Simulasi dan pemodelan sederhana prediksi penyebaran COVID-19 oleh peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan penyakit yang menjadi pandemi tersebut akan berakhir pada pertengahan April 2020 di Indonesia.
Dalam keterangan tertulis Direktorat Humas dan Publikasi ITB yang diterima di Bandung, Kamis, menyebutkan berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa Indonesia akan mengalami puncak jumlah kasus harian COVID-19 pada akhir Maret 2020 dan berakhir pada pertengahan April 2020, dengan kasus harian baru terbesar berada di angka sekitar 600.
Tim peneliti pada Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) ITB yang melakukan simulasi tersebut dilakukan oleh Dr Nuning Nuraini S.Si M.Si, dosen Program Studi Matematika ITB, bersama Kamal Khairudin S dan Dr Mochamad Apri S.Si M.Si. Pemodelan tersebut ditulis dengan judul Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika.
“Tentu perlu dicatat, ini adalah hasil pemodelan dengan satu model yang saya rasa cukup sederhana dan sama sekali tidak mengikutkan faktor-faktor yang kompleksitasnya tinggi,“ ujar Nuning.
Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh kasus COVID-19 di Indonesia yang menjadi bagian dari pandemi global dan telah melahirkan berbagai riuh rendah serta kontroversi apakah tindakan yang diambil telah cukup untuk menangkal penyebaran lebih lanjut, atau kah terlampau berlebihan.
Kesimpangsiuran informasi tentang hal ini dikhawatirkan mengganggu usaha nyata untuk menanggulangi bencana yang sebenarnya.
"Dalam penelitian ini, kami berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang epidemi yang sedang terjadi saat ini di Indonesia melalui suatu model matematika sederhana," ujar Nuning.
Model Richard's Curve
Dalam penelitian yang menjadi jurnal ilmiah tersebut, Nuning dengan tim membangun model representasi jumlah kasus COVID-19 dengan menggunakan model Richard’s Curve karena sesuai dengan kajian Kelompok Pemodelan Tahun 2009 yang dibimbing oleh Prof Dr Kuntjoro A Sidarto.
Model tersebut terbukti berhasil memprediksi awal, akhir, serta puncak endemi dari penyakit SARS di Hong Kong tahun 2003. Model Richard’s Curve terpilih ini lalu mereka uji pada berbagai data kasus COVID-19 terlapor dari berbagai macam negara, seperti China, Iran, Italia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, termasuk data akumulatif seluruh dunia.
Ternyata, secara matematik, ditemukan bahwa model Richard’s Curve Korea Selatan adalah yang paling cocok, atau memiliki kesalahannya kecil untuk disandingkan dengan data kasus terlapor COVID-19 di Indonesia jika dibandingkan dengan model yang dibangun dari data negara lain. Kesesuaian itu terjadi saat Indonesia masih memiliki 96 kasus.
“Jadi, bisa dikatakan, jika kita punya penanganan yang mungkin sama, sesuai dengan publikasi yang ada dengan Korea Selatan, tanpa memasukkan faktor kompleksitas lainnya seperti temperatur lingkungan, kelembaban, dan lain-lain seharusnya kita bisa mendapat kesimpulan yang sama persis dengan apa yang ditulis pada publikasi kami," kata dia.
Namun, menurut Nuning, hal tersebut bukan merupakan perkara mudah.
“Korea Selatan itu kan salah satu dari beberapa negara di dunia yang paling baik penanganan kasus COVID-19-nya. Ini waktu terus berjalan, tentu sulit untuk bisa persis seperti mereka, tetapi, setidaknya, dari tulisan ini kita bisa mengetahui bahwa Indonesia perlu melakukan sesuatu untuk tetap berada dalam tren yang baik," kata Nuning.
Oleh karena itu, bagi Nuning, merujuk pada model yang dibangun, termasuk faktor-faktor yang krusial, perlu dilakukan pencegahan dari meluasnya penyebaran COVID-19.
“Tingkat penyebaran yang tinggi akan memberatkan rumah sakit karena tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung pasien COVID-19 sehingga krusial sekali bagi kita untuk menjaga laju penyebaran tetap ada di dalam kontrol kita," kata Nuning mengusulkan jika belum bisa dihilangkan sepenuhnya.
