Tekanan dunia terhadap Israel semakin keras saja dan tak ada habis-habisnya.
Perang habis-habisan yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza, sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, sudah melebihi takaran untuk bisa disebut aksi bela diri, sehingga dunia semakin muak dibuatnya.
Sikap muak dunia itu dimanifestasikan dalam banyak hal, termasuk yang terakhir terjadi pada Jumat pekan ini di markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan Dewan Keamanan mempertimbangkan Palestina menjadi anggota penuh PBB.
Resolusi yang dirancang Uni Emirat Arab dan disponsori 70 negara itu didukung oleh 143 negara, termasuk Indonesia dan Prancis, sedangkan Inggris, Jerman dan 23 negara lainnya memilih abstain. Bahkan abstainnya Inggris dan Jerman merupakan pukulan hebat bagi Israel.
Israel sendiri, bersama Amerika Serikat, pastinya menentang resolusi itu. Mereka berada dalam kelompok sembilan negara yang menentang resolusi tersebut, selain Argentina, Republik Ceko, Hungaria, dan empat negara Pasifik Selatan yakni Micronesia, Nauru, Palau dan Papua New Guinea.
Tak bisa dipungkiri lagi Israel semakin terisolasi dari dunia, termasuk dari sekutu-sekutunya sendiri di Barat.
Perang balas dendam penuh amarah yang dilancarkan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah membuat Israel menghadapi badai diplomatik yang datang bertubi-tubi dari segala front.
Operasi militer Netanyahu di Jalur Gaza yang dilanjutkan dengan menggempur Rafah yang sudah disesaki 1,7 rakyat Palestina yang menghindari perang, membuat dunia semakin marah, tak terkecuali negara-negara yang selama ini menjadi sahabat Israel.
Mereka semakin murka setelah pemerintah Israel, yang semakin jauh ke kanan, tak berbuat apa-apa dan bahkan diam-diam mensponsori aksi pemukim-pemukim Yahudi di daerah-daerah Palestina yang diduduki Israel di Tepi Barat.
Para pemukim ini semakin brutal dalam merampas dan mengusir warga Palestina dari tanah mereka di Tepi Barat, sampai membuat Amerika Serikat pun tak bisa berdiam diri lagi, sehingga sanksi dijatuhkan kepada mereka.
Individu, kelompok masyarakat Yahudi, dan bahkan batalion tentara yang kebanyakan beranggotakan para pemukim Yahudi, menjadi sasaran sanksi Amerika Serikat.
Embargo dan boikot
Sanksi itu juga menyasar sekutu-sekutu politik Netanyahu, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, yang merupakan tokoh kanan ekstrem utama di Israel.
Ben Gvir adalah salah satu tokoh kanan Israel yang menganjurkan pembinasaan total Hamas dan pengusiran penduduk Palestina dari Gaza ke Sinai di Mesir.
Sementara itu, sejumlah negara Barat mengambil langkah lebih jauh. Irlandia dan Spanyol menyatakan bakal segera memberikan pengakuan formal kepada negara Palestina, disusul Malta dan Slovenia.
Sedangkan di Amerika Selatan, Kolombia menjadi negara kedua di kawasan itu yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel setelah Bolivia.
Tsunami diplomatik itu juga diikuti oleh gelombang embargo dan boikot ekonomi, termasuk seruan embargo perdagangan yang saat ini semakin kencang disuarakan dalam forum Uni Eropa.
Mengutip laporan The Guardian, para pemimpin Uni Eropa tengah mempelajari kemungkinan menjatuhkan embargo kepada produk-produk Israel yang dihasilkan dari daerah-daerah Palestina yang dicaplok para pemukim Yahudi.
Perdana Menteri Belgia Alexander de Croo, yang sedang mengetuai Dewan Uni Eropa, juga tengah melobi anggota-anggota Uni Eropa agar menjatuhkan embargo perdagangan kepada Israel, dengan alasan negara ini melanggar jaminan hak asasi manusia dalam kesepakatan kerjasama Uni Eropa-Israel.
