang berbunyi memberikan arahan agar pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Penyediaan fasilitas khusus yang dimaksud yakni diadakan di tempat kerja dan di tempat sarana umum.
Ketiga yakni terkait cuti ibu melahirkan. Selain pasal 128 UU No 39/2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang ASI, pasal lain yang mendorong agar ibu diberikan cuti melahirkan terdapat dalam pasal 83 Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
"Walaupun cuti melahirkan di Indonesia yang hanya 3 bulan, namun negara menyatakan bahwa ibu bekerja dapat terus memberikan asi kepada anaknya dengan memerah dan menyusui selama jam kerja," tutur Aditya.
AIMI Kalbar berharap ketiga isu ini dapat menjadi sorotan baik pemerintah, instnasi terkait, anggota dewan, pelayanan kesehatan, hingga perusahaan. Dengan memperhatikan kualitas ASI, maka pihaknya meyakini akan tercipta generasi-generasi Indonesai yang berkualitas.
Sementara itu, Wakil Ketua JPK, Nurul Hayat menilai isu terkait ASI perlu menjadi sorotan media. JPK sebagai organisasi yang mewadahi jurnalis perempuan di Kalbar menurutnya perlu untuk berkontribusi dalam mengampanyekan pentingnya ASI ke masyarakat.
"JPK juga perlu turut andil dalam mendorong berbagai upaya mendorong ASI yang berkualitas. Sebagai jurnalis, tentu kami akan memberikan porsi pemberitaan terkait hal ini agar menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat luas, sehingga timbul kesadaran," katanya.
(N005/)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018