Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Nadrim menegaskan terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi oleh para jurnalis di tahun politik, yaitu tuntutan perusahaan media untuk membuat berita pemilu, kekerasan terhadap jurnalis dan informasi hoax.

"Dari sisi jurnalis, tantangannya adalah dari sisi etika dan tuntutan yang diberikan oleh perusahaan untuk membuat berita tentang pemilu. Kemudian kekerasan terhadap jurnalis yang semakin meningkat menjelang pemilu dan penyebaran informasi bohong menjadi tantangan yang harus dicari solusinya bersama," kata Sasmito saat menyampaikan pendapatnya pada kegiatan Diskusi bertema tantangan dan peluang independensi Jurnalis di tahun politik dan halal bihalal yang dilaksanakan oleh AJI Pontianak, Sabtu kemarin.

Sasmito menegaskan, dari sisi etika, dari data yang ada di dewan pers setiap tahunnya ada 600 laporan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh jurnalis yang laporannya di terima oleh Dewan Pers. Menurutnya, memang belum ada aturan secara rinci bagaimana jurnalis dan perusahaan media melakukan peliputan dan penerbitan berita selama pemilu. 

"Namun, kita tetap berpedoman pada Kode Etik Jurnalis yang harus terus di pegang teguh dalam peliputan pemilu. Contohnya, dalam menyajikan informasi dari lembaga survey, seharusnya jurnalis tidak bisa menerbitkan berita dari satu lembaga survey saja, tetapi harus ada perbandingan. Demikian dalam memberitakan pasangan calon yang akan maju dalam kontestasi Pilkada, atau Pilpres, harus berimbang dan memuat semua pasangan calon," tuturnya.

Untuk kekerasan pers, lanjutnya, terjadi peningkatan dari Januari hingga April 2023 di mana ada 34 kasus dan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya hanya ada 15 kasus, dan artinya terjadi 2 kali lipat lebih kasus kekerasan terhadap jurnalis menjelang Pemilu 2024 di mana ini menjadi trend yang terjadi hari ini.

"Untuk itu, jurnalis harus memiliki sistem dan mekanisme perlindungan yang kuat untuk meliput berita yang beresiko," katanya.

Terkait berita hoax menjelang Pemilu yang dipantau AJI, bersama lembaga lainnya seperti AMSI dan Mafindo yang tergabung dalam GNI juga memang sudah mulai terlihat kenaikannya, dimana mis dan disinformasi yang ada trennya sudah mengarah kepada politik.

"Untuk itu, jelas perlu upaya bersama untuk melakukan pencegahan berita Hoax saat Pemilu yang dipastikan akan mudah disebar oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk memecah belah persatuan di tengah masyarakat," katanya.

Sementara itu, Sekretaris AMSI Kalbar, Muhlis Suhairi mengatakan AMSI juga mendorong setiap media yang menjadi anggotanya untuk mengedepankan fungsi media sebagai pilar ke empat demokrasi yang menjadi pengawas dari para pemegang kekuasaan, sehingga kekuasaan yang ada tidak dilakukan dengan semena-mena.

"Agar media masa bisa dipercaya oleh publik, tentu ada standar yang harus dipenuhi, khususnya dalam menyajikan berita yang sesuai dengan kaidah jurnalistik, kemudian memuat informasi dari narsum yang kredibel, dan mengolah berita yang ada menjadi layak untuk disajikan kepada masyarakat," kata Muhlis.

Menurutnya, terdapat tantangan yang dihadapi oleh anggota AMSI di tahun Politik, di mana, di satu sisi media harus melakukan pengawasan untuk publik, dan di sisi lain media juga harus bisa menghidupi perusahaannya dengan bisnis yang baik, agar bisnis pada media masa yang terus berkembang.

"Di Amsi media diarahkan untuk membuat sistem bisnis yang baik agar tidak lepas dari fungsi pengawasannya dan tetap bisa mendapatkan omset untuk mempertahankan dan mengembangkan perusahaan. Di tahun politik, tentu ada tantangan dan peluang yang harus dihadapi dan ditangkap oleh perusahaan media, namun semua itu kembali lagi harus sesuai dengan kaidah dan pedoman pada ketetapan yang telah di buat oleh Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik," kata Muhlis.
 
 

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Evi Ratnawati


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023