Sementara itu Turki yang bukan anggota Uni Eropa tapi terikat dengan aliansi pertahanan NATO dan memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, melangkah lebih jauh dengan memberlakukan embargo perdagangan penuh kepada Israel.
Tak hanya perdagangan, seruan boikot dan embargo juga merambah kepada atlet, akademisi, dan seniman Israel.
Seruan untuk melepaskan diri dari kaitan dengan Israel juga terus didengungkan di mana-mana, termasuk oleh para mahasiswa di kampus-kampus ternama di Barat.
Mereka meminta perguruan tinggi-perguruan tinggi yang menjadi tempat mereka berkuliah, agar memutuskan hubungan dan pertalian dengan Israel atau individu dan lembaga yang memiliki kaitan dengan Israel.
Tersingkir dari komunitas global
Dalam kata lain, kritik dan kecaman terhadap Israel semakin luas dan keras, seiring dengan sikap pemerintahan Netanyahu yang kian nekad di Jalur Gaza. Kantong Palestina itu sudah kehilangan 30-an ribu nyawa manusia yang kebanyakan anak-anak dan wanita, dan diancam bencana kemanusiaan serta kelaparan, selain harus mendapati kenyataan 70 persen bangunan di sana rata dengan tanah, termasuk rumah sakit, gereja, mesjid, dan kampus-kampus Palestina.
Tudingan bahwa Israel tak sekadar memburu dan menghancurkan Hamas pun semakin kencang terdengar, karena sebenarnya mereka sedang membinasakan bangsa Palestina secara keseluruhan.
Setelah tujuh pekerja bantuan kemanusiaan World Central Kitchen yang kebanyakan warga asing, tewas pada 1 April, kata "genosida" pun semakin luas ditudingkan kepada Israel yang berdalih bahwa perangnya di Gaza semata tindakan bela diri.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyimpulkan tindakan Israel dalam membombardir Gaza sebagai vonis hukuman mati kepada rakyat Palestina yang sudah lama begitu menderita karena diskriminasi Israel.
Bahkan sejumlah kalangan di Israel mengamini pandangan Erdogan itu. Mereka beranggapan pemerintah Israel telah mengabaikan pertimbangan moral dan politik ketika terus menghambat masuknya bantuan ke Jalur Gaza dan terus memajukan rencana perang tanpa ada skenario perdamaian.
Pemerintah Israel, gagal membuktikan dalihnya sendiri bahwa perang di Jalur Gaza adalah perang melawan Hamas, bukan perang melawan rakyat Palestina, kata Nimrod Novik, mantan penasihat pemerintah Israel era Shimon Peres, seperti dikutip New York Times akhir pekan ini.
Tekanan dunia terhadap Israel ini mendorong pemerintah Amerika Serikat tak lagi terus bersisian dengan Israel. Terakhir, Presiden Joe Biden mengancam akan menangguhkan pengiriman senjata canggih ke Israel jika negara ini ngotot menggempur Rafah.
Padahal, Israel tahu pasti, akan sangat membahayakan diri mereka jika Amerika Serikat ikut-ikutan menjauhi Israel.
Mantan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pernah menyatakan aset strategis nomor satu negaranya adalah Amerika Serikat, yang selain menjadi pemasok utama senjata Israel, tapi juga pelindung politik Israel yang paling setia, termasuk di PBB.
Tapi kini, akibat sikap keras kepala Netanyahu yang lebih menuruti kelompok kanan ekstrem dalam koalisi pemerintahannya ketimbang seruan sekutu-sekutunya, negara itu dijauhi dunia, tak terkecuali sekutu-sekutunya di Barat.
