Direktur Puskepi, Sofyano Zakari mendesak pemerintah tata ulang pengguna BBM jenis solar subsidi agar tidak membebani keuangan negara.

"Sebagaimana diberitakan banyak media kuota subsidi BBM jenis solar yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 14,5 juta kiloliter (KL)  pada tahun ini berpotensi akan membengkak, menyusul tingkat konsumsi masyarakat yang besar. 
Terhitung pada kuartal satu saja, realisasi subsidi solar telah menyentuh angka 5,07 juta kiloliter," kata Sofyano Zakaria di Jakarta, Kamis.

Artinya, subsidi solar telah memenuhi 35 persen realisasi dari Januari sampai April 2019. Dengan asumsi angka realisasi tetap, maka realisasi subsidi solar sampai akhir tahun diperkirakan melampaui kuota yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 14,5 juta kiloliter menjadi 15,3 juta kiloliter, katanya.

"Jadi sampai akhir tahun diperkirakan melebihi kuota APBN 2019. Kita lihat dan perhatikan terus apa yang terjadi,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara dalam paparannya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (25/6).

Untuk mengurangi beban Pemerintah terhadap subsidi solar, maka Pemerintah harus segera merevisi PerPres 191/2014 dan juga harus berani mengkoreksi harga jual solar subsidi yang digolongkan sebagai Jenis Bahan Bakar Tertentu.

"Terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai Presiden untuk periode 2019-2024, harusnya bisa mengurangi beban subsidi BBM dan mengalihkannya kepada program lain yang jelas bermanfaat besar bagi orang banyak," lanjut Direktur Puskepi itu.

Revisi Perpres 191/2014 harus bisa menegaskan bahwa kendaraan bermotor yang bisa menikmati solar subsidi hanyalah bagi kendaraan bermotor yang tidak sepenunya dijadikan alat bisnis bagi pengusaha pemilik kendaraan bermotor, katanya.

Sofyano secara tegas mengusulkan bahwa hanya kendaraan angkutan barang plat kuning dengan maksimal enam roda yang dinyatakan berhak atas solar subsidi. Dan kendaraan angkutan orang plat kuning saja yang diperbolehkan gunakan solar subsidi, tambah pria kelahiran Kalbar tersebut.

Pengamat Energi nasional yang juga Koordinator Asosiasi Pengamat Energi indonesia (APEI), itu melanjutkan bahwa pemerintah sudah saatnya pula mencabut subsidi solar yang selama ini diberikan kepada BUMN seperti Pelni, PT Kereta Api Indonesia dan ASDP.

"Direksi BUMN harus bisa membuktikan bahwa mereka mampu meraih laba bagi BUMN-nya walau tidak lagi diberi solar subsidi oleh negara. Untuk itulah mereka diangkat sebagai direksi," kata Sofyano.

Sangat tidak fair jika misalnya PT KAI yang menjual tiket penumpang kereta api kelas bisnis dan eksekutif, namun BBM-nya menggunakan solar subsidi.  

Sofyano memberi contoh BUMN Garuda yang juga melayani transportasi bagi rakyat negeri ini menggunakan bahan bakar avtur yang tidak disubsidi. Jadi harusnya tidak ada alasan bagi BUMN PT KAI , Pelni dan ASDP untuk tidak bisa melayani rakyat jika solar subsidinya di cabut, tambah Sofyano Zakaria.

Sofyano juga mengusulkan kepada pemerintah lewat Menkopolkam dan Menko Kemaritiman agar membentuk Tim Pengawas Penggunaan Solar Subsidi tersebut.

"Jangan sampai solar subsidi bisa jatuh ke pemain minyak yang menjualnya ke pengguna yang tidak berhak. Kuota solar subsidi setiap tahunnya sangat besar, dan ini pasti jadi incaran pebisnis minyak. Jangan sampai solar subsidi untuk kendaraan angkutan darat bisa lari ke laut atau ke industri yang tak berhak, ini sama dengan mengemplang uang negara dan ini harus disikat habis tanpa pandang bulu siapa pun pelakunya," katanya.

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019