Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunnak) Provinsi Kalbar M Munsif mengatakan penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) bisa menjadi upaya dan langkah untuk menekan emisi gas rumah kaca.
"Dalam ISPO, ada kriteria yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Jika sudah ISPO maka otomatis prinsip-prinsip seperti itu sudah menjadi sebuah standar operasional prosedur (SOP) di suatu perusahaan," ujarnya saat kegiatan sosialisasi pengendalian gas emisi rumah kaca pada subsektor perkebunan di Provisi Kalbar Tahun 2021 di Pontianak, Kalbar, Senin.
Ia menjelaskan bahwa di Indonesia cara budi daya sawit yang berkelanjutan dengan ISPO karena di dalamnya ada kearifan lokal yang diakomodir. Berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), untuk data perusahaan ISPO di Kalbar saat ini hanya tercatat 54 dan itu masih perlu didorong dan didukung.
"ISPO ini monitoring yang berkewajiban dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2020 yang diwajibkan bukan hanya perusahaan perkebunan tapi juga untuk perkebunan swadaya. Jika perusahaan semuanya termasuk perkebunan swadaya bisa mengantongi ISPO, maka produk sawit kita diterima luas. Ini merupakan pekerjaan yang besar, maka dari itu kita berharap dapat mendorong perusahaan di mana perusahaan tersebut harus mencapai target yang dicapai. Kita ingin mempunyai standarnya dengan kearifan lokal dan tidak bisa disamakan dengan standarnya budaya lain," kata dia.
Ia menyebutkan bahwa penurunan emisi gas rumah kaca merupakan satu komitmen pemerintah dan negara Indonesia dalam kesepakatan perubahan iklim dunia yang disepakati pada tahun 2009 di Paris.
Pemerintah menargetkan 29 persen untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, sehingga secara total pada 2030 penurunan 40 persen.
Bentuk komitmen ini dalam konteks di kehutanan sebenarnya yang menggunakan basis lahan merupakan bagian terbesar Indonesia. Untuk kawasan hutan di Indonesia lebih ke perkebunan.
"Kita punya potensi untuk kontribusi dalam pengurangan gas rumah kaca dan memperbesar deposit karbon kita dengan cara optimalisasi konsesi-konsesi lahan yang diberikan oleh pemerintah. Maka dari itu kami menanami perkebunan kelapa sawit karena semakin terpelihara maka semakin produktif juga perkebunan sawit yang akan berinvestasi dengan dua posisi yang positif. Produksinya akan dinikmati oleh pelaku usaha termasuk perkebunannya. Misal, produktivitas 10 ton menjadi 20 ton, 20 ton menjadi 25 ton maka bagi petani maupun pengusaha tentu ini hal yang bagus," tambahnya.
Munsif melanjutkan untuk di area perkebunan yang sesuai dengan undang-undang mengenai pedoman usaha berbasis lahan di mana pemerintah daerah mewajibkan area perusahaannya konsesinya harus area penggunaan lain (APL) dan menyisakan 7 persen di area tersebut.
"Dengan demikian emisi karbon bisa ditekan. Tidak semua lahan bisa dibuka dan yang paling prinsip di perkebunan dalam pembukaan lahan untuk ditanami sawit harus tanpa membakar," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021
"Dalam ISPO, ada kriteria yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Jika sudah ISPO maka otomatis prinsip-prinsip seperti itu sudah menjadi sebuah standar operasional prosedur (SOP) di suatu perusahaan," ujarnya saat kegiatan sosialisasi pengendalian gas emisi rumah kaca pada subsektor perkebunan di Provisi Kalbar Tahun 2021 di Pontianak, Kalbar, Senin.
Ia menjelaskan bahwa di Indonesia cara budi daya sawit yang berkelanjutan dengan ISPO karena di dalamnya ada kearifan lokal yang diakomodir. Berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), untuk data perusahaan ISPO di Kalbar saat ini hanya tercatat 54 dan itu masih perlu didorong dan didukung.
"ISPO ini monitoring yang berkewajiban dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2020 yang diwajibkan bukan hanya perusahaan perkebunan tapi juga untuk perkebunan swadaya. Jika perusahaan semuanya termasuk perkebunan swadaya bisa mengantongi ISPO, maka produk sawit kita diterima luas. Ini merupakan pekerjaan yang besar, maka dari itu kita berharap dapat mendorong perusahaan di mana perusahaan tersebut harus mencapai target yang dicapai. Kita ingin mempunyai standarnya dengan kearifan lokal dan tidak bisa disamakan dengan standarnya budaya lain," kata dia.
Ia menyebutkan bahwa penurunan emisi gas rumah kaca merupakan satu komitmen pemerintah dan negara Indonesia dalam kesepakatan perubahan iklim dunia yang disepakati pada tahun 2009 di Paris.
Pemerintah menargetkan 29 persen untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, sehingga secara total pada 2030 penurunan 40 persen.
Bentuk komitmen ini dalam konteks di kehutanan sebenarnya yang menggunakan basis lahan merupakan bagian terbesar Indonesia. Untuk kawasan hutan di Indonesia lebih ke perkebunan.
"Kita punya potensi untuk kontribusi dalam pengurangan gas rumah kaca dan memperbesar deposit karbon kita dengan cara optimalisasi konsesi-konsesi lahan yang diberikan oleh pemerintah. Maka dari itu kami menanami perkebunan kelapa sawit karena semakin terpelihara maka semakin produktif juga perkebunan sawit yang akan berinvestasi dengan dua posisi yang positif. Produksinya akan dinikmati oleh pelaku usaha termasuk perkebunannya. Misal, produktivitas 10 ton menjadi 20 ton, 20 ton menjadi 25 ton maka bagi petani maupun pengusaha tentu ini hal yang bagus," tambahnya.
Munsif melanjutkan untuk di area perkebunan yang sesuai dengan undang-undang mengenai pedoman usaha berbasis lahan di mana pemerintah daerah mewajibkan area perusahaannya konsesinya harus area penggunaan lain (APL) dan menyisakan 7 persen di area tersebut.
"Dengan demikian emisi karbon bisa ditekan. Tidak semua lahan bisa dibuka dan yang paling prinsip di perkebunan dalam pembukaan lahan untuk ditanami sawit harus tanpa membakar," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021