Sebelumnya juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan hasil dari penanganan SARS CoV-2 penyebab COVID-19 akan mulai bisa terlihat hasilnya pada April 2020.
"Setelah dilaksanakan kegiatan bersama dengan masyarakat, diharapkan pada April kita sudah bisa melihat hasilnya dan kita berharap ini sudah mulai terkendali," kata Yurianto dalam jumpa pers yang diadakan di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (18/3).
Yuri mengatakan dalam beberapa hari terakhir memang terjadi akselerasi jumlah positif virus corona tipe baru dan COVID-19. Itu merupakan hal yang lazim sebagaimana terjadi di negara-negara lain.
Hingga sekarang belum ditemukan vaksin COVID-19, maka bentuk pencegahan dari meluasnya penyebaran virus dapat dilakukan dengan cara memutus rantai penularannya.
Salah satu metode untuk memutus rantai penularan tersebut, menurut dia, dengan melakukan pembatasan sosial atau yang sering disebut social distancing.
Dengan adanya pembatasan sosial, harapannya setiap masyarakat tidak akan menjadi penular maupun tertular karena tidak melakukan kontak dengan siapapun sehingga laju penyebaran dapat menurun atau setidaknya terjaga konstan.
Hasil dari kajian tersebut bagi Nuning ditujukkan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas untuk pemberitaan yang simpang siur terkait gambaran dan penanganan yang seharusnya dari fenomena pandemi COVID-19 secara eksak di Indonesia.
"Saya makanya cukup terkejut ketika tulisan saya ini viral dan ramai dibahas oleh netizen Indonesia. Gara-gara keresahan saya ini, publik jadi semakin tahu bahwa matematika juga bisa membantu dan mengambil peran dalam menghadapi kasus pandemi," ujar Nuning.
Tercatat sampai Rabu (18/3), pukul 12.00 WIB, ada 227 kasus positif COVID-19 di Indonesia. Sebanyak 11 pasien sembuh sementara 19 lainnya meninggal dunia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020
Dalam keterangan tertulis Direktorat Humas dan Publikasi ITB yang diterima di Bandung, Kamis, menyebutkan berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa Indonesia akan mengalami puncak jumlah kasus harian COVID-19 pada akhir Maret 2020 dan berakhir pada pertengahan April 2020, dengan kasus harian baru terbesar berada di angka sekitar 600.
Tim peneliti pada Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) ITB yang melakukan simulasi tersebut dilakukan oleh Dr Nuning Nuraini S.Si M.Si, dosen Program Studi Matematika ITB, bersama Kamal Khairudin S dan Dr Mochamad Apri S.Si M.Si. Pemodelan tersebut ditulis dengan judul Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika.
“Tentu perlu dicatat, ini adalah hasil pemodelan dengan satu model yang saya rasa cukup sederhana dan sama sekali tidak mengikutkan faktor-faktor yang kompleksitasnya tinggi,“ ujar Nuning.
Penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh kasus COVID-19 di Indonesia yang menjadi bagian dari pandemi global dan telah melahirkan berbagai riuh rendah serta kontroversi apakah tindakan yang diambil telah cukup untuk menangkal penyebaran lebih lanjut, atau kah terlampau berlebihan.
Kesimpangsiuran informasi tentang hal ini dikhawatirkan mengganggu usaha nyata untuk menanggulangi bencana yang sebenarnya.
"Dalam penelitian ini, kami berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang epidemi yang sedang terjadi saat ini di Indonesia melalui suatu model matematika sederhana," ujar Nuning.
Model Richard's Curve
Dalam penelitian yang menjadi jurnal ilmiah tersebut, Nuning dengan tim membangun model representasi jumlah kasus COVID-19 dengan menggunakan model Richard’s Curve karena sesuai dengan kajian Kelompok Pemodelan Tahun 2009 yang dibimbing oleh Prof Dr Kuntjoro A Sidarto.
Model tersebut terbukti berhasil memprediksi awal, akhir, serta puncak endemi dari penyakit SARS di Hong Kong tahun 2003. Model Richard’s Curve terpilih ini lalu mereka uji pada berbagai data kasus COVID-19 terlapor dari berbagai macam negara, seperti China, Iran, Italia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, termasuk data akumulatif seluruh dunia.
