Anak: "Lebaran kali ini kakak tidak pulang ya, Ma..."
Ibu: "Ya, kak, tidak apa. Yang penting kita semua sehat nak..."
Percakapan singkat melalui sambungan telepon antara anak yang berada di kota perantauan dan ibu yang berada di kampung halaman, sungguh membuat haru.
Bagaimana tidak, anak yang tak pulang selama setahun karena tinggal di kota perantauan, dan biasanya baru bisa pulang saat Lebaran, kini harus mengurungkan niat untuk melepas kangen pada ibunya.
Ibu pun harus menahan diri tak mendesak anaknya pulang. Karena situasi tak memungkinkan untuk pulang. Bukan masalah tak punya uang untuk beli tiket pesawat ataupun tiket kapal laut, dan bukan pula karena ada kesibukan lain di tanah rantau. Tapi ini karena pandemi Coronavirus disease 19 atau COVID-19.
Sejak ditemukan kasus pertama yang selanjutnya disebut kasus 01 di Depok Jawa Barat pada 2 Maret lalu, kini pasien positif COVID-19 telah meluas ke seluruh provinsi di Indonesia. Pemerintah pun membuat aturan aturan guna memutus mata rantai penyebarannya.
Salah satu aturan itu adalah larangan mudik bagi seluruh rakyat Indonesia yang tinggal di kota perantauan. Larangan mudik mulai berlaku 24 April lalu. Namun, banyak perantau yang "kucing-kucingan" dengan aparat agar bisa mudik.
Bahkan banyak yang sudah sampai di kampung halaman, dengan risiko harus menjalani isolasi dan karantina.
Taat aturan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbang) Kementerian Perhubungan melakukan survei, hasilnya menunjukkan sebagian masyarakat masih bersikeras untuk mudik.
Kepala Balitbang Kemenhub Umiyatun Hayati Triastuti dalam webinar yang bertajuk "Pengelolaan Transportasi dalam Pengendalian Penyebaran COVID-19" di Jakarta, beberapa waktu lalu mengungkapkan dari hasil survei diketahui sebagian masyarakat akan tetap bersikeras mudik walaupun pemerintah melakukan intervensi dengan berbagai kebijakan atau keputusan tidak mudik.
Meski begitu, masih banyak pula warga Indonesia yang taat aturan dengan tidak mudik. Tidak mudik karena tidak ingin membawa penyakit ke rumah orang tua di kampung halaman. Mereka berikhtiar untuk tetap sehat dan menjaga kesehatan keluarga di kampung halaman.
Seperti yang dilakukan Halila Rama Purnama, pejabat di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Ia yang setiap lebaran Idul Fitri selalu mudik ke kampung halaman di Kota Pontianak, untuk tahun ini ibu dua anak tersebut harus mengurungkan niatnya.
"Tidak mudik. Sampai hari ini saya dan anak-anak masih di Surabaya, dan suami masih di Banten," katanya saat dihubungi. Halila Rama Purnama saat ini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto. Terhitung 1 Juni mendatang, ia pindah tugas ke Kejaksaan Agung RI.
Ia menyatakan alasan tidak mudik karena mengikuti perintah dari Jaksa Agung RI, agar semua jajaran Kejaksaan RI tidak meninggalkan wilayah kerja baik hari Sabtu dan Minggu, maupun libur Lebaran.
Kalau pun tidak ada surat edaran dari pimpinannya, Halila Rama Purnama menyatakan ia tetap tidak akan mudik. Mengingat Indonesia yang kini sedang menghadapi pandemi COVID-19 yang belum ditemukan obat atau vaksinnya.
"Kita semua sadar rantai penyebaran COVID-19 ini karena adanya pergerakan manusia antardaerah ke daerah lain, makanya kami sebagai ASN harus memberi contoh kepada masyarakat untuk tidak melakukan mudik, sebagai salah satu upaya memutus mata rantai penyebaran COVID-19," kata Ema, sapaan akrabnya.
Risiko tinggi
Selain itu, orang tua yang akan dikunjungi masuk kualifikasi yang berisiko tinggi tertular.
Menurut dia, ibunya tinggal sendirian. Namun, selalu ditemani tiga adiknya yang masing-masing memiliki rumah tangga sendiri.
"Karena sayangnya kami sama orang tua dan keluarga di Pontianak, saya memutuskan untuk tidak mudik," kata Ema. Dia pun sudah dua bulan lebih terpisah dari suami yang bekerja di Provinsi Banten.
