Pontianak (Antaranews kalbar) - Pemprov Kalbar dalam waktu dekat akan mengevaluasi realisasi pembangunan smelter oleh perusahaan tambang di Kalbar yang banyak belum terealisasi.
"Kami dalam waktu dekat juga akan menyurati Kementerian ESDM untuk bersama-sama melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan pembangunan smelter oleh perusahaan tambang yang beroperasi di Kalbar," kata Gubernur Kalbar, Sutarmidji di Pontianak, Kamis.
Ia menjelaskan, di Kalbar ada tiga perusahaan tambang bauksit yang menikmati izin ekspor bahan mentah tapi progres pembangunan smelternya masih di bawah 10 persen bahkan belum tampak sama sekali pembangunan fisiknya.
Ketiga perusahaan penerima kuota ekspor mineral mentah bauksit tersebut adalah PT Dinamika Sejahtera Mandiri sebesar 2,4 juta ton/tahun; PT Kalbar Bumi Perkasa sebesar 3,5 juta ton/tahun; dan PT Laman Mining sebesar 2,85 juta ton/tahun.
Untuk memantau progres pembangunan smelter, Kementerian ESDM membentuk tim verifikator yang tiap enam bulan sekali mengevaluasi kinerja pembangunan smelter berdasarkan kurva S. Hanya saja, Pemprov Kalbar sama sekali belum pernah menerima laporan hasil evaluasi pembangunan smelter tersebut karena di bawah wewenang Kementerian ESDM, katanya.
"Hingga saat ini dari tiga perusahaan tambang tersebut, baru PT Laman MIning yang secara rutin melaporkan LKPM (Laporan Kegiatan Penanaman Modal) ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Dinas PMPTSP), yang bertujuan memantau realisasi investasi dan produksi suatu perusahaan," ujarnya.
Sehingga, menurut dia, besar kemungkinan ada perusahaan yang hanya mau memanfaatkan kelonggaran ekspor yang diberikan untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin sampai batas relaksasi ekspor berakhir tanpa menepati janji untuk membangun smelter tersebut.
"Meski wewenang pengawasan berada di pusat, pemerintah daerah perlu menagih komitmen investasi disektor pemurnian tambang agar dapat memberi dampak ekonomi secara signifikan," katanya.
Dalam kesempatan itu, dia juga mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat di sekitar tambang yang hidup dalam "kubangan" kemiskinan. "Ada sekitar 1.600 desa tertinggal dan sangat tertinggal di Kalbar ini, padahal desa-desa itu sebagian juga berada di kawasan dekat pertambangan. Ada tambang di dekat desa itu saja masih tertinggal, apalagi jika tidak ada," ungkap Sutarmidji.
Selain itu, dia juga mempertanyakan komitmen pengelolaan lingkungan atau reklamasi pascatambang yang hingga saat ini reklamasinya belum standar, yakni masih dengan cara konvensional.
Sebagai contoh, setelah menghilangkan tanah pucuk akibat galian tambang bauksit, aktivitas reklamasi yang dilakukan hanya sekedar penataan lahan dan revegetasi dengan tingkat keberhasilan nyaris 0 persen tanpa menyentuh akar permasalahan berupa remediasi lahan pascatambang, katanya.
"Padahal lahan merupakan modal produksi masyarakat desa yang utama. Jika lahan pascatambang tidak diremediasi kembali, maka berdampak pada hilangnya potensi penggunaan lahan untuk aktivitas produktif masyarakat di luar tambang," katanya.
Pemprov Kalbar tetap berkomitmen untuk menjaga iklim investasi di Kalbar dengan syarat pelaku industri khususnya pertambangan tetap taat aturan dan memiliki niat baik untuk menata lingkungan pascatambang, katanya.
