Surabaya (ANTARA Kalbar) - Ketua "Yayasan Orbit" Surabaya --LSM yang menangani pecandu narkoba dan korban HIV/AIDS--, Rudhy Wedhasmara, mengaku pihaknya sudah tahu vonis untuk selebriti yang positif narkoba seperti Raffi Ahmad, yakni rehabilitasi.
"Meski kasusnya belum ke pengadilan, tapi besar kemungkinan vonis rehabilitasi akan didapatkan Raffi Ahmad dan beberapa selebritis Indonesia lain yang dinyatakan positif narkoba," katanya di Surabaya, Rabu.
Menurut dia, kasus narkoba yang menyangkut publik figur biasanya ada optimisme, yakni kasusnya akan berakhir pada vonis rehabilitasi. "Vonis rehabilitasi itu vonis yang langka, meski vonis itu yang benar," katanya.
Namun, dalam praktiknya, pengadilan jarang sekali memberikan vonis rehabilitasi kepada masyarakat umum yang terjerat kasus narkoba. "Sebenarnya, tak ada yang salah dengan vonis rehabilitasi untuk pecandu narkoba itu, kecuali bila diberikan bandar atau pengedar," kayanya.
Masalahnya, hukum yang benar untuk pecandu narkoba itu belum berpihak kepada rakyat kecil. "Buktinya, pengadilan jarang memberikan vonis rehabilitasi untuk warga biasa, padahal vonis rehabilitasi itu mengacu para paradigma kesehatan masyarakat," katanya.
Dalam paradigma kesehatan untuk pemberantasan narkoba itu, para pecandu dianggap sebagai korban. Paradigma lain dalam pemberantasan narkoba adalah "supply reduction" atau pengurangan penawaran narkoba.
"Dalam bidang ini yang berperan adalah aparat penegak hukum. Mereka berperan untuk memberantas peredaran, melakukan penangkapan, dan memproses hukum pengedar, bandar, produsen," katanya.
Paradigma lain lagi dalam pemberantasan narkoba adalah "demand reduction" yaitu pengurangan permintaan narkoba. "Yang berperan adalah masyarakat umum melalui kampanye bahaya narkoba, penguatan komunitas masyarakat melalui penyuluhan, seminar dan semacamnya," katanya.
Belakangan, muncul paradigma "harm reduction" atau pengurangan dampak buruk narkoba. "Paradigma ini muncul sekitar tahun 2000-an. Paradigma itu memandang persoalan narkoba dari sisi kesehatan masyarakat, namun paradigma itu dilaksanakan untuk orang-orang belum terkena sebagai upaya pencegahan," katanya.
Dalam "harm reduction", kegiatannya dapat bermacam-macam, misalnya edukasi ke komunitas pecandu, konseling, terapi dan rehabilitasi. "Konsep harm reduction itu sudah diakomodasi Kementerian Kesehatan yang dibuktikan banyak aturan-aturan yang mendukung itu," katanya.
Namun, paradigma "harm reduction" itu belum didukung Badan Narkotika Nasional dan Polri, karena BNN dan Polri tidak sejalan dengan UU Pidana dan UU Narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat itu.
"Contohnya, UU Pidana dan UU Narkotika mengatur jika seseorang yang mengetahui tindak pidana tidak melaporkan penggunaan narkoba ilegal maka dapat dipidanakan. Itu bertentangan dengan upaya edukasi di komunitas pecandu untuk kepentingan pemulihan, seperti penyuluh justru dianggap tidak mau melapor," katanya.
(T.E011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
"Meski kasusnya belum ke pengadilan, tapi besar kemungkinan vonis rehabilitasi akan didapatkan Raffi Ahmad dan beberapa selebritis Indonesia lain yang dinyatakan positif narkoba," katanya di Surabaya, Rabu.
Menurut dia, kasus narkoba yang menyangkut publik figur biasanya ada optimisme, yakni kasusnya akan berakhir pada vonis rehabilitasi. "Vonis rehabilitasi itu vonis yang langka, meski vonis itu yang benar," katanya.
Namun, dalam praktiknya, pengadilan jarang sekali memberikan vonis rehabilitasi kepada masyarakat umum yang terjerat kasus narkoba. "Sebenarnya, tak ada yang salah dengan vonis rehabilitasi untuk pecandu narkoba itu, kecuali bila diberikan bandar atau pengedar," kayanya.
Masalahnya, hukum yang benar untuk pecandu narkoba itu belum berpihak kepada rakyat kecil. "Buktinya, pengadilan jarang memberikan vonis rehabilitasi untuk warga biasa, padahal vonis rehabilitasi itu mengacu para paradigma kesehatan masyarakat," katanya.
Dalam paradigma kesehatan untuk pemberantasan narkoba itu, para pecandu dianggap sebagai korban. Paradigma lain dalam pemberantasan narkoba adalah "supply reduction" atau pengurangan penawaran narkoba.
"Dalam bidang ini yang berperan adalah aparat penegak hukum. Mereka berperan untuk memberantas peredaran, melakukan penangkapan, dan memproses hukum pengedar, bandar, produsen," katanya.
Paradigma lain lagi dalam pemberantasan narkoba adalah "demand reduction" yaitu pengurangan permintaan narkoba. "Yang berperan adalah masyarakat umum melalui kampanye bahaya narkoba, penguatan komunitas masyarakat melalui penyuluhan, seminar dan semacamnya," katanya.
Belakangan, muncul paradigma "harm reduction" atau pengurangan dampak buruk narkoba. "Paradigma ini muncul sekitar tahun 2000-an. Paradigma itu memandang persoalan narkoba dari sisi kesehatan masyarakat, namun paradigma itu dilaksanakan untuk orang-orang belum terkena sebagai upaya pencegahan," katanya.
Dalam "harm reduction", kegiatannya dapat bermacam-macam, misalnya edukasi ke komunitas pecandu, konseling, terapi dan rehabilitasi. "Konsep harm reduction itu sudah diakomodasi Kementerian Kesehatan yang dibuktikan banyak aturan-aturan yang mendukung itu," katanya.
Namun, paradigma "harm reduction" itu belum didukung Badan Narkotika Nasional dan Polri, karena BNN dan Polri tidak sejalan dengan UU Pidana dan UU Narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat itu.
"Contohnya, UU Pidana dan UU Narkotika mengatur jika seseorang yang mengetahui tindak pidana tidak melaporkan penggunaan narkoba ilegal maka dapat dipidanakan. Itu bertentangan dengan upaya edukasi di komunitas pecandu untuk kepentingan pemulihan, seperti penyuluh justru dianggap tidak mau melapor," katanya.
(T.E011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013