Pontianak (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak menggelar diskusi dengan tema Tantangan dan Peluang Independensi Jurnalis di tahun politik, dimana kegiatan ini menjadi rangkaian dari peringatan World Pres Fredom Day 2023 di Kota Pontianak.
"Kegiatan ini tidak hanya menjadi tempat bertukar pikiran dari tema yang kita buat, namun kegiatan ini juga menjadi momen halal bihalal Hari Raya Idul Fitri untuk anggota AJI dan mitra kerjanya," kata Ketua AJI Pontianak, Rendra Oxtora di Pontianak, Minggu.
Dia mengatakan, kegiatan ini sangat relevan dengan situasi politik saat ini, di mana peran jurnalis sebagai pengawas kekuasaan sangat dibutuhkan.
Menurutnya, tahun politik adalah masa yang penuh dengan dinamika dan peristiwa yang membutuhkan pemantauan dan penyampaian informasi yang objektif dan akurat. Namun, kebebasan pers dan independensi jurnalis masih menjadi tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam era informasi yang semakin kompleks dan cepat.
Oleh karena itu, lanjutnya, diskusi ini menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang yang dihadapi oleh para jurnalis dalam melaksanakan tugas mereka dengan independen, serta menghasilkan ide-ide dan solusi yang dapat meningkatkan independensi jurnalis dalam menjalankan tugas mereka.
"Saya berharap bahwa diskusi ini akan menjadi forum yang produktif dan bermanfaat bagi para peserta, dan memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai peran jurnalis dalam demokrasi dan bagaimana kita semua dapat memastikan independensi jurnalis tetap terjaga," katanya.
Pada kegiatan diskusi tersebut, menghadirkan tiga pemantik diskusi, diantaranya Ketua Umum AJI Sasmito Nadrim, Sekretaris AMIS Kalbar Muhlis Suhairi dan Komisioner Bawaslu Kalbar, Faisal Riza.
Di tempat yang sama, Komisioner Bawaslu Kalbar, Faisal Riza mengatakan, media punya peran strategis dalam Pemilu karena selain menjadi referensi bagi publik untuk memastikan mana kebenaran berita, karena dirinya yakin dalam Pemilu nanti informasi berita hoax akan semakin meningkat.
"Jadi media mainstream harus menjadi referensi utama bagi masyarakat dalam memerangi informasi hoax tersebut. Yang kedua media mainstream juga harus mampu menjadi mata publik terhadap proses penyelenggaraan Pemilu yang jurdil karena itu media harus melakukan pengawasan terhadap seluruh proses penyelenggaraan itu bersama dengan lembaga yang punya kompetensi soal itu," tuturnya.
Faisal juga mengatakan, media harus menjadi sarana pendidikan politik yang lebih demokratis karena kita tahu bahwa banyak sekali pemilih kita yang mungkin tidak tahu tata cara mencoblos, apa lagi pemilih milenial yang dalam tanda petik yang mungkin sampai hari ini tidak terlalu mengikuti soal dunia politik.
"Media-media harus mampu menjadi sarana integrasi, karena kita tahu bahwa kerawanan Pemilu itu kan punya potensi membuat keresahan masyarakat. Jadi media harus mampu menjadi sarana edukasi dari perbedaan politik dan pilihan politik masyarakat," kata Faisal.
Selain itu, lanjutnya, abuse of power dalam penyelenggaraan Pemilu juga berpotensi terjadi dan media harus memiliki peran untuk mengkritisi hal tersebut.
"Yang ketiga adalah soal politik uang, di mana hal ini bisa terjadi pada pemilih dan bisa terjadi pada penyelenggara dan media penting untuk melakukan pengawasan," tuturnya.