Aktivis lingkungan Ahmad Syukri dari Link-Ar Borneo mengungkapkan aktivitas penambangan bauksit yang semakin masif di wilayah Tayan, Kalimantan Barat kian mengancam kualitas Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia.

"Berbagai perusahaan tambang seperti PT Aneka Tambang (Antam), PT Bintang Tayan Mineral, dan PT Kapuas Bara Mineral telah mengepung pesisir Sungai Kapuas dengan tumpukan bauksit hasil eksplorasi. Limbah dari pertambangan ini membuat air sungai berlumpur dan menyebabkan masalah kesehatan bagi warga sekitar, termasuk iritasi kulit, karena sungai ini masih menjadi sumber utama air bersih untuk mandi dan mencuci," kata Ahmad di Pontianak, Rabu.

Dia menjelaskan, selain berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, pencemaran Sungai Kapuas juga menghantam ekonomi lokal, terutama bagi nelayan. Hasil tangkapan nelayan seperti ikan dan udang, kian menurun drastis akibat kerusakan ekosistem sungai, yang pada akhirnya merugikan mata pencaharian masyarakat setempat.

Dengan semakin gencarnya upaya pemerintah mendorong hilirisasi bauksit, ancaman terhadap lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi warga diperkirakan juga akan semakin meningkat.

Baca juga: Kalimantan Barat jadi daerah penghasil Alumina pertama di Indonesia

Ahmad Syukri menambahkan, Link-Ar Borneo sebagai lembaga riset dan advokasi lingkungan mengungkapkan pencemaran ini tidak hanya terbatas di Sungai Kapuas, tetapi juga merambah ke anak sungai di Tayan.

"Kegiatan penambangan bauksit, washing plant, dan tambang pasir yang mengirim hasilnya ke Marunda, Jakarta Utara, telah menyebabkan kerusakan parah di Tayan. Wilayah ini juga dipenuhi blok pertambangan, perkebunan sawit, serta pabrik pengolahan CPO dan CPKO yang memperburuk situasi," tuturnya.

Di ketahui PT Bintang Tayan Mineral dan PT Kapuas Bara Mineral merupakan dua perusahaan yang memiliki konsesi tambang besar di kawasan ini. PT Bintang Tayan menguasai 1.028 hektare lahan, sedangkan PT Kapuas Bara memiliki konsesi seluas 9.245 hektare.

Hasil tambang dari PT Antam juga turut dikirimkan ke smelter PT Bintan Aluminium Indonesia (BAI) di Mempawah, yang baru-baru ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo untuk proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase 1.

Meski pemerintah terus mendorong hilirisasi mineral sebagai bagian dari upaya transisi energi dan pembangunan ekosistem kendaraan listrik, banyak pihak mempertanyakan dampak hilirisasi terhadap lingkungan.

Di tempat yang sama, Bob Glorius, vokalis band LAS! yang juga seorang aktivis lingkungan, menilai bahwa potensi ekowisata di Sungai Kapuas bisa dimanfaatkan sebagai alternatif ekonomi hijau. Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa pencemaran akibat industri ekstraktif merampas hak dasar masyarakat atas air dan udara bersih.

"Sungai Kapuas memiliki potensi besar untuk ekowisata yang dapat mendukung ekonomi hijau. Sayangnya, dampak tambang dan pabrik di sepanjang sungai merusak lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup warga setempat," jelas Bob saat mengikuti susur sungai untuk memantau dampak tambang bauksit di wilayah Tayan bersama Trend Asia dan Lin-AR Borneo.

Baca juga: Presiden resmikan injeksi bauksit perdana di Mempawah Kalbar

Seiring dengan dorongan pemerintah untuk hilirisasi mineral seperti bauksit, berbagai masalah lingkungan, kesehatan, dan ekonomi semakin mencuat. Bauksit, yang menjadi salah satu bahan utama untuk produksi baterai dan kerangka kendaraan listrik, dianggap sebagai bagian dari transisi menuju energi hijau.

"Namun, pencemaran akibat penambangan bauksit, serta ketergantungan energi kendaraan listrik pada sumber daya batubara yang kotor, menimbulkan dilema besar bagi keberlanjutan lingkungan di Indonesia," tuturnya.

Sementara itu, juru kampanye dari Trend Asia, Arko Tarigan, mempertanyakan manfaat hilirisasi bagi masyarakat lokal.

"Apakah hilirisasi mineral ini benar-benar memberikan manfaat bagi warga sekitar tambang, atau hanya dinikmati oleh segelintir pihak? Warga memerlukan air, udara, dan tanah yang bersih untuk bertahan hidup, namun pertambangan ini justru merampas hak-hak dasar tersebut," kata Arko.

Kunjungan ke Sungai Kapuas ini merupakan bagian dari rangkaian lokakarya kolaboratif yang melibatkan Trend Asia, Link-Ar Borneo, dan LAS! dalam mengkaji transisi energi dan krisis iklim. Sebelumnya, mereka juga mengunjungi wilayah Kualan Hilir, Kalimantan Barat yang menghadapi deforestasi besar-besaran oleh PT Mayawana Persada.

Band LAS!, yang terdiri atas Bob Glorius, Dias Mraz, Cep Kobra, dan Agaz Frial, aktif dalam gerakan "No Music on A Dead Planet", koalisi yang mengajak musisi untuk peduli terhadap isu lingkungan dan krisis iklim. Mereka juga menyerukan pemerintah untuk segera mengatasi masalah ini dengan mempercepat transisi menuju energi bersih dan mengurangi emisi gas rumah kaca demi mencapai target nol emisi pada 2050.

Dengan situasi pencemaran yang semakin parah di Sungai Kapuas dan wilayah sekitarnya, langkah tegas diperlukan untuk mengendalikan dampak pertambangan bauksit dan memastikan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. Jika tidak, ancaman terhadap Sungai Kapuas dan potensi kerusakan lebih besar masih akan terus berlanjut.

Baca juga: Kalbar dukung larangan ekspor bauksit mentah

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024