Pontianak (ANTARA) - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat bersama Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) dan Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) berhasil melepasliarkan tujuh orangutan yang telah direhabilitasi, ke habitat alaminya.
"Pelepasliaran yang berlangsung di kawasan TNBBBR, yang dinilai aman dan mendukung keberlangsungan hidup satwa langka tersebut," kata Manager Animal Management YIARI, Andini Nurillah di Pontianak, Minggu.
Dia mengatakan, dari tujuh individu yang dilepas, dua orangutan adalah betina bernama Rika dan Kamila, sementara lima lainnya adalah jantan: Aben, Muaro, Onyo, Batis, dan Lambai.
Ketujuh orangutan yang dilepas merupakan individu-individu yang telah melalui proses rehabilitasi selama lebih dari satu dekade di pusat YIARI di Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka diselamatkan dari berbagai kasus, termasuk pemeliharaan ilegal, dan secara bertahap dipulihkan kemampuannya untuk bertahan hidup di alam liar.
Melalui rehabilitasi di YIARI Desa Sungai Awan, Ketapang, orangutan-orangutan ini dilatih kembali untuk menguasai keterampilan hidup yang esensial di alam, termasuk memanjat, mencari makan, dan membuat sarang.
"Setelah melewati rehabilitasi panjang, orangutan ini siap dilepasliarkan sebagai bagian dari upaya pelestarian dan pemulihan populasi orangutan di alam," tuturnya.
Yang menarik, dua dari tujuh orangutan ini adalah pasangan induk dan anak asuh. Kamila menjadi induk asuh bagi Batis, sementara Rika bertindak sebagai induk asuh bagi Aben.
"Selama rehabilitasi, Rika menunjukkan kemampuan menjadi induk yang baik dan membantu Aben mempelajari keterampilan dasar bertahan hidup," katanya.
Pelepasliaran juga memperlihatkan keberhasilan rehabilitasi yang panjang. Rika, yang diselamatkan dari kasus perdagangan satwa ilegal di Ketapang pada 2013, kini dinilai telah menunjukkan kematangan dalam kemampuan bertahan hidup. Selama sepuluh tahun di YIARI, Rika bahkan telah mengajarkan Aben untuk memanjat dan membuat sarang.
Selain Rika, Kamila juga berhasil menjadi induk asuh bagi Batis, orangutan jantan yang diselamatkan dari pemeliharaan ilegal di Ketapang pada 2020. Setelah melalui rehabilitasi intensif, Kamila mampu mengasuh Batis dengan baik. "Saat ini, Kamila yang berusia sekitar 15 tahun sudah memiliki keterampilan bertahan hidup yang memadai di alam liar," kata Andini.
Proses pelepasliaran ini memerlukan waktu perjalanan tiga hari, melibatkan lebih dari 100 orang dari masyarakat setempat, BKSDA Kalbar, BTNBBBR, dan tim YIARI. Perjalanan dimulai dari Ketapang menuju lokasi pelepasliaran di dalam kawasan TNBBBR, dengan tim membawa kandang orangutan sambil memperhatikan kondisi fisik mereka agar tidak stres.
"Kondisi hutan di TNBBBR sangat ideal sebagai habitat alami orangutan karena menyediakan sumber pakan yang melimpah," kata Kepala BTNBBBR, Andi Muhammad Kadhafi.
Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul, menyatakan bahwa kegiatan pelepasliaran ini adalah bukti kolaborasi lintas lembaga untuk konservasi satwa liar di Indonesia. "Ini langkah awal yang baik di bawah kepemimpinan baru Menteri Kehutanan," ujarnya.
Proses pemantauan dilakukan secara berkelanjutan. Tim monitoring yang terdiri dari warga desa sekitar TNBBBR akan memantau perilaku orangutan setiap 2 menit untuk memastikan mereka beradaptasi di lingkungan barunya. Pemantauan ini diperkirakan berlangsung selama 1 hingga 2 tahun.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, RM Wiwied Widodo, menegaskan pentingnya pelestarian satwa liar endemik Kalimantan, terutama orangutan sebagai bagian dari kekayaan biodiversitas Indonesia.
"Dukungan semua pihak sangat penting agar satwa ini bisa terus hidup dan berkembang di habitat aslinya," kata Widodo.
Hingga saat ini, YIARI telah melepasliarkan 82 orangutan di kawasan konservasi sejak 2016. TNBBBR dipilih sebagai lokasi pelepasliaran karena keberlimpahan pohon pakan serta statusnya sebagai kawasan konservasi yang aman bagi orangutan.