Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Erma Suryani Ranik mengapresiasi tindakan yang dilakukan aparat Kepolisian Resort Kota Pontianak dalam menangani kasus penganiayaan terhadap Audrey, pelajar SMP yang viral di media sosial beberapa hari terakhir.
"Cara penanganan sudah tepat yakni menggunakan UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). UU yang dibentuk ini merupakan kemajuan dalam konsep pemidanaan di Indonesia," kata Erma S Ranik dalam keterangan pers yang diterima Antara di Pontianak, Rabu.
Menurut dia, UU SPPA menyebut definisi anak adalah mereka yang sudah lewat 12 tahun tapi belum 18 tahun. UU SPPA memiliki konsep yang sangat bagus dan tepat yakni membedakan anak yakni pelaku tindak pidana, korban, dan saksi suatu tindak pidana.
Untuk diketahui seorang pelajar SMP di Pontianak menjadi korban penganiayaan yang dilakukan beberapa pelajar SMA. Peristiwa penganiayaan tersebut kemudian menjadi viral di media sosial, karena korban mengalami trauma dan luka-luka di beberapa bagian tubuhnya.
Menurut Erma, selain itu UU ini mengandung prinsip keadilan restoratif yakni mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Selain itu ada prinsip diversi yakni pengalihan proses penyelesaian perkara dari proses pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Terkait peristiwa yang menimpa pelajar SMP yang menjadi korban, menurut Erma, proses pendampingan psikologis harus dilakukan dengan maksimal agar tidak ada trauma mengingat korban masih berusia sangat muda.
"Korban harus dibimbing agar bisa tetap tegar melanjutkan hidupnya setelah pulih kondisi fisik dan psikisnya," kata dia lagi.
Sementara terkait pelaku yang juga masih berstatus pelajar, Erma menyatakan, patut diingat bahwa UU SPPA mengatur apabila pelaku berusia di atas 14 tahun dan melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas 7 tahun atau lebih, maka pelaku tersebut dapat dikenakan penahanan.
"Pidananya dapat berupa peringatan dan pidana dengan syarat (pembinaan di luar Lembaga Permasyarakatan).," katanya lagi.
Tindak pidana yang dapat dituduhkan pada pelaku adalah penganiayaan sesuai pasal 351 ayat 1 UU SPPA. Jika terjadi penganiayaan berat maka ancaman hukuman maksimal 5 tahun.
Namun mengenai adanya informasi yang menyatakan pelaku merusak vagina korban, maka harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Apabila terbukti tentu hakim akan memberikan pertimbangan lain. Patut diingat bahwa UU SPPA mengatur bahwa vonis terhadap anak yang menjadi pelaku pidana harus dikurangi sepertiga dari jumlah hukuman. Karena terkait prinsip keadilan restoratif dan diversi dalam UU SPPA.
"Saya mengimbau agar masing-masing pihak menahan diri. Baik korban, pelaku, dan saksi dalam kasus ini adalah anak-anak," katanya.
Menurut Erma, mereka semua harus dibimbing dan dipulihkan karena masih anak-anak. Negara sudah mengatur urusan pidana anak ini dengan sangat baik penanganan perkara ini.
"Mari kita dukung Polri, Komisi perlindungan anak daerah, anak dan orang tua agar dapat duduk bersama mencari solusi terbaik bagi semua.," kata anggota Fraksi Partai Demokrat ini.
Untuk diketahui, Polresta Pontianak kini menangani kasus hukum penganiayaan oleh tiga siswa terhadap seorang pelajar SMP hingga dirawat di salah satu rumah sakit di Pontianak.
"Secara resmi kami menarik kasus ini dari Polsek Pontianak Selatan untuk ditangani oleh Polresta Pontianak," kata Kasatreskrim Polresta Pontianak, Kompol Muhammad Husni Ramli di Pontianak, Selasa (9/4).
Polisi sudah meminta keterangan dari ibu korban penganiayaan tersebut, sementara korban belum bisa diminta keterangan karena masih dirawat di rumah sakit. "Untuk tiga terduga pelaku penganiayaan masih belum dilakukan pemeriksaan karena masih memeriksa saksi-saksi," ujarnya.
Kasus penganiayaan tersebut dilakukan oleh beberapa siswa SMA terhadap satu siswa SMP yang terjadi beberapa minggu lalu.
Sementara KPPAD Pontianak menerima laporan bahwa korban telah mengalami kekerasan fisik dan psikis, seperti ditendang, dipukul, diseret sampai kepalanya terbentur ke aspal, selain itu korban hingga saat ini masih diopname di salah satu rumah sakit di Pontianak.
