Pontianak (Antara Kalbar) - Perayaan Tahun baru Imlek di Indonesia yang sempat dilarang pemerintah selama 33 tahun dan kembali digelar pada tahun 2000, bukan hanya menjadi simbol tradisi leluhur warga Tionghoa tetapi juga menjadi sarana pengikat persaudaraan baik antarkeluarga, kerabat, maupun antarmasyarakat.

Perayaan Imlek merupakan budaya dan tidak terkait dengan agama. Semua orang Tionghoa di seluruh dunia merayakan Imlek, apapun agama dan kedudukannya dalam strata sosial.

Penanggalan Imlek adalah penanggalan berdasarkan peredaran bulan dan dimulai sejak kelahiran Nabi Khong Hu Cu atau Kongcu pada 551 Sebelum Masehi. Lebih tua dari Kalender Masehi dan Hijriah. Jumlah hari dalam sebulan menurut penanggalan Imlek, berkisar 28 - 29 hari. Maka dari itu, adakalanya jumlah bulan dalam setahun dalam kalender Imlek bisa 13 bulan.

Menurut Ketua Majelis Tinggi Agama Khong Hu Cu Kalbar, Sutadi, agama baru bisa diterima jika dapat beradaptasi dengan tradisi dan kebiasaan. "Menurut umat Khong Hu Cu perayaan tahun baru Imlek, tetap sebagai hari raya, tapi bukan berarti milik mereka saja," kata Sutadi.

Maka saat tengah malam menjelang pergantian tahun Imlek, warga Tionghoa penganut Khong Hu Cu akan bersembahyang di kelenteng atau lithang (tempat kebaktian) yang menampung ribuan orang. Tetapi penganut Khong Hu Cu di Indonesia mulai bersembahyang secara terbuka di kelenteng pada 2006.

Kegiatan itu masih berlangsung hingga perayaan Imlek 2564/2013. Sebelumnya, mereka bersembahyang sembunyi-sembunyi karena dilarang pemerintah.

Untuk menyambut pergantian tahun Imlek, sejumlah barang yang berhubungan dengan perayaan itu disiapkan, diantaranya replika naga. Karena dalam kepercayaan orang Tionghoa, kelahiran Nabi Kong dikawal oleh dua naga. Sejumlah hidangan sebagai ungkapan syukur kepada Shang Di (dibaca Shang Ti) atau Tuhan disiapkan.

Mereka siapkan hewan yang menjadi simbol baiknya hasil panen yang mengandung tiga unsur kehidupan; udara, darat dan air.

Kemudian, buah-buahan seperti jeruk besar dan apel yang berarti kebaikan. "Simbol yang baik-baik itulah yang disiapkan saat menyambut Imlek," kata Sutadi.

Sama halnya dengan perayaan Natal, Tahun baru Masehi dan Lebaran, warga Tionghoa di Kalimantan Barat juga merayakan Imlek dengan bersilaturahmi.

Sekretaris Majelis Adat Budaya Tionghoa Kalbar, Andreas Acui Simanjaya menyatakan hari pertama Imlek dilakukan kunjungan pada orangtua dan yang dituakan untuk sungkeman. Biasanya yang muda (anak, menantu dan cucu) berlutut di hadapan orangtuanya dan memohon maaf serta minta didoakan agar sepanjang tahun kedepannya semuanya berjalan lancar. Anak-anak juga memberikan angpao pada orangtuanya.

"Setelah itu orangtua memberikan nasihat dan ucapan serta doa yang baik pada semua anggota keluarga yang melakukan sungkeman. Orangtua juga akan memberikan angpao pada cucu yang hadir saat itu," katanya.

Menurut Acui, anggota keluarga yang tak bisa hadir saat Imlek, biasanya melakukan "sungkeman" melalui telepon pada orang yang dituakan.

Hari pertama Imlek umumnya dirayakan bersama orang tua dan keluarga inti. Hari kedua dan seterusnya mengunjungi para keluarga dan kerabat yang merayakan Imlek.