Israel pun, seperti disebut Haaretz yang merupakan salah satu media terkemuka di negara Yahudi itu, menjadi negara paria, yang tersingkir dari komunitas internasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Perang habis-habisan yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza, sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, sudah melebihi takaran untuk bisa disebut aksi bela diri, sehingga dunia semakin muak dibuatnya.
Sikap muak dunia itu dimanifestasikan dalam banyak hal, termasuk yang terakhir terjadi pada Jumat pekan ini di markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan Dewan Keamanan mempertimbangkan Palestina menjadi anggota penuh PBB.
Resolusi yang dirancang Uni Emirat Arab dan disponsori 70 negara itu didukung oleh 143 negara, termasuk Indonesia dan Prancis, sedangkan Inggris, Jerman dan 23 negara lainnya memilih abstain. Bahkan abstainnya Inggris dan Jerman merupakan pukulan hebat bagi Israel.
Israel sendiri, bersama Amerika Serikat, pastinya menentang resolusi itu. Mereka berada dalam kelompok sembilan negara yang menentang resolusi tersebut, selain Argentina, Republik Ceko, Hungaria, dan empat negara Pasifik Selatan yakni Micronesia, Nauru, Palau dan Papua New Guinea.
Tak bisa dipungkiri lagi Israel semakin terisolasi dari dunia, termasuk dari sekutu-sekutunya sendiri di Barat.
Perang balas dendam penuh amarah yang dilancarkan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah membuat Israel menghadapi badai diplomatik yang datang bertubi-tubi dari segala front.
Operasi militer Netanyahu di Jalur Gaza yang dilanjutkan dengan menggempur Rafah yang sudah disesaki 1,7 rakyat Palestina yang menghindari perang, membuat dunia semakin marah, tak terkecuali negara-negara yang selama ini menjadi sahabat Israel.
Mereka semakin murka setelah pemerintah Israel, yang semakin jauh ke kanan, tak berbuat apa-apa dan bahkan diam-diam mensponsori aksi pemukim-pemukim Yahudi di daerah-daerah Palestina yang diduduki Israel di Tepi Barat.
Para pemukim ini semakin brutal dalam merampas dan mengusir warga Palestina dari tanah mereka di Tepi Barat, sampai membuat Amerika Serikat pun tak bisa berdiam diri lagi, sehingga sanksi dijatuhkan kepada mereka.
Individu, kelompok masyarakat Yahudi, dan bahkan batalion tentara yang kebanyakan beranggotakan para pemukim Yahudi, menjadi sasaran sanksi Amerika Serikat.
Embargo dan boikot
Sanksi itu juga menyasar sekutu-sekutu politik Netanyahu, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, yang merupakan tokoh kanan ekstrem utama di Israel.
Ben Gvir adalah salah satu tokoh kanan Israel yang menganjurkan pembinasaan total Hamas dan pengusiran penduduk Palestina dari Gaza ke Sinai di Mesir.
Sementara itu, sejumlah negara Barat mengambil langkah lebih jauh. Irlandia dan Spanyol menyatakan bakal segera memberikan pengakuan formal kepada negara Palestina, disusul Malta dan Slovenia.
Sedangkan di Amerika Selatan, Kolombia menjadi negara kedua di kawasan itu yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel setelah Bolivia.
Tsunami diplomatik itu juga diikuti oleh gelombang embargo dan boikot ekonomi, termasuk seruan embargo perdagangan yang saat ini semakin kencang disuarakan dalam forum Uni Eropa.
Mengutip laporan The Guardian, para pemimpin Uni Eropa tengah mempelajari kemungkinan menjatuhkan embargo kepada produk-produk Israel yang dihasilkan dari daerah-daerah Palestina yang dicaplok para pemukim Yahudi.
Perdana Menteri Belgia Alexander de Croo, yang sedang mengetuai Dewan Uni Eropa, juga tengah melobi anggota-anggota Uni Eropa agar menjatuhkan embargo perdagangan kepada Israel, dengan alasan negara ini melanggar jaminan hak asasi manusia dalam kesepakatan kerjasama Uni Eropa-Israel.
