Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Widodo, menyampaikan bahwa pengurangan luas hutan memicu konflik yang sangat merugikan, sehingga pihaknya berupaya mencari solusi dengan mendorong pembangunan koridor satwa dan sosialisasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan satwa liar.
"Konflik antara satwa liar dan manusia di Kalimantan Barat terus meningkat akibat deforestasi yang semakin parah dan kebakaran hutan yang mengurangi habitat satwa endemik seperti orangutan. Untuk itu perlu solusi konkret guna pencegahan konflik tersebut," katanya di Pontianak, Kamis.
Widodo menjelaskan bahwa pembukaan lahan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tidak bisa dihindari. Namun hal tersebut harus diimbangi dengan manajemen konflik yang baik untuk menghindari kerugian, baik bagi manusia maupun satwa.
Ia menegaskan bahwa konflik yang terjadi bukan sepenuhnya karena agresi satwa liar, tetapi lebih disebabkan oleh tindakan manusia yang mengurangi ruang hidup mereka.
"Konflik ini lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia yang mengurangi ruang habitat satwa, termasuk sumber pakan mereka. Untuk itu, penting bagi masyarakat dilatih cara menangani satwa liar seperti orangutan apabila mereka masuk ke pemukiman atau ladang," tuturnya.
Widodo menekankan pentingnya masyarakat memiliki kesadaran dan kesiapan untuk mencegah dan mengelola konflik dengan satwa liar. Salah satu langkah yang diajukan BKSDA adalah pengembangan koridor satwa yang berfungsi sebagai jalur perpindahan satwa di lahan-lahan yang terkena deforestasi atau memiliki izin penggunaan lahan.
Sebagai bagian dari upaya penanganan konflik, BKSDA Kalbar memperkenalkan pentingnya koridor satwa yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2024, yang merupakan perubahan dari UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam regulasi ini, pemilik lahan dengan izin usaha atau lahan pribadi yang berpotensi menjadi habitat satwa dilindungi seperti orangutan diwajibkan menyediakan koridor satwa.
"Koridor satwa akan dibangun di area lahan konsesi, lahan usaha, bahkan di lahan pribadi. Misalnya, jika sebuah perusahaan atau masyarakat memiliki 10 hektar lahan dan di sana ada habitat orangutan, maka sebagian lahan akan ditetapkan sebagai koridor satwa," katanya.
Ia menambahkan bahwa pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada peringatan hingga pencabutan izin usaha. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi habitat satwa yang semakin terdesak oleh pembukaan lahan besar-besaran.
Menurut data BKSDA Kalbar, konflik antara orangutan dan masyarakat di provinsi ini terus terjadi meskipun ada tren penurunan. Pada tahun 2020, tercatat 10 kasus, sebagian besar terjadi di Kabupaten Ketapang. Tahun berikutnya, angka yang sama dilaporkan dengan kasus-kasus yang terkonsentrasi di Ketapang.
Namun, pada 2022, kasus menurun menjadi enam, dengan insiden di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Penurunan ini terus berlanjut pada 2023, dengan hanya dua kasus di Kabupaten Ketapang. Meski demikian, pada 2024 jumlah konflik kembali meningkat, dengan enam kasus yang melibatkan orangutan di dekat pemukiman warga, termasuk penemuan anak-anak orangutan yang terancam diselundupkan.
"Kami terus berusaha mencari solusi yang adil dengan pendekatan konservasi yang inklusif, agar masyarakat dan satwa bisa hidup berdampingan tanpa konflik," kata Widodo.
BKSDA Kalbar berkomitmen untuk terus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat lokal, pemerintah, dan pihak swasta, guna memastikan keberlanjutan ekosistem dan melindungi habitat satwa yang semakin terancam oleh aktivitas manusia.
Widodo menegaskan pentingnya kesadaran kolektif dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia akan lahan dan perlindungan satwa yang dilindungi.
"Keberlanjutan ekosistem adalah tanggung jawab bersama. Kami akan terus berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memastikan bahwa upaya konservasi ini berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat," katanya.
