Jakarta (Antara Kalbar) - Kasus penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta pada 23 Maret 2013 yang diakui dilakukan oleh 11 anggota Kopassus TNI-AD masih terus bergulir.

Kejadian itu menjadi berita penting karena terjadi pertama kalinya di Indonesia dan melibatkan beberapa institusi negara seperti TNI, Polri dan Lapas.

Jika ditarik lebih lanjut akar permasalahannya ada pada masalah premanisme yang semakin berkembang pesat dan tidak diberantas dengan tuntas.

Kejadian itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu hukum dan sosial.

Sudut pandang pertama dari sisi hukum, tindakan pembunuhan yang dilakukan oknum Kopassus merupakan bagian dari ketidakpercayaan terhadap penegakkan hukum.

Motif aksi balas dendam karena jiwa korsa yang kuat terhadap pembunuhan Serka Heru Santoso terjadi karena adanya ketidakpercayaan bahwa keempat preman akan mendapatkan hukuman yang pantas oleh aparat penegak hukum.

Sudut pandang kedua dari sisi sosial. Pengakuan dari pelaku terhadap tim investigasi TNI-AD bukan hal yang mudah.

Mengakui kesalahan, terutama yang dapat mencoreng nama institusi adalah sebuah dilema bagi para pelaku, namun akhirnya pilihan mereka untuk jujur dan bertanggung jawab siap dihukum.

Hal ini banyak diapresiasi banyak kalangan bahkan mereka dikatakan "ksatria".

Memang menjadi prajurit bukanlah hal yang mudah, berbagai tanggung jawab sudah siap dipikul dari pertama mereka masuk TNI. Hal ini juga sebuah pelajaran bagi "Struktur Sosial Militer" di Indonesia yang belum sempurna.

Tentunya pembelajaran bukan saja bagi internal militer tetapi bagi pihak di luar militer (faktor eksternal) yang seharusnya menjadi pendukung belum maksimal memainkan peranannya.

    
                        Contoh Korsel

Contoh saja Korea Selatan, di mana setiap pemuda (laki-laki berumur 18-27 tahun) diharuskan mengikuti wajib militer sekalipun dia artis atau anak pejabat, sehingga mereka mengetahui beratnya dunia militer dan sangat menghargai tentaranya.

Tentara betul-betul menjadi sosok pahlawan yang sangat dicintai rakyatnya. Struktur sosial militer terbangun karena banyak pihak berkontribusi untuk mendukung dan menguatkannya dari luar.

Pengusaha dan swasta bahkan menyumbangkan sebagian keuntungan perusahaannya untuk pendidikan bagi anak-anak prajurit karena berinvestasi pada tentara dianggap bagian dari rasa cinta tanah air dan mereka akan merasa aman jika tentaranya profesional, sehingga menguatkan struktur sosial militer merupakan tanggung jawab bersama.

Kasus Lapas Cebongan ini menjadi refleksi besar bagi dunia militer Indonesia dan tentunya menjadi bagian dari reformasi di tubuh militer.

Dari dua sudut pandang tersebut jelas pelaku salah secara hukum, bahkan petinggi TNI AD juga menjamin hukum akan ditegakkan.

Fenomena lain terjadi secara sosial dan moral, karema apa yang dilakukan pelaku dengan menembak mati preman juga banyak ditanggapi secara positif oleh masyarakat.

Mengapa masyarakat berfikir demikian?
   
Sebagian masyarakat berpandangan bahwa pembunuhan yang dilakukan oknum Kopassus adalah positif karena masyarakat rindu akan hadirnya sosok pelindung yang siap membasmi preman. Bahkan para pelaku dikatakan "ksatria".

Hal ini bukan tanpa sebab, karena masyarakat Yogyakarta yang sudah mulai resah dengan pungutan liar (pungli) dan tindakan dari preman.

Apalagi Yogyakarta  sangat mengandalkan pariwisata. Ketika Yogyakarta tidak aman maka tidak akan ada yang datang dan masyarakatnya yang akan rugi. Kejadian Lapas Cebongan ini merupakan momentum untuk memberantas premanisme.

          
                        Kategori Premanisme
Premanisme sendiri berasal dari kata "vrijman", yakni orang bebas dan merdeka, sedangkan "isme" adalah faham atau aliran, yakni sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.

Menurut mantan preman, Anton Medan, preman dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama preman kelas bawah yang beroperasi dengan modus pencopetan, pemalakan, pungli, dan sejenisnya.

Kedua, preman kelas menengah yang bekerja dengan imbalan upah dari bos, misalnya "debt collector", preman pengawal pribadi, dan sebagainya.

Ketiga adalah preman kelas atas, yang memiliki kekuasaan atau jabatan, dialah sang koruptor, atau pejabat yang melakukan pungli proyek.

Adanya tingkatan preman membuat penanganan yang bertingkat pula dan tidak boleh disamaratakan. Pemerintah harus instrospeksi dan mengevaluasi diri tentang kenapa premanisme bisa merajalela.

Fenomena premanisme tidak muncul begitu saja, karena banyak faktor mempengaruhi proses pembentukannya. Salah satunya adalah perjalanan sejarah penciptaan ruang yang memungkinkan kemunculan preman kemudian pengangguran dan turunnya moral masyarakat.

Preman saat ini merupakan bagian dari struktur kelas di tengah tengah masyarakat yang keadaanya tidak bias dipungkiri. Siapakah yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap premanisme?
   
Perkembangan preman merupakan gejala sosial di mana tidak hadirnya "sosok kuat" yang ditakuti para preman tersebut yang sejatinya sosok kuat tersebut adalah aparat yang menjadi pelindung masyarakat.

Namun di sisi lain masih banyak pula sekelompok orang yang membela kehadiran preman, entah dipelihara atau sekadar mengatasnamakan hak asasi manusia.

Sebagian masyarakat berpandangaan bahwa pembunuhan yang dilakukan oknum Kopassus adalah positif karena masyarakat rindu akan hadirnya sosok pelindung yang siap membasmi preman.

Bahkan setelah Tim Investigasi TNI-AD mengumumkan bahwa pelakunya adalah oknum Kopassus, di Yogyakarta banyak bertebaran spanduk dukungan kepada satuan elit TNI-AD itu.

Begitu juga di dunia maya, masyarakat mendukung langkah para pelaku (oknum Kopassus) karena selama ini tidak ada yang berani melawan preman.

"Antilogic" yang difahami masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta dalam mendukung oknum Kopassus sangat wajar karena Yogyakarta sangat mengandalkan pariwisata yang terkenal aman dan nyaman.

Kini kasus Cebongan telah terungkap, para pelaku sudah mengaku bersalah dan siap diadili. Satu sisi mereka salah di mata hukum, namun di sisi lain mereka mau mengakui kesalahan dan dianggap ksatria di mata masyarakat.

Sementara para preman yang sering membuat resah masyarakat masih juga didukung oleh sekelompok golongan atau institusi yang mengatasnamakan hak asasi manusia. Lalu, kemanakah kita berpihak? Kepada ksatria atau preman?

*Peneliti Democracy Integrity and Peace (DIP) Centre, sebuah lembaga penelitian dan kajian masalah pencerahan dalam keamanan nasional. Lulusan S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Kekhususan Kajian Stratejik Intelijen Univeritas Indonesia (UI)
(T.A035/B. Santoso/B. Santoso)

Pewarta: Stepi Anriani, MS,i*

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013