Jambi (ANTARA Kalbar) - Bermukim di dalam hutan, tak beralas kaki, kurus, berkulit coklat kehitaman, nyaris telanjang dan hanya menggunakan seikat kain di bagian intimnya.

Itulah gambaran kecil perawakan orang rimba Jambi atau biasa disebut Suku Anak Dalam (SAD) khususnya di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNDB) yang hampir mirip dengan kehidupan sejumlah suku terasing lainnya di Indonesia.

Meski demikian, keberadaan orang rimba di Jambi tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah setempat maupun organisasi pemerhati lingkungan untuk menjaga kelestarian dan keberadaan hutan Jambi sebagai salah satu bagian dari paru paru dunia.

"Hanya saja kami sebagai orang bodoh seperti tidak dianggap. Hutan sebagai rumah dan sumber penghidupan dan masa depan kami masih saja digerus dan digusur oleh orang orang yang mungkin sebenarnya tahu manfaat hutan sebagai bagian dari masa depan," ujar Maritoha.

Maritoha adalah  salah satu tumenggung atau kepala suku salah satu kelompok orang rimba di kawasan Sungai Terap, Kabupaten Batanghari yang masuk dalam kawasan TNBD.

Kawasan TNBD seluas kurang lebih 60.500 hektar, membentang di tiga kabupaten di Provinsi Jambi. Yakni, Kabupaten Batanghari, Sarolangun dan Tebo.

Meski statusnya ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI pada tahun 2000 dari status sebelumnya sebagai cagar biosfer Bukit Duabelas, kawasan TNBD terbilang unik karena di dalamnya dihuni oleh hampir dua ribu jiwa orang rimba.

Meski tergolong kecil sebagai kawasan taman nasional, di dalam lebatnya rerimbunan TNBD banyak dihuni berbagai satwa paling dilindungi mulai dari siamang, macan, kijang, kucing hutan, beberapa jenis kera serta berbagai jenis pepohonan langka asli pedalaman Provinsi Jambi.

Tumenggung Martoha menceritakan, sebelum masuknya era perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit pada 1980-an kawasan TNBD merupakan "rumah" paling indah bagi kelompok orang rimba Jambi maupun berbagai jenis satwa di dalamnya.

Namun semenjak upaya alih fungsi lahan dan hutan digulirkan pemerintah waktu itu menjadi kawasan hutan produksi (HP) untuk kemudian dikonversi menjadi kawasan HTI maupun program transmigrasi, kawasan di sekililing TNBD saat ini telah berubah, tidak lagi rimbun dan lebat melainkan menjadi deretan jutaan pohon sawit, karet maupun perumahan transmigrasi.

"Masuknya perusahaan dan orang luar disekitar TNBD tidak hanya mengubah wajah hutan kami. Pola hidup kami sebagai orang rimba juga mulai berubah saat itu," ujar Maritoha.

Menurut dia, di kawasan TNBD terdapat sedikitnya tiga kelompok besar orang rimba, salah satunya adalah kelompok Sungai Terap yang membawahi sekitar seribu jiwa orang rimba.

Kebiasaan melangun atau mengembara yang menjadi kebiasaan "wajib" bagi orang rimba kala itu, saat ini sudah sangat jarang dilakukan. Mengingat, kawasan hutan menjadi sempit terkungkung oleh belasan perusahaan HTI dan perkebunan sawit.

"Karena sempitnya hutan, mata pencaharian kami yang hanya menggantungkan diri pada hutan dari berburu, mencari getah damar atau jernang saat ini sangat susah. Bahkan akibat kondisi itu, sebagian warga orang rimba ada yang keluar dan memilih bertahan hidup dengan meminta minta," ujarnya lagi.

Bagi orang rimba, menebang pohon atau merusak hutan adalah "haram" hukumnya. Bahkan, bagi beberapa jenis pohon tertentu, pelaku penebang pohon dan perusak hutan akan dikenakan denda ratusan lembar kain yang apabila diuangkan bisa mencapai jutaan rupiah.

Dalam berburu, orang rimba juga tidak sembarangan membunuh satwa. Orang rimba hanya memburu hewan yang umurnya sudah dewasa dan hanya sebatas untuk dimakan saja.

Untuk menjaga kelestarian TNBD, kelompok orang rimba di kawasan itu membangun "hompongan". Dalam bahasa orang rimba Jambi, hompongan merupakan daerah pembatas antara kawasan yang dikelola perusahaan atau masyarakat luar dengan kawasan hutan TNBD.

"Luasnya tidak seberapa hanya antara empat hingga 20 hektar dan berada disekitar batas kawasan TNBD. Hompongan kami tanami berbagai tanaman, salah satunya karet. Kenapa kami memilih karet, karena fungsinya sama sebagai tanaman hutan dan bisa disadap untuk menghidupi keluarga kami," kata Maritoha.

Kini, kondisi orang rimba dan hutan sebagai rumah dan sumber penghidupan maupun paru paru bumi telah menjadi ironi bagi masyarakat dunia sebagai bagian penting "penjaga" kehidupan bumi di masa depan.

Sementara itu, Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi, Rudi Syaf mengatakan, kearifan orang rimba patut dicontoh dalam upaya menjaga hutan sebagai paru paru dunia yang tidak hanya berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem namun juga hutan sebagai penyerap emisi karbon.

Menurut dia, ancaman deforestasi dan degradasi hutan telah menjadi isu besar tidak hanya bagi negara negara pemilik hutan seperti Indonesia tapi juga bagi keberlangsungan bumi dari pemanasan global.