Dari pengakuan korban, pelaku utama penganiayaan ada tiga orang, sedangkan sembilan orang lainnya hanya sebagai penonton.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019
"Cara penanganan sudah tepat yakni menggunakan UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). UU yang dibentuk ini merupakan kemajuan dalam konsep pemidanaan di Indonesia," kata Erma S Ranik dalam keterangan pers yang diterima Antara di Pontianak, Rabu.
Menurut dia, UU SPPA menyebut definisi anak adalah mereka yang sudah lewat 12 tahun tapi belum 18 tahun. UU SPPA memiliki konsep yang sangat bagus dan tepat yakni membedakan anak yakni pelaku tindak pidana, korban, dan saksi suatu tindak pidana.
Untuk diketahui seorang pelajar SMP di Pontianak menjadi korban penganiayaan yang dilakukan beberapa pelajar SMA. Peristiwa penganiayaan tersebut kemudian menjadi viral di media sosial, karena korban mengalami trauma dan luka-luka di beberapa bagian tubuhnya.
Menurut Erma, selain itu UU ini mengandung prinsip keadilan restoratif yakni mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Selain itu ada prinsip diversi yakni pengalihan proses penyelesaian perkara dari proses pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Terkait peristiwa yang menimpa pelajar SMP yang menjadi korban, menurut Erma, proses pendampingan psikologis harus dilakukan dengan maksimal agar tidak ada trauma mengingat korban masih berusia sangat muda.
"Korban harus dibimbing agar bisa tetap tegar melanjutkan hidupnya setelah pulih kondisi fisik dan psikisnya," kata dia lagi.
Sementara terkait pelaku yang juga masih berstatus pelajar, Erma menyatakan, patut diingat bahwa UU SPPA mengatur apabila pelaku berusia di atas 14 tahun dan melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas 7 tahun atau lebih, maka pelaku tersebut dapat dikenakan penahanan.
"Pidananya dapat berupa peringatan dan pidana dengan syarat (pembinaan di luar Lembaga Permasyarakatan).," katanya lagi.
Tindak pidana yang dapat dituduhkan pada pelaku adalah penganiayaan sesuai pasal 351 ayat 1 UU SPPA. Jika terjadi penganiayaan berat maka ancaman hukuman maksimal 5 tahun.
Namun mengenai adanya informasi yang menyatakan pelaku merusak vagina korban, maka harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Apabila terbukti tentu hakim akan memberikan pertimbangan lain. Patut diingat bahwa UU SPPA mengatur bahwa vonis terhadap anak yang menjadi pelaku pidana harus dikurangi sepertiga dari jumlah hukuman. Karena terkait prinsip keadilan restoratif dan diversi dalam UU SPPA.
"Saya mengimbau agar masing-masing pihak menahan diri. Baik korban, pelaku, dan saksi dalam kasus ini adalah anak-anak," katanya.
Menurut Erma, mereka semua harus dibimbing dan dipulihkan karena masih anak-anak. Negara sudah mengatur urusan pidana anak ini dengan sangat baik penanganan perkara ini.
"Mari kita dukung Polri, Komisi perlindungan anak daerah, anak dan orang tua agar dapat duduk bersama mencari solusi terbaik bagi semua.," kata anggota Fraksi Partai Demokrat ini.
Untuk diketahui, Polresta Pontianak kini menangani kasus hukum penganiayaan oleh tiga siswa terhadap seorang pelajar SMP hingga dirawat di salah satu rumah sakit di Pontianak.
"Secara resmi kami menarik kasus ini dari Polsek Pontianak Selatan untuk ditangani oleh Polresta Pontianak," kata Kasatreskrim Polresta Pontianak, Kompol Muhammad Husni Ramli di Pontianak, Selasa (9/4).
Polisi sudah meminta keterangan dari ibu korban penganiayaan tersebut, sementara korban belum bisa diminta keterangan karena masih dirawat di rumah sakit. "Untuk tiga terduga pelaku penganiayaan masih belum dilakukan pemeriksaan karena masih memeriksa saksi-saksi," ujarnya.
Kasus penganiayaan tersebut dilakukan oleh beberapa siswa SMA terhadap satu siswa SMP yang terjadi beberapa minggu lalu.
Sementara KPPAD Pontianak menerima laporan bahwa korban telah mengalami kekerasan fisik dan psikis, seperti ditendang, dipukul, diseret sampai kepalanya terbentur ke aspal, selain itu korban hingga saat ini masih diopname di salah satu rumah sakit di Pontianak.
Dari pengakuan korban, pelaku utama penganiayaan ada tiga orang, sedangkan sembilan orang lainnya hanya sebagai penonton.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019