Imlek menjadi sarana pengikat persaudaraan.

Kue keranjang dan Jeruk

Saat Perayaan Imlek, banyak ditemukan kue keranjang dan jeruk. Dua makanan ini menjadi hidangan dan tradisi yang selalu ada saat perayaan digelar.

Menurut Andreas Acui, kue keranjang mendapat nama dari wadah cetaknya yang berbentuk keranjang. Kue keranjang dahulu dibuat dengan wadah dari bambu yang dianyam berbentuk keranjang dan diberi alas daun pisang. Kemudian diisi dengan tepung ketan cair yang dicampur gula dan dikukus berjam-jam sampai matang. Ciri kue itu sudah matang, berupa berubahnya warna adonan tepung ketan yang putih menjadi coklat. Kini kue keranjang dibuat dengan wadah cetak kantong plastik yang ditempatkan dalam kaleng dan di kukus.

Pada awalnya kue ini ditujukan sebagai hidangan untuk menyenangkan Dewa Dapur agar membawa laporan yang menyenangkan kepada Raja Surga.

Sementara menurut XF Asali dalam bukunya "Aneka Budaya Tionghoa Kalbar", kue keranjang yang kenyal dan manis, agar Dewa dapur memakan kue itu sehingga tidak banyak bicara. Kalau pun harus melapor teringat kue keranjang yang manis, laporannya pun manis seperti rasa manis kue itu.

Bentuknya yang bulat bermakna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun, dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang," kata Acui lagi.

Sedangkan buah jeruk, menjadi hantaran dan hidangan saat Imlek. Buah jeruk menjadi lambang rezeki. Warnanya yang kuning sebagai warna yang melambangkan keagungan.

Jeruk Mandarin yang menjadi hantaran, untuk di Indonesia diganti dengan Jeruk Bali yang merupakan produk lokal petani. Jeruk Bali juga mempunyai makna yang sama yaitu membawa rezeki. "Bentuk jeruk Bali yang besar juga semakin memperkuat makna rezeki yang besar," kata tokoh muda Tionghoa itu.

Imlek sudah dirayakan sejak lama sebelum terbentuknya NKRI dan terus berlangsung sampai kini.

Perayaan Imlek berlangsung selama 15 hari dengan puncaknya yaitu Cap Goh Meh. Artinya hari ke 15 Imlek. Perayaan Cap Goh Meh biasanya meriah dengan arakan naga dan barongsai serta pesta kembang api. Setelah selesai perayaan Cap Goh Meh seluruh aktivitas masyarakat Tionghoa kembali dalam rutinitasnya sehari hari.

Pada era Orde Baru perayaan Imlek sempat mendapat hambatan dengan adanya pelarangan. Itu tertuang dalam Instruksi Presidium Kabinet No.3/U/IN/1967 tentang Kebidjaksanaan Pokok Penjelesaian Masalah Tjina.

"Persoalan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan ini akhirnya tuntas dengan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Gus Dur," kata dia lagi.

Presiden Abdurrahma Wahid atau Gus Dur menentang kebijakan Orde Baru itu. Lewat Keppres RI No. 6/2000. Ia mencabut inpres yang memarginalkan etnis Tionghoa di segala bidang. Etnis Tionghoa sebagai warga yang hanya dapat bergelut di bidang ekonomi.

"Lewat Keppres itulah Gus Dur memberikan kebebasan bagi etnis Tionghoa untuk merayakan Imlek," katanya.

Kebijakan Gus Dur selalu dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia. Bahkan secara internasional. Karena kebijakan itu Gus Dur diakui sebagai pemimpin yang humanis dan demokratis dalam memimpin bangsa Indonesia.

Langkah Gus Dur mengambil kebijakan mengenai kebebasan merayakan Imlek kemudian diikuti Presiden berikutnya sampai kini. Kebijakan itu, telah menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia semakin positif dan harmonis, kata Andreas Acui Simanjaya.

(N005)























(T.N005/B/Z003/Z003) 10-02-2013 13:29:12

Pewarta: Nurul Hayat

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013