Pemerintah Indonesia telah membuktikan komitmennya untuk menghapus kekerasan seksual di tanah air. Sejalan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), diharapkan penanganan kasus kekerasan seksual diputuskan sesuai koridor hukum yang berlaku.

Undang-Undang TPKS yang disahkan pada Senin 9 Mei 2022 lalu juga menjadi bukti nyata upaya pemerintah Indonesia untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Penghapusan diskriminasi terhadap perempuan ini merupakan tindak lanjut dari keputusan Indonesia meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Pada 2023 ini, terhitung sudah 39 tahun Indonesia meratifikasi konvensi tersebut.

Terobosan di bidang hukum untuk menghapus diskriminasi perempuan Indonesia belum berbanding lurus dengan praktik di kehidupan nyata. Diskriminasi masih dialami perempuan Indonesia di berbagai bidang, dan lingkaran kekerasan perempuan tak kunjung putus.

Di ranah privat maupun di ranah publik, kekerasan masih saja terjadi. Kekerasan seksual bahkan terjadi tanpa mengenal tempat dan waktu. Fenomena mengejutkan lainnya, kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang dulunya tak banyak diketahui, kini berani dilakukan secara terbuka dan diketahui tetangga.

Problematika yang dihadapi perempuan kian pelik saat harus berjuang mencari keadilan atas kejahatan yang menimpanya. Sebagian aparat penegak hukum masih bersikap diskriminatif terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum. Diskriminasi terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual harus segera diakhiri.

Menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Usman Kansong, semua pihak tidak menginginkan adanya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. Namun, jika hal tersebut terjadi, pemerintah telah berkomitmen untuk menghadirkan negara guna memberikan rasa keadilan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Sejak disahkannya Undang- Undang TPKS, keadilan dan perlindungan terhadap korban bisa lebih terjamin.

Baca juga: Kekerasan seksual berbasis elektronik naik drastis

“Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memungkinkan pelaku kekerasan seksual tidak hanya dipenjarakan dan dikenai denda, namun juga dapat dihukum dengan membayar restitusi atau ganti rugi pada korban,” jelas Usman Kansong.

Sejalan dengan semangat menjamin rasa keadilan dan perlindungan itulah, Usman Kansong menegaskan bahwa kampanye penerapan Undang-Undang TPKS kepada seluruh masyarakat Indonesia terus dilakukan.

Diharapkan seluruh elemen masyarakat menjadi tahu dan paham sehingga bisa ikut serta untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Tidak hanya itu, pemahaman yang baik perihal Undang-Undang TPKS juga memberikan gambaran kepada masyarakat langkah-langkah hukum yang bisa ditempuh jika terjadi kasus kekerasan seksual.

Optimisme untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan melindungi mereka atas tindak kekerasan seksual harus terus dijaga. Kekerasan seksual akan menjadi mimpi buruk bagi  korban dan anak-anak di Tanah Air. Untuk itulah menciptakan ruang aman bagi korban dan juga anak-anak menjadi tugas seluruh pihak.

Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan buah perjuangan panjang para pejuang antidiskriminasi perempuan yang didukung oleh keputusan politik. Undang-Undang TPKS diharapkan bisa segera dipahami oleh masyarakat dan juga penegak hukum.

Hanya dengan pemahaman yang memadai, implementasi undang-undang ini bisa berdampak positif terhadap penghapusan diskriminasi perempuan dan kepastian perlindungan hukum bagi perempuan serta anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual.


Baca juga: Upaya pencegahan kekerasan seksual perlu sinergi


Baca juga: Chatarina Muliana: Jangan sepelekan kasus kekerasan seksual

Pewarta: Rilis

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023