Sidang pokok perkara aksi mogok kerja tujuh orang buruh PT Swadaya Mukti Prakarsa di Pengadilan Negeri Ketapang bergulir sejak 9 Januari 2024 dimana Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima orang saksi fakta yaitu Abdias Pewang (General Affair PT. SMP), Adon (Ketua Koperasi), Ferdinan Fufu (Security), Herry Ehen (Security), Yusup Muharal (Security).

Dalam sidang ini para saksi memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian atau diduga berbohong.

Saat kuasa hukum terdakwa mempertanyakan siapa yang melakukan penyegelan pabrik, saksi menjawab tidak ada yang tahu dan jawaban saksi Abdias Pewang (General Affair PT SMP) pada saat peserta aksi mogok kerja datang, gerbang masuk ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menggunakan hidrolik sudah ditutup agar para peserta mogok kerja tidak masuk ke area PKS.

Selanjutnya pada pertanyaan lainnya yang dipertanyakan oleh kuasa hukum terdakwa kepada para saksi tentang tali sling baja yang diikatkan di gerbang Pabrik Kelapa Sawit (PKS) juga tidak ada yang melihat, bahkan ketika dipertanyakan apakah saksi melihat para buruh/pekerja yang melakukan aksi mogok kerja membawa tali sling baja, jawaban saksi tidak ada yang melihat.

Keterangan saksi ini tidak sesuai dengan BAP kepolisian dimana dalam BAP kepolisian, saksi Ferdinan Fufu menyebut melihat para terdakwa menyegel pabrik.

Ketika ditanya oleh kuasa hukum terdakwa Gusmawati Azwar kepada Ferdinan Fufu (Security) untuk mencabut keterangan BAP, yang bersangkutan tetap mempertahankan BPA dan ketika Hakim Ketua juga mempertanyakan hal tersebut  kepada Ferdinan Fufu (Security), yang bersangkutan juga tetap mempertahankan apa yang telah disampaikannya kepada penyidik kepolisian pada saat BAP.

“Dari fakta persidangan kedua ini terungkap banyak sekali kesaksian bohong yang disampaikan para saksi seperti halnya tentang gerbang yang disegel oleh para peserta aksi mogok kerja, dimana pada pengakuan saksi Abdias Pewang (General Affair PT. SMP) bahwa gerbang sudah ditutup pada saat aksi mogok kerja dan tentang tali sling baja juga sudah ada di tempat tersebut,” kata kuasa hukum terdakwa, Hendrik Hutagalung.

Selanjutnya pada sidang ketiga, Selasa 16 Januari 2024, JPU menghadirkan dua orang saksi yang diantaranya Hendri Setiawan (Staf General Affair PT. SMP) sekaligus pelapor dan Prasetiyo Hadi Kristanto (HRD). Dalam persidangan ini para saksi tidak melihat kejadian aksi mogok kerja pada 02 Oktober 2023 dan hanya menerima informasi dari tim kebun.
Namun saksi Hendri Setiawan, sekaligus pelapor dalam sidang menyatakan bahwa kerugian perusahaan pada saat aksi mogok kerja tersebut berkisar Rp4 miliar sementara ketika aksi mogok kerja para buruh/pekerja pemanen sawit tidak ada yang bekerja dan ketika ditanyakan kepada saksi mengenai data kerugian tersebut saksi menjawab hanya menerima informasi kerugian itu.

Selanjutnya saksi Prasetiyo Hadi Kristanto (HRD) yang dalam kesaksiannya menyatakan telah bekerja dua tahun lebih di PT SMP dan ketika ditanya sebab akibat dari aksi mogok kerja tersebut diterangkan oleh saksi bahwa buruh menuntut mengenai absensi scan wajah dan sistem panen dan sudah dilakukan perundingan sekitar bulan Agustus 2023 dan saksi Prasetiyo menerangkan bahwa aksi mogok kerja tersebut adalah hak dan dilindungi oleh Undang-Undang sehingga saksi paham bahwa aksi mogok kerja tersebut berdampak pada kerugian.  

Menyimak serta menyaksikan fakta persidangan ketiga ini Sekretaris Jenderal DPP K-SBSI Hendrik Hutagalung. S.H yang sekaligus Kuasa Hukum terdakwa menyampaikan rasa kecewanya dikarenakan tidak dilaksanakanya hasil perundingan yang telah dilakukan antara manajemen perusahaan dengan buruh PT SMP.

“Hasil perundingan tersebut, tuntutan buruh seperti seperti air bersih, cuti haid, pemotongan upah bila buruh/pekerja panen tidak mencapai basis dan target panen 1.650 kg walaupun buruh/pekerja sudah bekerja 7 jam atau 8 jam seharinya dengan sistem panen memotong pelepah lalu disusun dan dipancang  selanjutnya memungut brondolan mereka tidak akan mencapai target,” katanya.
Begitu juga dengan scan wajah, bila pagi hari wajah para buruh/pekerja terscand dan sore harinya tidak terscand maka upah mereka juga dipotong bahkan tidak dapat upah atau dianggap mangkir.

Bahkan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) telah melakukan pembuktian dalam bentuk kaliberasi panen, seperti waktu kerja 7 Jam sehari maka setara dengan 420 menit atau 8 Jam sehari setara dengan 480 menit sehari sementara ketika kaliberasi dilakukan di lahan yang berat pemanen harus menghabiskan waktu 43 menit dengan rincian 15 pelepah yang turun, memotong pelepah, menyusun pelepah, 6 Janjang TBS (Tandan Buah Segar) serta mungutip brondolan dan mengangkat TBS ke TPH (Tempat Pemungutan Hasil).

Bila sistem panen yang dilakukan sebagai SOP maka buruh tidak akan pernah mencapai basis/target 1.650 kg TBS dalam 1 hari kerja sehingga upah mereka akan dipotong, karena 1 Pokok yang dipanen dengan waktu 43 Menit maka dalam waktu 7 jam kerja mereka hanya bisa panen 10 pokok sawit saja atau 12 pokok sawit dalam waktu 8 jam kerja, dan hal ini merugikan buruh/pekerja dan dianggap mengeksploitasi mereka.

Kondisi inilah yang dituntut para buruh untuk diubah dalam aksi mogok kerja pada 2 Oktober 2023, namun oleh pihak PT SMP para buruh dilaporkan ke polisi dan tujuh orang buruh yang juga merangkap pengurus SBSI ditetapkan tersangka.

 

Pewarta: Rilis

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024