Untuk menghibur diri selama berada di tempat tugas, perempuan kelahiran Pontianak ini mengajak teman-teman sesama kepala kejaksaan negeri perempuan di wilayah Jatim, membuat video berdurasi 2-5 menit. Konten video adalah mengajak masyarakat untuk menggunakan masker, menyanyi lagu yang menghibur diri, dan video aktivitas kerja para staf di Kejari Mojokerto.
Selain Ema ada juga Linda Marlina yang kini tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Menariknya, keduanya sama-sama memilih untuk tidak mudik, jika pun tak ada peraturan larangan mudik Lebaran dari pemerintah.
Sebelum ada pandemi COVID-19, tak ada kata "tak mudik Lebaran" bagi Linda Marlina. Mudik Lebaran menjadi kewajiban baginya selama 20 tahun merantau. Namun, dengan adanya pandemi COVID-19, ia harus mengurungkan keinginan melepas rindu kepada ibunya dan kampung halaman di Kota Pontianak.
Jauh hari sebelum keluar larangan mudik menyambut Idul Fitri 1441 Hijriah dari Presiden Joko Widodo, Linda sudah menghubungi ibunya untuk memberi kabar bahwa dia tidak mudik Lebaran.
"Saya sudah memberitahu mama sejak awal April. Bersyukur mama di Pontianak dapat memahami dan juga minta kami saling mendoakan," katanya.
Zona merah
Melalui sambungan telepon, Linda mengutip pernyataan ibunya, "Tidak apa kak (sapaan Linda sebagai anak tertua), yang penting kita sehat semua..."
Linda yang bekerja di lembaga pendidikan swasta di Kabupaten Bogor, setiap tahun selalu mudik lebih awal dari tanggal cuti bersama yang ditetapkan pemerintah. Karena bekerja di lembaga pendidikan, libur sekolah lebih panjang dari jadwal cuti bersama tersebut.
Karena itu, ia sudah ada di kampung halaman sepekan sebelum hari Raya Lebaran. Dan baru kembali ke Kota Bekasi, tempat tinggalnya, dua pekan kemudian. Namun, sejak ada pandemi COVID-19, jadwal rutin itu tak berlaku lagi pada Lebaran tahun ini.
Kota Bekasi tempatnya tinggal pun memberlakukan PSBB karena masuk zona merah pandemi COVID-19. Untuk mengisi waktu selama PSBB dan tak mudik Lebaran, ia mengikuti kursus dan seminar secara daring (online). Kursus mengedit foto dari android dan seminar pendidikan.
Tidak bisa kumpul keluarga saat Lebaran, memang tak mengenakan. Namun, itu bagian dari ikhtiar bersama untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
COVID-19 di Kalbar
Perintah larangan mudik Lebaran bagi seluruh warga disampaikan Presiden Joko Widodo pada 21 April dan efektif berlaku pada 24 April 2020.
Perintah Presiden itu kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peraturan pendukung dari pejabat negara dan pejabat di tingkat daerah.
Kementerian Pendayagunaan aparatur negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) telah menerbitkan Surat Edaran Menpan RB Nomor 46 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Keluar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik dan/atau Cuti bagi ASN dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Edaran ini kemudian ditindaklanjuti hingga tingkat daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Gubernur Kalbar Sutarmidji juga sudah mengimbau warganya untuk tidak mudik, baik dari kota yang memberlakukan PSBB atau zona merah maupun di dalam wilayah Kalbar atau antar-kabupaten/kota.
Sebelum keluar aturan larangan mudik Lebaran, Sutarmidji juga sudah menekankan bahwa bagi pendatang dari luar Kalbar, harus melakukan isolasi selama 28 hari.
Hingga Selasa (19/5) pukul 07.00 WIB, di Kalbar terkonfirmasi 132 kasus positif COVID-19, dimana 24 dirawat, 69 isolasi ketat, 32 sembuh, dan empat kasus meninggal. Kemudian ada 79 pasien dalam pengawasan (PDP) dan 11.824 orang dalam pantauan (ODP).
Dari 14 kabupaten/kota di Kalbar, penyebaran positif COVID-19 sudah ada di Kota Pontianak dan Singkawang dan 10 kabupaten meliputi Kubu Raya, Mempawah, Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Ketapang, dan Kayong Utara.
Dua kabupaten lainnya, Sekadau dan Melawi belum terkonfirmasi kasus positif COVID-19.
