Mendeteksi dini keberadaan kanker ovarium dengan mengenal enam faktor risiko dan empat gejala dapat membantu pasien mendapat penanganan yang tepat dan mengurangi angka kematian, kata Dokter Spesialis Onkologi - dr. Oni Khonsa, Sp.OG, Subsp. Onk dari RSUP Persahatan.

"Kebanyakan datang terlambat, angka yang datang lebih awal itu jauh lebih dibanding dengan yang telat. Penting untuk tahu tentang 10 faktor risiko dan gejala," ujar dr. Oni dalam webinar "AstraZeneca: Kampanye 10 Jari" di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: Satu dari lima pasien kanker meninggal akibat malnutrisi

Terdapat enam faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang terkena kanker ovarium yakni memiliki riwayat kista endometrium, keturunan keluarga dengan kanker ovarium atau payudara, mutasi genetik, jumlah persalinan rendah, gaya hidup yang buruk dan pertambahan usia.

Dari keenam faktor tersebut ditambah lagi dengan empat tanda atau gejala seperti perut kembung, nafsu makan berkurang, sering buat air kecil dan nyeri panggul atau perut. Namun, kanker ovarium tidak disertai gejala pada stadium awal.

"Kalau kita sudah punya salah satu dari enam faktor risikonya, terus ditambah ada gejala perut kembung, mungkin diare, harus periksa meskipun tidak semua gejala itu pada akhirnya kanker ovarium," kata dr. Oni.

Lebih lanjut, dr. Oni mengatakan penting untuk mewaspadai setiap tanda dan gejala. Sebab, kanker ovarium tidak seperti kanker serviks yang dapat terdeteksi melalui pemeriksaan papsmear.

Baca juga: Deteksi dini kanker payudara bisa dilakukan secara mandiri

Kanker ovarium juga tidak hanya diderita oleh perempuan yang sudah mengalami menopause. Anak muda pun memiliki peluang yang sama khususnya jika terdapat keluarga dekat dengan riwayat kanker.

"Kalau enggak ada tanda bukan berarti enggak melakukan pemeriksaan, yang muda belum tentu aman. Ketiga ada kolega sedarah, kita harus waspada tapi bukan hanya kanker ovarium tapi juga kanker payudara, itu satu geng," katanya.

dr. Oni mengatakan minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai kanker ovarium sangat memprihatinkan. Padahal jika dideteksi lebih awal, kanker ovarium dapat ditangani dan 94 persen pasiennya dapat hidup lebih dari 5 tahun setelah didiagnosis.

Menurut dr. Oni, saat kanker ovarium masih berada di stadium awal, di mana kanker masih terbatas di ovarium maka penanganan dan pengobatan memiliki kemungkinan besar untuk berhasil.

"Di Indonesia itu kalau enggak mau periksa karena takut ketahuan, padahal memang periksaan itu biar ketahuan. Kalau memeriksa sejak awak dampak-dampaknya juga akan rendah," ujar dr. Oni.

Baca juga: AirPods dapat menyebabkan kanker ganas, Misinformasi
 


Peneliti dari Pusat Riset Bioteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Peni Ahmadi melakukan riset untuk mengeksplorasi kebermanfaatan invertebrata laut Indonesia bagi perawatan kanker, terutama untuk menekan kanker payudara.

"Harapannya suatu hari nanti kita bisa menemukan obat yang dapat digunakan untuk terapi yang tidak berbahaya, bahkan tidak memiliki efek samping bagi pasien," kata Peni saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.


Riset yang dilakukan Peni berjudul Potent Drug-lead from Indonesian Marine Invertebrates to Suppress Breast Cancer (Obat Ampuh dari Invertebrata Laut Indonesia untuk Menekan Kanker Payudara).

Ia mengatakan sumber daya laut terutama invertebrata laut sangat berpotensi sebagai sumber senyawa bahan alam yang memiliki aktivitas sebagai antiinfeksi dan antikanker yang penting untuk perawatan kanker. Baca selengkapnya: BRIN eksplorasi manfaat sumber daya alam laut untuk perawatan kanker


Baca juga: Lindungi yang terkasih melalui vaksinasi HPV

Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022