Kepala Seksi Aneka Kacang dan Umbi (Akabi) Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalbar Bader Sasmara mengatakan bahwa saat ini produktivitas tanaman keladi saat ini terus meningkat dan bahkan ada mencapai 68 ton per hektare.
"Ini terjadi di beberapa kota dan kabupaten. Bahkan di Kota Singkawang sendiri cukup bagus sampai produktivitas pada 1 hektare dapat menghasilkan hingga 68 ton," ujarnya dalam Sosialisasi dan Evaluasi Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Akabi) di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan, bayangkan apabila harganya Rp6.000 saja per kilogram maka pendapatan petani dalam 1 hektare mencapai Rp408 juta. Hal itu tentu nyata meningkatkan perekonomian masyarakat karena dalam produksi keladi masyarakat tidak putus sistemnya dan terus berlanjut.
"Selain itu pasar keladi juga sudah tembus ke Malaysia, karena seperti dilihat di Singkawang sendiri produksi keladinya dari lahan 100 hektare," jelasnya.
Meski secara umum produktivitas Akabi di Kalbar cenderung meningkat, namun pada tanaman kedelai produksinya cenderung menurun.
"Untuk kedelai dipermasalahkan karena harganya tidak terlalu tinggi di pasaran. Sehingga petani tidak semangat untuk menanam kedelai. Memang kalau kedelai itu banyak yang panen muda karena harganya lebih bagus. Sedangkan pemerintah maunya panen kondisi biji kering," ujarnya
Selain itu pasar untuk kedelai hanya pada kalangan tertentu. Pabrik tahu yang menampung pun dalam jumlah kecil.
"Jadi mereka mengambilnya juga sedikit-sedikit. Sehingga barang kedelai tidak tahan lama," katanya.
Ia berharap pemerintah daerah terutama kota dan kabupaten lebih jeli melihat isu pangan. "Pemda bisa buat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus pertanian sehingga barang-barang produksi masyarakat dapat ditampung pemerintah. Nanti BUMD yang memasarkan dengan relasi yang banyak atau mengolah, jadi petani tinggal produksi," katanya.
Ia mengatakan, kalau dibangun BUMD petani kita tidak khawatir termasuk terhadap harga-harga di pasar. "Contoh ketika masyarakat memproduksi keladi dan dengan BUMD berbasis pertanian yang menyediakan tempat penampungan, tentu hasil produksi akan tahan lama," jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga mengharapkan adanya subsidi agar masyarakat tidak khawatir soal harga, pemasaran, dan produksi.
Sementara saat ini mereka takut produksi karena takut tidak ada pasar, apalagi ketika panen raya.
"Tapi kalau pemerintah ambil disubsidi harga maka yang terjadi contohnya pada keladi mereka untung Rp6.000 dipasarkan Rp8,000 dan ketika anjlok, harganya Rp4.000 pemerintah tetap ambil. Harga anjlok ini terjadi karena suplai lebih banyak daripada permintaan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021
"Ini terjadi di beberapa kota dan kabupaten. Bahkan di Kota Singkawang sendiri cukup bagus sampai produktivitas pada 1 hektare dapat menghasilkan hingga 68 ton," ujarnya dalam Sosialisasi dan Evaluasi Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Akabi) di Pontianak, Selasa.
Ia mengatakan, bayangkan apabila harganya Rp6.000 saja per kilogram maka pendapatan petani dalam 1 hektare mencapai Rp408 juta. Hal itu tentu nyata meningkatkan perekonomian masyarakat karena dalam produksi keladi masyarakat tidak putus sistemnya dan terus berlanjut.
"Selain itu pasar keladi juga sudah tembus ke Malaysia, karena seperti dilihat di Singkawang sendiri produksi keladinya dari lahan 100 hektare," jelasnya.
Meski secara umum produktivitas Akabi di Kalbar cenderung meningkat, namun pada tanaman kedelai produksinya cenderung menurun.
"Untuk kedelai dipermasalahkan karena harganya tidak terlalu tinggi di pasaran. Sehingga petani tidak semangat untuk menanam kedelai. Memang kalau kedelai itu banyak yang panen muda karena harganya lebih bagus. Sedangkan pemerintah maunya panen kondisi biji kering," ujarnya
Selain itu pasar untuk kedelai hanya pada kalangan tertentu. Pabrik tahu yang menampung pun dalam jumlah kecil.
"Jadi mereka mengambilnya juga sedikit-sedikit. Sehingga barang kedelai tidak tahan lama," katanya.
Ia berharap pemerintah daerah terutama kota dan kabupaten lebih jeli melihat isu pangan. "Pemda bisa buat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus pertanian sehingga barang-barang produksi masyarakat dapat ditampung pemerintah. Nanti BUMD yang memasarkan dengan relasi yang banyak atau mengolah, jadi petani tinggal produksi," katanya.
Ia mengatakan, kalau dibangun BUMD petani kita tidak khawatir termasuk terhadap harga-harga di pasar. "Contoh ketika masyarakat memproduksi keladi dan dengan BUMD berbasis pertanian yang menyediakan tempat penampungan, tentu hasil produksi akan tahan lama," jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga mengharapkan adanya subsidi agar masyarakat tidak khawatir soal harga, pemasaran, dan produksi.
Sementara saat ini mereka takut produksi karena takut tidak ada pasar, apalagi ketika panen raya.
"Tapi kalau pemerintah ambil disubsidi harga maka yang terjadi contohnya pada keladi mereka untung Rp6.000 dipasarkan Rp8,000 dan ketika anjlok, harganya Rp4.000 pemerintah tetap ambil. Harga anjlok ini terjadi karena suplai lebih banyak daripada permintaan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021