Masuknya berbagai perusahaan HTI maupun perkebunan sawit yang menerapkan sistem tebang penuh menjadi salah satu pemicu utama peningkatan emisi karbon yang menimbulkan efek rumah kaca dan berujung pada ancaman pemanasan global.

"Atas kondisi inilah bagaimana kita patut berterima kasih kepada orang rimba yang selama ini tetap menjaga kelestarian hutan Jambi dari himpitan kepentingan korporasi yang terus saja mengalihfungsikan lahan dan hutan," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, kekhawatiran akan dampak negatif alih fungsi lahan dan hutan untuk dijadikan kawasan HTI dan perkebunan sawit telah mendorong orang rimba bersama organisasi pemerhati lingkungan mengusulkan agar kawasan TNBD dijadikan sebagai taman nasional pada 2000 lalu.

Untuk menekan ancaman deforestasi dan degradasi hutan, kata dia, sejumlah negara termasuk Indonesia telah mengupayakan beberapa program pelestarian hutan. Salah satunya adalah melalui program reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) atau program penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya emisi karbon.

Ia menyebutkan, ancaman penebangan dan pembabatan hutan menyumbang sekitar 20 persen dari peningkatan emisi karbon dunia setelah kegiatan industri seperti jaringan listrik, dan pembakaran. Kondisi ini menempatkan Indonesia berada di empat besar negara penyumbang emisi karbon setelah Amerika Serikat, China dan negara negara Uni Eropa.

"Mekanisme intensif program REDD di Indonesia juga sudah dituangkan dalam aturan menteri kehutanan tahun 2009 tentang pengurangan emisi dan dilakukan pada 12 jenis kawasan hutan. Diantaranya HTI, hutan desa, hutan harapan, hutan adat dan hutan konversi," jelasnya.

Lebih lanjut Rudi mengatakan, kaitannya dengan orang rimba yang tinggal dikawasan TNBD, kearifan masyarakat rimba diketahui telah lama mendukung upaya penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan. Sebab, orang rimba sangat bergantung pada hutan tidak hanya sebagai rumah namun juga sebagai jantung kehidupan untuk berinteraksi dengan alam, saling memberi, saling memelihara dan saling menghidupi.

Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, Halasan Tulus mengatakan, orang rimba sangat berperan dalam menjaga habitat TNBD. Namun begitu, ancaman akan keberadaan TNBD juga tidak bisa diabaikan salah satunya adalah kegiatan perambahan yang dilakukan masyarakat luar maupun alihfungsi hutan disekitar TNBD.

"Ada beberapa pelaku kegiatan perambahan didalam TNBD berhasil kita ketahui, khusus perusahaan HTI maupun perkebunan keberadaanya mengancam karena dikhawatirkan perusahaan tidak tahu batasan antara kawasan yang dikelola dengan kawasan TNBD," ujarnya.

Untuk tetap menjaga kelestarian dan habitat TNBD didalamnya, Balai TNBD secara intensif melakukan operasi rutin dilapangan. Namun dengan keterbatasan personil yang hanya 44 orang, maka Balai TNBD banyak memfungsikan beberapa program dengan melibatkan orang rimba dan organisasi pemerhati lingkungan maupun masyarakat sekitar.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Batanghari, Suhabli mengatakan, untuk melindungi kawasan TNBD dari perambahan maupun aktifitas ilegal lainnya, Pemkab Batanghari telah mengalokasikan sekitar 3.000 hektar kawasan menjadi hutan desa yang berfungsi sebagai pembatas sekaligus penyangga TNBD.

Ia mengakui, kawasan TNBD sebagai taman nasional di Kabupaten Batanghari sudah banyak dikelilingi oleh beberapa perusahaan baik statusnya hutan tanaman industri (HTI) maupun perusahaan perkebunan.

"Diperkirakan ada 8.000 kawasan hutan produksi yang telah dikonversi menjadi HTI. Hanya saja sebagian besar sudah tidak beroperasi. Untuk itu, sejumlah kawasan itu saat ini telah diubah statusnya menjadi hutan desa dan telah diputuskan melalui surat keputusan (SK) oleh Kementrian Kehutanan sejak 2011 lalu," jelasnya.

Kawasan hutan desa yang fungsinya sebagai kawasan penyangga TNBD di Batanghari berada di tiga desa yakni, Desa Jeluti, Olak Besar dan Hajran. Bahkan ia menyatakan, Pemkab Batanghari juga akan kembali mengusulkan penambahan luas hutan desa didaerah itu.

Kawasan TNBD berjarak sekitar 450 kilometer dari Kota Jambi dan bisa ditempuh melalui jalan darat antara enam hingga tujuh jam perjalanan. Untuk masuk dikawasan taman nasional ini, terlebih dahulu akan melewati hamparan perkebunan sawit maupun karet milik beberapa perusahaan besar di Jambi yang berada tepat diperbatasan TNBD.

Berdasarkan data KKI Warsi Jambi, kawasan TNBD kini didiami sekurangnya 1.689 jiwa orang rimba. Diketahui, kawasan itu mengalami kerusakan mencapai lebih dari 12 ribu hektare, terutama di kawasan penyangganya akibat pemberian izin perkebunan hutan tanaman industri, kelapa sawit dan program transmigrasi.

Kawasan TNBD saat ini juga dikelilingi oleh sedikitnya 16 perusahaan HTI maupun perkebunan sawit yang berada tepat dikawasan penyangga dan perbatasan.

(KR-BS)

Pewarta: Bangun Santoso

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012