Sanksi berat
Terkait angka-angka di atas, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyatakan pihaknya akan memberikan sanksi berat kepada aparatur sipil negara atau ASN yang mudik Lebaran tahun 2020 ini.
"Sanksi bagi ASN di lingkungan Pemkot Pontianak yang mudik Lebaran tahun ini, bisa pencopotan dari jabatan, penundaan kenaikan pangkat hingga penundaan kenaikan gaji berkala," katanya pada Senin (18/5).
Ia menjelaskan, pemberlakuan aturan itu merujuk pada aturan dari pemerintah pusat, tentang larangan bagi ASN dan masyarakat untuk mudik Lebaran dalam mencegah penyebaran COVID-19. Sesuai Surat Edaran Menpan RB Nomor 46 Tahun 2020.
Sedangkan sanksi bagi ASN diterangkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 11/SE/IV/2020 tentang Pedoman Penjatuhan Hukuman Disiplin Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Melakukan Kegiatan Bepergian ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik pada Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Aparat sipil yang tetap nekat mudik, harus menanggung sendiri risikonya, kata dia.
Pelonggaran penerbangan dan penumpang harus melengkapi dokumen persyaratan sesuai protokol kesehatan dalam pencegahan penyebaran COVID-19, menurut dia, ada kecenderungan menjadikan masyarakat ingin mudik Lebaran.
Edi Kantomo menyatakan Pontianak menjadi kota perlintasan daerah lain di Kalbar, karena Bandara Supadio berada Kubu Raya yang berbatasan Pontianak. Karena itu ia mengharapkan mereka yang turun atau mendarat di Supadio tidak menginap atau mukim di Pontianak.
Pemerintah kota tak mempunyai otoritas untuk menahan mereka. Hanya memantau lalu lintas dan berkoordinasi dengan otoritas bandara serta Dishub Provinsi Kalbar, untuk memastikan kemana tujuan dan asal warga yang melakukan perjalanan tersebut.
Karena itu, mari bersabar untuk tidak mudik, bersama-sama memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Untuk menyiapkan masa depan yang sehat.*
Baca juga: MUI Kalbar : pemda yang berwenang tentukan tempat shalat Ied
Baca juga: Norsan kembali ingatkan ASN untuk tidak mudik Lebaran
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020
Ibu: "Ya, kak, tidak apa. Yang penting kita semua sehat nak..."
Percakapan singkat melalui sambungan telepon antara anak yang berada di kota perantauan dan ibu yang berada di kampung halaman, sungguh membuat haru.
Bagaimana tidak, anak yang tak pulang selama setahun karena tinggal di kota perantauan, dan biasanya baru bisa pulang saat Lebaran, kini harus mengurungkan niat untuk melepas kangen pada ibunya.
Ibu pun harus menahan diri tak mendesak anaknya pulang. Karena situasi tak memungkinkan untuk pulang. Bukan masalah tak punya uang untuk beli tiket pesawat ataupun tiket kapal laut, dan bukan pula karena ada kesibukan lain di tanah rantau. Tapi ini karena pandemi Coronavirus disease 19 atau COVID-19.
Sejak ditemukan kasus pertama yang selanjutnya disebut kasus 01 di Depok Jawa Barat pada 2 Maret lalu, kini pasien positif COVID-19 telah meluas ke seluruh provinsi di Indonesia. Pemerintah pun membuat aturan aturan guna memutus mata rantai penyebarannya.
Salah satu aturan itu adalah larangan mudik bagi seluruh rakyat Indonesia yang tinggal di kota perantauan. Larangan mudik mulai berlaku 24 April lalu. Namun, banyak perantau yang "kucing-kucingan" dengan aparat agar bisa mudik.
Bahkan banyak yang sudah sampai di kampung halaman, dengan risiko harus menjalani isolasi dan karantina.
Taat aturan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbang) Kementerian Perhubungan melakukan survei, hasilnya menunjukkan sebagian masyarakat masih bersikeras untuk mudik.
Kepala Balitbang Kemenhub Umiyatun Hayati Triastuti dalam webinar yang bertajuk "Pengelolaan Transportasi dalam Pengendalian Penyebaran COVID-19" di Jakarta, beberapa waktu lalu mengungkapkan dari hasil survei diketahui sebagian masyarakat akan tetap bersikeras mudik walaupun pemerintah melakukan intervensi dengan berbagai kebijakan atau keputusan tidak mudik.
