Jenewa (ANTARA) - Ekonomi Jalur Gaza menyusut menjadi kurang dari seperenam dari nilai pra-perang pada pertengahan 2024, menurut laporan terbaru Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) yang dirilis Kamis (12/9).
Laporan tersebut menyoroti "skala kehancuran ekonomi yang sangat besar dan penurunan aktivitas ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, jauh melampaui dampak dari semua konfrontasi militer sebelumnya pada 2008, 2012, 2014, dan 2021."
Pada awal 2024, antara 80-96 persen aset pertanian di Gaza hancur hingga menyebabkan penurunan signifikan dalam kapasitas produksi pangan dan memperburuk tingkat ketahanan pangan yang sudah tinggi.
Kehancuran ini juga sangat berdampak pada sektor swasta. Sebanyak 82 persen bisnis yang menjadi penggerak utama ekonomi Gaza rusak atau hancur.
Laporan tersebut menekankan bahwa kerusakan pada basis produksi diperkirakan akan semakin parah seiring dengan berlanjutnya operasi militer oleh Israel.
Terkait Produk Domestik Bruto (PDB) Gaza, laporan itu mendapati bahwa PDB menurun hingga 81 persen pada kuartal terakhir 2023, yang menyebabkan kontraksi sebesar 22 persen untuk sepanjang tahun.
"Pada pertengahan 2024, ekonomi Gaza menyusut menjadi kurang dari seperenam dari tingkat tahun 2022," menurut laporan tersebut.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa dua pertiga pekerjaan pra-perang, sekitar 201.000 posisi, hilang pada Januari 2024 sehingga memperburuk krisis ekonomi dan kemanusiaan di wilayah tersebut.
Tepi Barat Mengalami Penurunan Ekonomi yang Cepat dan Mengkhawatirkan
Wilayah Tepi Barat disebutkan mengalami penurunan ekonomi yang cepat dan mengkhawatirkan akibat faktor-faktor seperti perluasan pemukiman, penyitaan lahan, penghancuran bangunan Palestina, dan peningkatan kekerasan pemukim sepanjang 2023-2024,
Keadaan tersebut telah menyebabkan komunitas-komunitas terlantar dan sangat memengaruhi aktivitas ekonomi, menurut laporan itu.
"Gangguan ini memengaruhi berbagai sektor di seluruh Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, di mana perdagangan, pariwisata, dan transportasi mengalami penurunan tajam," bunyi laporan tersebut.
"Akibatnya, 80 persen bisnis di Kota Tua Yerusalem Timur telah berhenti beroperasi sebagian atau sepenuhnya."
Laporan itu mencatat bahwa optimisme awal tentang pertumbuhan PDB sebesar 4 persen di Tepi Barat selama tiga kuartal pertama 2023 tiba-tiba berbalik dengan kontraksi yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar 19 persen pada kuartal keempat.
Perkembangan itu menyebabkan penurunan PDB tahunan sebesar 1,9 persen.
UNCTAD menyebutkan bahwa PDB per kapita menurun sebesar 4,5 persen, yang menunjukkan penurunan signifikan dalam standar hidup dan pendapatan rumah tangga.
Kondisi pasar tenaga kerja di Tepi Barat juga memburuk secara signifikan. Sebanyak 96 persen bisnis melaporkan penurunan aktivitas dan 42,1 persen mengurangi jumlah tenaga kerja mereka.
Sebanyak 306.000 pekerjaan hilang sehingga mendorong tingkat pengangguran di Tepi Barat meningkat, dari 12,9 persen sebelum konflik, menjadi 32 persen.
Kegiatan perdagangan juga "sangat terganggu" karena meningkatnya pembatasan pergerakan orang dan barang. Jumlah pos pemeriksaan di seluruh Tepi Barat yang diduduki naik dari 567 pada awal Oktober 2023 menjadi 700 pada Februari.
Sementara itu, kemiskinan disebutkan telah "meluas dan meningkat" dalam beberapa tahun terakhir.
"Pada 2022, sepertiga populasi Palestina (1,84 juta orang) mengalami ketidakamanan pangan atau ketidakamanan pangan yang parah, dan 31,1 persen hidup dalam kemiskinan," menurut laporan tersebut.
"Sebelum Oktober 2023, 80 persen penduduk Gaza bergantung pada bantuan internasional. Saat ini, kemiskinan memengaruhi hampir seluruh penduduk Gaza dan meningkat pesat di Tepi Barat."
Laporan itu menambahkan bahwa pemotongan pendapatan dan pengurangan bantuan melumpuhkan kemampuan pemerintah Palestina untuk menjalankan fungsinya.
Sambil menyoroti perlunya peningkatan upaya perdamaian, laporan itu juga menggemakan seruan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres agar langkah-langkah mendesak diambil guna mendukung dan memperkuat institusi Palestina.
"Pendudukan yang berkepanjangan adalah hambatan utama bagi pembangunan berkelanjutan akibat pembatasan investasi, mobilitas tenaga kerja, dan perdagangan yang terus berlanjut," menurut isi laporan tersebut.
Sumber: Anadolu