Ketua Umum Apkasindo mengatakan harga tandan buah segar kelapa sawit masih anjlok dan dalam dua pekan terakhir belum ada pengapalan ekspor CPO walaupun
Presiden Jokowi telah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah pada 23 Mei lalu.
Paradoks harga TBS dengan harga CPO di pasar internasional ini karena kebijakan kementerian pelaksana teknis, khususnya terkait penyediaan minyak goreng dan ketentuan ekspor minyak sawit yang tidak efektif.
“Hingga hari ini, harga TBS masih anjlok. Menteri Perdagangan harus bertanggung jawab,” kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/6).
Dari pantauan Apkasindo, saat ini beberapa pabrik kelapa sawit mulai menolak pembelian TBS petani dengan alasan tanki penuh karena kesulitan menjual CPO nya. Penuhnya tanki ini karena hingga dua pekan pencabutan larangan ekspor CPO, belum ada pengapalan ekspor sama sekali.
Pantauan Apkasindo di 146 Kabupaten Kota dari 22 Provinsi mulai dari Aceh hingga Papua, harga TBS Petani sudah semakin anjlok.
“Rata-rata harga kini tinggal Rp1.900 per kilogram untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp.2.240 per kilogram untuk petani bermitra” kata Gulat Manurung.
Gulat menilai, kebijakan Menteri Perdagangan terkait penyediaan minyak goreng inkonsisten dan tidak efektif. Alih-alih menyelesaikan persoalan minyak goreng, kebijakan yang dikeluarkan justru mematikan masa depan industri sawit nasional.
Beberapa kebijakan yang inkonsisten tersebut, antara lain peraturan tentang DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor.
“Bongkar pasang kebijakan seperti ini pada akhirnya hanya membuat petani sawit sengsara,” kata Gulat.
Beban lain bagi industri sawit adalah tingginya pajak ekspor dan pungutan ekspor (levy). Total pajak ekspor dan levy yang dibayarkan pelaku usaha sawit mencapai USD 575 per ton CPO yang diekspor. Beban yang besar ini pada akhirnya juga akan ditanggung oleh petani sawit karena harga TBS tidak akan pernah bisa pararel dengan harga CPO di pasar internasional.
“Dalam sejarah, mungkin sawit satu-satunya komoditas yang dipaksa untuk menanggung beban pungutan hingga setengah harga barangnya yang ujung-ujungnya dibebankan ke petani,” katanya.
Gulat menjelaskan beban petani terus bertambah dengan dengan adanya kenaikan harga pupuk hampir 300 persen.
“Harga TBS telah anjlok sekitar 55-60 persen jika dibandingkan sebelum larangan ekspor diberlakukan,” kata Gulat.
Bila kondisi ini masih berlarut, bisa dipastikan harga TBS petani bisa terus turun hingga di bawah Rp.1.000 per kg. Bahkan berpotensi tidak laku, karena pabrik kelapa sawit dan refinery telah kewalahan akibat ekspor yang terhambat
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022
Presiden Jokowi telah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah pada 23 Mei lalu.
Paradoks harga TBS dengan harga CPO di pasar internasional ini karena kebijakan kementerian pelaksana teknis, khususnya terkait penyediaan minyak goreng dan ketentuan ekspor minyak sawit yang tidak efektif.
“Hingga hari ini, harga TBS masih anjlok. Menteri Perdagangan harus bertanggung jawab,” kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/6).
Dari pantauan Apkasindo, saat ini beberapa pabrik kelapa sawit mulai menolak pembelian TBS petani dengan alasan tanki penuh karena kesulitan menjual CPO nya. Penuhnya tanki ini karena hingga dua pekan pencabutan larangan ekspor CPO, belum ada pengapalan ekspor sama sekali.
Pantauan Apkasindo di 146 Kabupaten Kota dari 22 Provinsi mulai dari Aceh hingga Papua, harga TBS Petani sudah semakin anjlok.
“Rata-rata harga kini tinggal Rp1.900 per kilogram untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp.2.240 per kilogram untuk petani bermitra” kata Gulat Manurung.
Gulat menilai, kebijakan Menteri Perdagangan terkait penyediaan minyak goreng inkonsisten dan tidak efektif. Alih-alih menyelesaikan persoalan minyak goreng, kebijakan yang dikeluarkan justru mematikan masa depan industri sawit nasional.
Beberapa kebijakan yang inkonsisten tersebut, antara lain peraturan tentang DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor.
“Bongkar pasang kebijakan seperti ini pada akhirnya hanya membuat petani sawit sengsara,” kata Gulat.
Beban lain bagi industri sawit adalah tingginya pajak ekspor dan pungutan ekspor (levy). Total pajak ekspor dan levy yang dibayarkan pelaku usaha sawit mencapai USD 575 per ton CPO yang diekspor. Beban yang besar ini pada akhirnya juga akan ditanggung oleh petani sawit karena harga TBS tidak akan pernah bisa pararel dengan harga CPO di pasar internasional.
“Dalam sejarah, mungkin sawit satu-satunya komoditas yang dipaksa untuk menanggung beban pungutan hingga setengah harga barangnya yang ujung-ujungnya dibebankan ke petani,” katanya.
Gulat menjelaskan beban petani terus bertambah dengan dengan adanya kenaikan harga pupuk hampir 300 persen.
“Harga TBS telah anjlok sekitar 55-60 persen jika dibandingkan sebelum larangan ekspor diberlakukan,” kata Gulat.
Bila kondisi ini masih berlarut, bisa dipastikan harga TBS petani bisa terus turun hingga di bawah Rp.1.000 per kg. Bahkan berpotensi tidak laku, karena pabrik kelapa sawit dan refinery telah kewalahan akibat ekspor yang terhambat
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022