Meski begitu, masih banyak pula warga Indonesia yang taat aturan dengan tidak mudik. Tidak mudik karena tidak ingin membawa penyakit ke rumah orang tua di kampung halaman. Mereka berikhtiar untuk tetap sehat dan menjaga kesehatan keluarga di kampung halaman.
Seperti yang dilakukan Halila Rama Purnama, pejabat di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Ia yang setiap lebaran Idul Fitri selalu mudik ke kampung halaman di Kota Pontianak, untuk tahun ini ibu dua anak tersebut harus mengurungkan niatnya.
"Tidak mudik. Sampai hari ini saya dan anak-anak masih di Surabaya, dan suami masih di Banten," katanya saat dihubungi. Halila Rama Purnama saat ini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Mojokerto. Terhitung 1 Juni mendatang, ia pindah tugas ke Kejaksaan Agung RI.
Ia menyatakan alasan tidak mudik karena mengikuti perintah dari Jaksa Agung RI, agar semua jajaran Kejaksaan RI tidak meninggalkan wilayah kerja baik hari Sabtu dan Minggu, maupun libur Lebaran.
Kalau pun tidak ada surat edaran dari pimpinannya, Halila Rama Purnama menyatakan ia tetap tidak akan mudik. Mengingat Indonesia yang kini sedang menghadapi pandemi COVID-19 yang belum ditemukan obat atau vaksinnya.
"Kita semua sadar rantai penyebaran COVID-19 ini karena adanya pergerakan manusia antardaerah ke daerah lain, makanya kami sebagai ASN harus memberi contoh kepada masyarakat untuk tidak melakukan mudik, sebagai salah satu upaya memutus mata rantai penyebaran COVID-19," kata Ema, sapaan akrabnya.
Risiko tinggi
Selain itu, orang tua yang akan dikunjungi masuk kualifikasi yang berisiko tinggi tertular.
Menurut dia, ibunya tinggal sendirian. Namun, selalu ditemani tiga adiknya yang masing-masing memiliki rumah tangga sendiri.
"Karena sayangnya kami sama orang tua dan keluarga di Pontianak, saya memutuskan untuk tidak mudik," kata Ema. Dia pun sudah dua bulan lebih terpisah dari suami yang bekerja di Provinsi Banten.
Untuk menghibur diri selama berada di tempat tugas, perempuan kelahiran Pontianak ini mengajak teman-teman sesama kepala kejaksaan negeri perempuan di wilayah Jatim, membuat video berdurasi 2-5 menit. Konten video adalah mengajak masyarakat untuk menggunakan masker, menyanyi lagu yang menghibur diri, dan video aktivitas kerja para staf di Kejari Mojokerto.
Selain Ema ada juga Linda Marlina yang kini tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Menariknya, keduanya sama-sama memilih untuk tidak mudik, jika pun tak ada peraturan larangan mudik Lebaran dari pemerintah.
Sebelum ada pandemi COVID-19, tak ada kata "tak mudik Lebaran" bagi Linda Marlina. Mudik Lebaran menjadi kewajiban baginya selama 20 tahun merantau. Namun, dengan adanya pandemi COVID-19, ia harus mengurungkan keinginan melepas rindu kepada ibunya dan kampung halaman di Kota Pontianak.
Jauh hari sebelum keluar larangan mudik menyambut Idul Fitri 1441 Hijriah dari Presiden Joko Widodo, Linda sudah menghubungi ibunya untuk memberi kabar bahwa dia tidak mudik Lebaran.
"Saya sudah memberitahu mama sejak awal April. Bersyukur mama di Pontianak dapat memahami dan juga minta kami saling mendoakan," katanya.
Zona merah
Melalui sambungan telepon, Linda mengutip pernyataan ibunya, "Tidak apa kak (sapaan Linda sebagai anak tertua), yang penting kita sehat semua..."
Linda yang bekerja di lembaga pendidikan swasta di Kabupaten Bogor, setiap tahun selalu mudik lebih awal dari tanggal cuti bersama yang ditetapkan pemerintah. Karena bekerja di lembaga pendidikan, libur sekolah lebih panjang dari jadwal cuti bersama tersebut.
Karena itu, ia sudah ada di kampung halaman sepekan sebelum hari Raya Lebaran. Dan baru kembali ke Kota Bekasi, tempat tinggalnya, dua pekan kemudian. Namun, sejak ada pandemi COVID-19, jadwal rutin itu tak berlaku lagi pada Lebaran tahun ini.