Ternyata, secara matematik, ditemukan bahwa model Richard’s Curve Korea Selatan adalah yang paling cocok, atau memiliki kesalahannya kecil untuk disandingkan dengan data kasus terlapor COVID-19 di Indonesia jika dibandingkan dengan model yang dibangun dari data negara lain. Kesesuaian itu terjadi saat Indonesia masih memiliki 96 kasus.
“Jadi, bisa dikatakan, jika kita punya penanganan yang mungkin sama, sesuai dengan publikasi yang ada dengan Korea Selatan, tanpa memasukkan faktor kompleksitas lainnya seperti temperatur lingkungan, kelembaban, dan lain-lain seharusnya kita bisa mendapat kesimpulan yang sama persis dengan apa yang ditulis pada publikasi kami," kata dia.
Namun, menurut Nuning, hal tersebut bukan merupakan perkara mudah.
“Korea Selatan itu kan salah satu dari beberapa negara di dunia yang paling baik penanganan kasus COVID-19-nya. Ini waktu terus berjalan, tentu sulit untuk bisa persis seperti mereka, tetapi, setidaknya, dari tulisan ini kita bisa mengetahui bahwa Indonesia perlu melakukan sesuatu untuk tetap berada dalam tren yang baik," kata Nuning.
Oleh karena itu, bagi Nuning, merujuk pada model yang dibangun, termasuk faktor-faktor yang krusial, perlu dilakukan pencegahan dari meluasnya penyebaran COVID-19.
“Tingkat penyebaran yang tinggi akan memberatkan rumah sakit karena tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung pasien COVID-19 sehingga krusial sekali bagi kita untuk menjaga laju penyebaran tetap ada di dalam kontrol kita," kata Nuning mengusulkan jika belum bisa dihilangkan sepenuhnya.
Sebelumnya juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan hasil dari penanganan SARS CoV-2 penyebab COVID-19 akan mulai bisa terlihat hasilnya pada April 2020.
"Setelah dilaksanakan kegiatan bersama dengan masyarakat, diharapkan pada April kita sudah bisa melihat hasilnya dan kita berharap ini sudah mulai terkendali," kata Yurianto dalam jumpa pers yang diadakan di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (18/3).
Yuri mengatakan dalam beberapa hari terakhir memang terjadi akselerasi jumlah positif virus corona tipe baru dan COVID-19. Itu merupakan hal yang lazim sebagaimana terjadi di negara-negara lain.
Menurut dia, jumlah positif COVID-19 akan semakin bertambah, tetapi dia memperkirakan hal itu tidak akan terjadi dalam waktu yang relatif lama.
"Akselerasi kenaikan itu terjadi kita semakin intensif melakukan contact tracing sehingga menemukan semakin banyak kasus. Di sisi lain, masyarakat juga semakin peduli dan mau diperiksa," ujar dia.
Hal itu, kata Yuri menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menyiapkan sarana dan prasarana untuk penanganan COVID-19 yang lebih baik.
Jarak sosialHingga sekarang belum ditemukan vaksin COVID-19, maka bentuk pencegahan dari meluasnya penyebaran virus dapat dilakukan dengan cara memutus rantai penularannya.
Salah satu metode untuk memutus rantai penularan tersebut, menurut dia, dengan melakukan pembatasan sosial atau yang sering disebut social distancing.
Dengan adanya pembatasan sosial, harapannya setiap masyarakat tidak akan menjadi penular maupun tertular karena tidak melakukan kontak dengan siapapun sehingga laju penyebaran dapat menurun atau setidaknya terjaga konstan.
Hasil dari kajian tersebut bagi Nuning ditujukkan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas untuk pemberitaan yang simpang siur terkait gambaran dan penanganan yang seharusnya dari fenomena pandemi COVID-19 secara eksak di Indonesia.
"Saya makanya cukup terkejut ketika tulisan saya ini viral dan ramai dibahas oleh netizen Indonesia. Gara-gara keresahan saya ini, publik jadi semakin tahu bahwa matematika juga bisa membantu dan mengambil peran dalam menghadapi kasus pandemi," ujar Nuning.
Tercatat sampai Rabu (18/3), pukul 12.00 WIB, ada 227 kasus positif COVID-19 di Indonesia. Sebanyak 11 pasien sembuh sementara 19 lainnya meninggal dunia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020