Dengan adanya UU Nomor 32 Tahun 2024, diharapkan langkah-langkah konkret dapat dilakukan untuk menekan angka konflik dan menjaga keanekaragaman hayati di Kalimantan Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
"Konflik antara satwa liar dan manusia di Kalimantan Barat terus meningkat akibat deforestasi yang semakin parah dan kebakaran hutan yang mengurangi habitat satwa endemik seperti orangutan. Untuk itu perlu solusi konkret guna pencegahan konflik tersebut," katanya di Pontianak, Kamis.
Widodo menjelaskan bahwa pembukaan lahan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tidak bisa dihindari. Namun hal tersebut harus diimbangi dengan manajemen konflik yang baik untuk menghindari kerugian, baik bagi manusia maupun satwa.
Ia menegaskan bahwa konflik yang terjadi bukan sepenuhnya karena agresi satwa liar, tetapi lebih disebabkan oleh tindakan manusia yang mengurangi ruang hidup mereka.
"Konflik ini lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia yang mengurangi ruang habitat satwa, termasuk sumber pakan mereka. Untuk itu, penting bagi masyarakat dilatih cara menangani satwa liar seperti orangutan apabila mereka masuk ke pemukiman atau ladang," tuturnya.
Widodo menekankan pentingnya masyarakat memiliki kesadaran dan kesiapan untuk mencegah dan mengelola konflik dengan satwa liar. Salah satu langkah yang diajukan BKSDA adalah pengembangan koridor satwa yang berfungsi sebagai jalur perpindahan satwa di lahan-lahan yang terkena deforestasi atau memiliki izin penggunaan lahan.
Sebagai bagian dari upaya penanganan konflik, BKSDA Kalbar memperkenalkan pentingnya koridor satwa yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2024, yang merupakan perubahan dari UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam regulasi ini, pemilik lahan dengan izin usaha atau lahan pribadi yang berpotensi menjadi habitat satwa dilindungi seperti orangutan diwajibkan menyediakan koridor satwa.
"Koridor satwa akan dibangun di area lahan konsesi, lahan usaha, bahkan di lahan pribadi. Misalnya, jika sebuah perusahaan atau masyarakat memiliki 10 hektar lahan dan di sana ada habitat orangutan, maka sebagian lahan akan ditetapkan sebagai koridor satwa," katanya.
Ia menambahkan bahwa pelanggaran terhadap aturan ini dapat berujung pada peringatan hingga pencabutan izin usaha. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi habitat satwa yang semakin terdesak oleh pembukaan lahan besar-besaran.
Menurut data BKSDA Kalbar, konflik antara orangutan dan masyarakat di provinsi ini terus terjadi meskipun ada tren penurunan. Pada tahun 2020, tercatat 10 kasus, sebagian besar terjadi di Kabupaten Ketapang. Tahun berikutnya, angka yang sama dilaporkan dengan kasus-kasus yang terkonsentrasi di Ketapang.
Namun, pada 2022, kasus menurun menjadi enam, dengan insiden di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Penurunan ini terus berlanjut pada 2023, dengan hanya dua kasus di Kabupaten Ketapang. Meski demikian, pada 2024 jumlah konflik kembali meningkat, dengan enam kasus yang melibatkan orangutan di dekat pemukiman warga, termasuk penemuan anak-anak orangutan yang terancam diselundupkan.
"Kami terus berusaha mencari solusi yang adil dengan pendekatan konservasi yang inklusif, agar masyarakat dan satwa bisa hidup berdampingan tanpa konflik," kata Widodo.
BKSDA Kalbar berkomitmen untuk terus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat lokal, pemerintah, dan pihak swasta, guna memastikan keberlanjutan ekosistem dan melindungi habitat satwa yang semakin terancam oleh aktivitas manusia.
Widodo menegaskan pentingnya kesadaran kolektif dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia akan lahan dan perlindungan satwa yang dilindungi.
"Keberlanjutan ekosistem adalah tanggung jawab bersama. Kami akan terus berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memastikan bahwa upaya konservasi ini berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat," katanya.
Dengan adanya UU Nomor 32 Tahun 2024, diharapkan langkah-langkah konkret dapat dilakukan untuk menekan angka konflik dan menjaga keanekaragaman hayati di Kalimantan Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024