Kota Bekasi tempatnya tinggal pun memberlakukan PSBB karena masuk zona merah pandemi COVID-19. Untuk mengisi waktu selama PSBB dan tak mudik Lebaran, ia mengikuti kursus dan seminar secara daring (online). Kursus mengedit foto dari android dan seminar pendidikan.
Tidak bisa kumpul keluarga saat Lebaran, memang tak mengenakan. Namun, itu bagian dari ikhtiar bersama untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
COVID-19 di Kalbar
Perintah larangan mudik Lebaran bagi seluruh warga disampaikan Presiden Joko Widodo pada 21 April dan efektif berlaku pada 24 April 2020.
Perintah Presiden itu kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya peraturan pendukung dari pejabat negara dan pejabat di tingkat daerah.
Kementerian Pendayagunaan aparatur negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) telah menerbitkan Surat Edaran Menpan RB Nomor 46 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Keluar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik dan/atau Cuti bagi ASN dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Edaran ini kemudian ditindaklanjuti hingga tingkat daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Gubernur Kalbar Sutarmidji juga sudah mengimbau warganya untuk tidak mudik, baik dari kota yang memberlakukan PSBB atau zona merah maupun di dalam wilayah Kalbar atau antar-kabupaten/kota.
Sebelum keluar aturan larangan mudik Lebaran, Sutarmidji juga sudah menekankan bahwa bagi pendatang dari luar Kalbar, harus melakukan isolasi selama 28 hari.
Hingga Selasa (19/5) pukul 07.00 WIB, di Kalbar terkonfirmasi 132 kasus positif COVID-19, dimana 24 dirawat, 69 isolasi ketat, 32 sembuh, dan empat kasus meninggal. Kemudian ada 79 pasien dalam pengawasan (PDP) dan 11.824 orang dalam pantauan (ODP).
Dari 14 kabupaten/kota di Kalbar, penyebaran positif COVID-19 sudah ada di Kota Pontianak dan Singkawang dan 10 kabupaten meliputi Kubu Raya, Mempawah, Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Ketapang, dan Kayong Utara.
Dua kabupaten lainnya, Sekadau dan Melawi belum terkonfirmasi kasus positif COVID-19.
Sanksi berat
Terkait angka-angka di atas, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyatakan pihaknya akan memberikan sanksi berat kepada aparatur sipil negara atau ASN yang mudik Lebaran tahun 2020 ini.
"Sanksi bagi ASN di lingkungan Pemkot Pontianak yang mudik Lebaran tahun ini, bisa pencopotan dari jabatan, penundaan kenaikan pangkat hingga penundaan kenaikan gaji berkala," katanya pada Senin (18/5).
Ia menjelaskan, pemberlakuan aturan itu merujuk pada aturan dari pemerintah pusat, tentang larangan bagi ASN dan masyarakat untuk mudik Lebaran dalam mencegah penyebaran COVID-19. Sesuai Surat Edaran Menpan RB Nomor 46 Tahun 2020.
Sedangkan sanksi bagi ASN diterangkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 11/SE/IV/2020 tentang Pedoman Penjatuhan Hukuman Disiplin Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Melakukan Kegiatan Bepergian ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik pada Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Aparat sipil yang tetap nekat mudik, harus menanggung sendiri risikonya, kata dia.
Pelonggaran penerbangan dan penumpang harus melengkapi dokumen persyaratan sesuai protokol kesehatan dalam pencegahan penyebaran COVID-19, menurut dia, ada kecenderungan menjadikan masyarakat ingin mudik Lebaran.
Edi Kantomo menyatakan Pontianak menjadi kota perlintasan daerah lain di Kalbar, karena Bandara Supadio berada Kubu Raya yang berbatasan Pontianak. Karena itu ia mengharapkan mereka yang turun atau mendarat di Supadio tidak menginap atau mukim di Pontianak.
Pemerintah kota tak mempunyai otoritas untuk menahan mereka. Hanya memantau lalu lintas dan berkoordinasi dengan otoritas bandara serta Dishub Provinsi Kalbar, untuk memastikan kemana tujuan dan asal warga yang melakukan perjalanan tersebut.
Karena itu, mari bersabar untuk tidak mudik, bersama-sama memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Untuk menyiapkan masa depan yang sehat.*
Baca juga: MUI Kalbar : pemda yang berwenang tentukan tempat shalat Ied
Baca juga: Norsan kembali ingatkan ASN untuk tidak mudik Lebaran
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020