Sebelumnya, pemerintah menggulirkan PP Nomor 1 thn 2017 dan Permen ESDM Nomor 5 dan 6 tahun 2017 berupa kebijakan relaksasi ekspor olahan mineral (konsentrat) kepada perusahaan tambang dengan syarat wajib membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
"Kami dalam waktu dekat juga akan menyurati Kementerian ESDM untuk bersama-sama melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan pembangunan smelter oleh perusahaan tambang yang beroperasi di Kalbar," kata Gubernur Kalbar, Sutarmidji di Pontianak, Kamis.
Ia menjelaskan, di Kalbar ada tiga perusahaan tambang bauksit yang menikmati izin ekspor bahan mentah tapi progres pembangunan smelternya masih di bawah 10 persen bahkan belum tampak sama sekali pembangunan fisiknya.
Ketiga perusahaan penerima kuota ekspor mineral mentah bauksit tersebut adalah PT Dinamika Sejahtera Mandiri sebesar 2,4 juta ton/tahun; PT Kalbar Bumi Perkasa sebesar 3,5 juta ton/tahun; dan PT Laman Mining sebesar 2,85 juta ton/tahun.
Untuk memantau progres pembangunan smelter, Kementerian ESDM membentuk tim verifikator yang tiap enam bulan sekali mengevaluasi kinerja pembangunan smelter berdasarkan kurva S. Hanya saja, Pemprov Kalbar sama sekali belum pernah menerima laporan hasil evaluasi pembangunan smelter tersebut karena di bawah wewenang Kementerian ESDM, katanya.
"Hingga saat ini dari tiga perusahaan tambang tersebut, baru PT Laman MIning yang secara rutin melaporkan LKPM (Laporan Kegiatan Penanaman Modal) ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Dinas PMPTSP), yang bertujuan memantau realisasi investasi dan produksi suatu perusahaan," ujarnya.
Sehingga, menurut dia, besar kemungkinan ada perusahaan yang hanya mau memanfaatkan kelonggaran ekspor yang diberikan untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin sampai batas relaksasi ekspor berakhir tanpa menepati janji untuk membangun smelter tersebut.
"Meski wewenang pengawasan berada di pusat, pemerintah daerah perlu menagih komitmen investasi disektor pemurnian tambang agar dapat memberi dampak ekonomi secara signifikan," katanya.
Dalam kesempatan itu, dia juga mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat di sekitar tambang yang hidup dalam "kubangan" kemiskinan. "Ada sekitar 1.600 desa tertinggal dan sangat tertinggal di Kalbar ini, padahal desa-desa itu sebagian juga berada di kawasan dekat pertambangan. Ada tambang di dekat desa itu saja masih tertinggal, apalagi jika tidak ada," ungkap Sutarmidji.
Selain itu, dia juga mempertanyakan komitmen pengelolaan lingkungan atau reklamasi pascatambang yang hingga saat ini reklamasinya belum standar, yakni masih dengan cara konvensional.
Sebagai contoh, setelah menghilangkan tanah pucuk akibat galian tambang bauksit, aktivitas reklamasi yang dilakukan hanya sekedar penataan lahan dan revegetasi dengan tingkat keberhasilan nyaris 0 persen tanpa menyentuh akar permasalahan berupa remediasi lahan pascatambang, katanya.
"Padahal lahan merupakan modal produksi masyarakat desa yang utama. Jika lahan pascatambang tidak diremediasi kembali, maka berdampak pada hilangnya potensi penggunaan lahan untuk aktivitas produktif masyarakat di luar tambang," katanya.
Pemprov Kalbar tetap berkomitmen untuk menjaga iklim investasi di Kalbar dengan syarat pelaku industri khususnya pertambangan tetap taat aturan dan memiliki niat baik untuk menata lingkungan pascatambang, katanya.
Sebelumnya, pemerintah menggulirkan PP Nomor 1 thn 2017 dan Permen ESDM Nomor 5 dan 6 tahun 2017 berupa kebijakan relaksasi ekspor olahan mineral (konsentrat) kepada perusahaan tambang dengan syarat wajib membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019