Jakarta (ANTARA) - Jelang panen raya musim tanam Oktober-Maret, Bulog kembali mengemban tugas mulia untuk dapat menyerap dan membeli gabah petani sebesar-besarnya.
Tugas khusus dari Presiden Prabowo kepada BUMN pangan itu dimaksudkan agar Pemerintah memiliki cadangan beras yang kuat, sekaligus persiapan mewujudkan swasembada pangan dalam 3 tahun mendatang.
Selain itu, Pemerintah juga menjamin harga yang dibeli Bulog tidak akan merugikan petani, karena sesuai dengan purwadaksinya, Bulog dilahirkan untuk menjadi sahabat sejati petani.
Sebagai sahabat, Bulog akan setia dan berpihak pada kepentingan petani. Bulog juga sepantasnya menjadi pelindung petani, transparan, dan berdedikasi tinggi.
Bagi petani padi, panen raya merupakan kesempatan untuk mengubah nasib dan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Sebab, saat panen raya itulah jerih payah dan kerja keras petani sekitar 100 hari akan dijawab oleh hasil gabah yang dipanennya.
Di benak petani, dengan semakin meningkatnya produksi, otomatis penghasilannya juga diharapkan meningkat, sehingga kesejahteraannya semakin membaik.
Sayang, dalam kenyataannya harapan indah tersebut kerap kali sulit untuk dibuktikan. Soal kesejahteraan petani, ternyata tidak cukup hanya diukur dari produksi yang melimpah.
Banyak faktor lain yang mempengaruhinya. Salah satunya faktor harga jual gabah di petani. Walaupun produksi berlimpah, namun harga jualnya anjlok, maka perbaikan nasib pun susah untuk diwujudkan.
Akibatnya, petani lebih banyak kecewanya ketimbang rasa senangnya dalam menyikapi kedatangan panen raya.
Yang membuat petani bertanya-tanya, mengapa hal semacam ini terus berlanjut. Kok bisa, setiap panen raya, harga gabah selalu melorot. Lebih aneh lagi, kenapa Pemerintah seperti yang tak berdaya untuk mencarikan jalan keluarnya.
Dihadapkan pada kondisi seperti ini, tentu semua sepakat bila secepatnya masalah ini terselesaikan dengan tuntas.
Salah besar kalau bangsa ini membiarkannya secara berjamaah, bahkan seolah-olah menjadi "dosa waris" dalam kehidupan petani. Satu langkah cerdas yang digarap Kabinet Merah Putih adalah dengan menugaskan Bulog untuk menyerap dan membeli gabah petani.
Dengan adanya penjaminan Pemerintah ini, para petani tidak perlu merasa was-was hasil panennya tidak dihargai dengan angka yang wajar.
Petani tidak perlu khawatir produksi gabah yang dihasilkannya bakal dibeli murah oleh bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha gabah. Penegasan Pemerintah belum lama ini dengan jelas akan membeli gabah petani dengan harga wajar.
Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana dengan sikap bandar dan tengkulak, apakah mereka akan membeli gabah petani dengan harga seperti yang ditetapkan Pemerintah dengan mengacu kepada HPP Gabah sebesar Rp6.500 per kg atau masih tetap akan menekan harga supaya memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya?
Inilah sebetulnya yang menjadi tugas Pemerintah, khususnya Bulog yang cukup berat. Sebab, bukan saja hal ini merupakan upaya membangun kesadaran baru di kalangan pelaku bisnis gabah dan beras supaya terwujud suasana bisnis yang berkeadilan.
Namun juga mengajak kepada bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha untuk mulai menerapkan prinsip berbagi keuntungan bersama.
Sebagai lembaga otonom Pemerintah, Bulog dituntut untuk dapat memperlihatkan kinerja terbaiknya dalam menyerap atau membeli gabah petani.
Di sinilah keandalan dan kepiawaian Bulog dimintakan. Bulog perlu serius dalam membangun persahabatannya dengan petani. Bulog penting bermitra dengan organisasi petani sekelas HKTI dan KTNA.
Problem lain yang penting dicarikan jalan keluarnya adalah langkah apa yang seharusnya ditempuh agar penjaminan Pemerintah ini dapat diketahui secara merata oleh petani?
Selama penyuluh pertaniannya mau berkorban untuk menyampaikan pesan ini kepada petani, sebetulnya tidak ada masalah. Tapi akan bermasalah jika penyuluh pertaniannya sudah tidak peduli terhadap pesan tersebut.
Swasembada Pangan
Penyerapan gabah dan beras oleh Bulog dalam panen raya yang akan dimulai pada Februari 2025 benar-benar merupakan "test case" awal pencapaian swasembada pangan 2027.
Persoalan lain yang butuh pencermatan adalah bagaimana produksi gabah atau beras tidak sesuai dengan yang diharapkan, mengingat banyaknya tantangan dan rintangan yang menghadang?
Sebagai contoh, produksi beras secara nasional tahun 2024 memang tidak sesuai dengan target yang ingin diraih.
Bahkan dibandingkan dengan produksi beras tahun 2023, menurut catatan BPS, jauh lebih rendah angkanya.
Anjloknya produksi beras, tentu saja, menjadi problem tersendiri bagi ketersediaan beras secara nasional, sehingga mengganggu ketahanan pangan bangsa dan negara.
Turunnya produksi beras, mestinya menjadi "warning" tersendiri bagi Kementerian Pertanian sebagai Kementerian yang memiliki tugas dan fungsi meningkatkan produksi pertanian.
Pertanyaan pun pantas diajukan, ada apa sebetulnya dengan produksi beras di negeri ini? Bukankah sejak tahun 2024, Pemerintah telah berkampanye untuk menggenjot produksi setinggi-tingginya?
Tapi, mengapa hasilnya bisa lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya? Ini yang butuh jawaban jujur.
Apa alasannya produksi beras di bawah target yang ditetapkan? Lalu, apa yang menjadi penyebab utama turunnya produksi beras, khususnya di daerah sentra produksi padi seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan lain sebagainya?
Untuk mengatasi penurunan produksi beras, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengelola risiko iklim dengan mempercepat pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur irigasi di daerah-daerah sentra produksi.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan dan distribusi varietas padi unggul yang tahan terhadap kekeringan dan salinitas tinggi.
Peningkatan akses petani terhadap informasi cuaca berbasis teknologi real-time juga penting agar mereka dapat merencanakan musim tanam dengan lebih baik.
Kemudian, menghentikan alih fungsi lahan pertanian produktif harus menjadi prioritas. Pemerintah dapat memberlakukan moratorium alih fungsi lahan di wilayah dengan kontribusi besar terhadap produksi beras nasional, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sebagai insentif, petani perlu mendapatkan dukungan berupa subsidi yang lebih tepat waktu untuk pupuk, benih, dan alat pertanian modern.
Selain itu, program modernisasi pertanian, seperti mekanisasi dan pengenalan teknologi pertanian presisi, dapat mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual dan meningkatkan produktivitas.
Selain itu, kebijakan berbasis data yang akurat harus menjadi landasan utama dalam perencanaan produksi beras.
Pemerintah perlu memanfaatkan teknologi geospasial untuk memetakan luas tanam, musim panen, dan kondisi lahan secara presisi.
Data yang valid ini harus diintegrasikan dengan kebijakan lintas sektor, termasuk pertanian, lingkungan, dan kehutanan, untuk memastikan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan.
Dengan langkah-langkah tersebut, produksi beras nasional dapat ditingkatkan secara konsisten, memastikan ketahanan pangan, dan menjaga kesejahteraan petani.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.