Koordinator Advokasi ECPAT Indonesia Rio Hendra mengatakan perlu pedoman kebijakan pelindungan anak di lembaga layanan yang berhubungan langsung dengan anak agar kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi di Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan Anak (P2TP2A) Lampung Timur tidak terjadi lagi.
"Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus segera menyusun pedoman tersebut," kata Rio dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Rio mengatakan kekerasan seksual yang dilakukan anggota P2TP2A harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Rio mempertanyakan seseorang yang memiliki kecenderungan jahat kepada anak-anak bisa bekerja di sebuah lembaga layanan pelindungan anak dari kekerasan seperti P2TP2A.
"Apakah tidak ada seleksi yang ketat dalam perekrutan anggota atau staf yang akan bekerja? Menurut penjelasan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pelaku diangkat melalui surat keputusan Bupati Lampung Timur," tuturnya.
Karena itu, Rio mendesak Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk memperbaiki proses rekrutmen kepengurusan lembaga maupun anggota atau staf yang bekerja langsung di lembaga layanan seperti P2TP2A.
"Agar kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan seksual anak tidak terulang lagi dan memperburuk citra lembaga layanan seperti P2TP2A," katanya.
ECPAT Indonesia juga mendesak aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, dan hakim yang menangani kasus tersebut mengutamakan pemenuhan hak-hak korban dan memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban, selain pemberian hukuman yang berat bagi pelaku.
"Mekanisme restitusi dalam kasus ini harus segera dijalankan dari awal proses hukum agar hak korban bisa terealisasi dan pelaku ikut bertanggung jawab dalam memenuhi hak-hak korban," ucapnya.
Bila pelaku tidak mampu membayar restitusi, Rio menilai negara harus memberikan kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab karena telah gagal melindungi korban dari kekerasan dan eksploitasi seksual di lembaga layanan pelindungan anak.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020
"Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus segera menyusun pedoman tersebut," kata Rio dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Rio mengatakan kekerasan seksual yang dilakukan anggota P2TP2A harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Rio mempertanyakan seseorang yang memiliki kecenderungan jahat kepada anak-anak bisa bekerja di sebuah lembaga layanan pelindungan anak dari kekerasan seperti P2TP2A.
"Apakah tidak ada seleksi yang ketat dalam perekrutan anggota atau staf yang akan bekerja? Menurut penjelasan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pelaku diangkat melalui surat keputusan Bupati Lampung Timur," tuturnya.
Karena itu, Rio mendesak Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur untuk memperbaiki proses rekrutmen kepengurusan lembaga maupun anggota atau staf yang bekerja langsung di lembaga layanan seperti P2TP2A.
"Agar kasus-kasus eksploitasi dan kekerasan seksual anak tidak terulang lagi dan memperburuk citra lembaga layanan seperti P2TP2A," katanya.
ECPAT Indonesia juga mendesak aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, dan hakim yang menangani kasus tersebut mengutamakan pemenuhan hak-hak korban dan memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban, selain pemberian hukuman yang berat bagi pelaku.
"Mekanisme restitusi dalam kasus ini harus segera dijalankan dari awal proses hukum agar hak korban bisa terealisasi dan pelaku ikut bertanggung jawab dalam memenuhi hak-hak korban," ucapnya.
Bila pelaku tidak mampu membayar restitusi, Rio menilai negara harus memberikan kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab karena telah gagal melindungi korban dari kekerasan dan eksploitasi seksual di lembaga layanan pelindungan anak.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020