Sementara itu Turki yang bukan anggota Uni Eropa tapi terikat dengan aliansi pertahanan NATO dan memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, melangkah lebih jauh dengan memberlakukan embargo perdagangan penuh kepada Israel.
Tak hanya perdagangan, seruan boikot dan embargo juga merambah kepada atlet, akademisi, dan seniman Israel.
Seruan untuk melepaskan diri dari kaitan dengan Israel juga terus didengungkan di mana-mana, termasuk oleh para mahasiswa di kampus-kampus ternama di Barat.
Mereka meminta perguruan tinggi-perguruan tinggi yang menjadi tempat mereka berkuliah, agar memutuskan hubungan dan pertalian dengan Israel atau individu dan lembaga yang memiliki kaitan dengan Israel.
Tersingkir dari komunitas global
Dalam kata lain, kritik dan kecaman terhadap Israel semakin luas dan keras, seiring dengan sikap pemerintahan Netanyahu yang kian nekad di Jalur Gaza. Kantong Palestina itu sudah kehilangan 30-an ribu nyawa manusia yang kebanyakan anak-anak dan wanita, dan diancam bencana kemanusiaan serta kelaparan, selain harus mendapati kenyataan 70 persen bangunan di sana rata dengan tanah, termasuk rumah sakit, gereja, mesjid, dan kampus-kampus Palestina.
Tudingan bahwa Israel tak sekadar memburu dan menghancurkan Hamas pun semakin kencang terdengar, karena sebenarnya mereka sedang membinasakan bangsa Palestina secara keseluruhan.
Setelah tujuh pekerja bantuan kemanusiaan World Central Kitchen yang kebanyakan warga asing, tewas pada 1 April, kata "genosida" pun semakin luas ditudingkan kepada Israel yang berdalih bahwa perangnya di Gaza semata tindakan bela diri.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyimpulkan tindakan Israel dalam membombardir Gaza sebagai vonis hukuman mati kepada rakyat Palestina yang sudah lama begitu menderita karena diskriminasi Israel.
Bahkan sejumlah kalangan di Israel mengamini pandangan Erdogan itu. Mereka beranggapan pemerintah Israel telah mengabaikan pertimbangan moral dan politik ketika terus menghambat masuknya bantuan ke Jalur Gaza dan terus memajukan rencana perang tanpa ada skenario perdamaian.
Pemerintah Israel, gagal membuktikan dalihnya sendiri bahwa perang di Jalur Gaza adalah perang melawan Hamas, bukan perang melawan rakyat Palestina, kata Nimrod Novik, mantan penasihat pemerintah Israel era Shimon Peres, seperti dikutip New York Times akhir pekan ini.
Tekanan dunia terhadap Israel ini mendorong pemerintah Amerika Serikat tak lagi terus bersisian dengan Israel. Terakhir, Presiden Joe Biden mengancam akan menangguhkan pengiriman senjata canggih ke Israel jika negara ini ngotot menggempur Rafah.
Padahal, Israel tahu pasti, akan sangat membahayakan diri mereka jika Amerika Serikat ikut-ikutan menjauhi Israel.
Mantan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pernah menyatakan aset strategis nomor satu negaranya adalah Amerika Serikat, yang selain menjadi pemasok utama senjata Israel, tapi juga pelindung politik Israel yang paling setia, termasuk di PBB.
Tapi kini, akibat sikap keras kepala Netanyahu yang lebih menuruti kelompok kanan ekstrem dalam koalisi pemerintahannya ketimbang seruan sekutu-sekutunya, negara itu dijauhi dunia, tak terkecuali sekutu-sekutunya di Barat.
Israel pun, seperti disebut Haaretz yang merupakan salah satu media terkemuka di negara Yahudi itu, menjadi negara paria, yang tersingkir dari komunitas internasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024