Jakarta (Antara Kalbar) - Apa yang membedakan karya seorang eseis yang satu dengan yang lain? Kenapa sebuah esai bisa demikian membekas dalam benak pembaca sementara esai yang lain menguap begitu saja tanpa menorehkan goresan mendalam dalam otak pembaca?
Pertanyaan itu akan terjawab ketika pembaca melakukan penyimakan dan penganalisaan seksama terhadap esai dalam rubrik "Catatan Pinggir" atau populer disebut Caping dalam Majalah Berita Mingguan "Tempo" karya Goenawan Mohamad.
Dalam tesis meraih gelar Magister Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Jakarta pada 2005, saya mengkaji 25 esai
Caping yang terbit antara 16 Oktober 1976 hingga 23 April 2000, yang pemilihannya didasarkan pada segi keragaman sintaksis stilistik.
Hasil kajian itu memperlihatkan bahwa Goenawan Mohamad, beda dengan kebanyakan esais lain, mengolah kata, kalimat dan paragraf dengan penuh variasi. Esai Goenawan juga kaya metafora, simile dan personifikasi. Eksplorasi majas itu bahkan dilakukan lebih jauh lagi dengan menggunakan bentuk pertentangan seperti ironi, paradoks dan
sinisme.
Pilihan diksi yang dipungut dari khazanah latar budaya linguistik manapun itu menjadi daya yang impresif saat dirangkai
dalam variasi bentuk sintaksis. Kata-kata dipilih tak sebatas yang denotatif untuk menyampaikan makna literal tapi juga yang konotatif, yang metaforik dengan tujuan menggugah emosi pembaca.
Pada tataran kalimat, variasi diungkapkan dalam bentuk kalimat seimbang dan kalimat periodik. Kalau yang pertama adalah kalimat dengan dua struktur sejajar yang diletakkan saling berhadapan seperti beban pada skala atau timbangan yang seimbang, yang kedua adalah kalimat dengan dua atau lebih konstruksi sejajar untuk menciptakan pernyataan terpenting di klausa pertama, yang letaknya di bagian akhir kalimat.
Dari segi jumlah klausa, variasi juga dilakukan dalam wujud kalimat minor, kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Pola penulisan kalimat variatif ini dilakukan sang eseis secara ajek.
Tak berhenti pada stilistika sintaksis, dalam pengembangan alinea pun Goenawan melakukan variasi dengan pola deduksi dan induksi.
Di antara beragam teknik penulisan yang dieksplorasi Goenawan dalam melahirkan Caping setiap pekan, ada satu hal yang menjadi gaya personal eseis yang juga penyair liris itu: penggunaan kalimat minor. Apa itu kalimat minor? Kalimat dalam struktur pecahan atau fragmen sintaksis, tulis Lewis Meyers, ahli retorika yang menulis "Findings: Reading for Critical Writing (Lexington. Massachusetts Toronto:DC Heath and Company, 1996)"
Eseis lain sangat-sangat mengabaikan kalimat minor. Bahkan mereka hampir tak menggunakannya. Mau tahu fungsi kalimat minor? Fungsinya menorehkan kesan pada pembaca dan lebih menghidupkan tulisan. Kalimat minor memang banyak dipakai dalam tindak tutur lisan dan karya fiksi.
Kalimat minor bisa untuk prosa nonfiksi, tapi penggunaannya harus hati-hati, harus sesuai dengan konteks, dan suasana yang hendak ditimbulkan pada benak pembaca oleh sang eseis. Kalimat minor bisa berupa frasa atau klausa terikat.
Inilah salah satu contoh bagaimana Goenawan menulis kalimat minor dalam suatu paragraf yang terdiri atas empat kalimat: "Kremlin berubah. Juga Beijing. Komunisme berada di garis tengah malam, ketika bumi gonjang-ganjing dan langit kelap-kelap dan peralihan besar terjadi. Meskipun tak seorang pun menyebut Eduard Bernstein." (Tempo, 2 Juli 1988).
Paragraf di atas dimulai dengan kalimat tunggal yang pendek, terdiri atas dua kata. Kalimat kedua merupakan bentuk repetisi dari kalimat pertama namun untuk memvariasi dilakukan pelesapan predikat. Jika diparafrasakan, kalimat kedua itu berbunyi: "Beijing juga (berubah)".
Setelah menulis dua kalimat tunggal yang pendek, Goenawan mempertajam variasi kalimat dengan menghadirkan kalimat majemuk bertingkat, dengan panjang kalimat terdiri atas 18 kata, dengan satu pemenggalan berupa tanda baca koma. Kalimat keempat itulah yang disebut kalimat minor, yang berupa kalimat klausa terikat.
Kalimat minor, dalam konteks esai beribu-ribu Caping, yang bertebaran, dalam kurun penulisan yang berpuluh tahun, harus dibedakan dengan kalimat yang salah gramatika dalam berita lempang. Seorang pewarta tak diberi ampun jika menulis berita dengan menggunakan kalimat minor.
Kalimat minor dalam esai Goenawan ibarat goresan kubisme Picasso. Bukan karena tak sanggup melukis embun di atas daun jika Picasso melabuhkan kepiawaiannya melukis garis dan lengkung tak realistis. Gramatika adalah bagian dari menu keseharian Goenawan, dan sesekali dia melakukan deformasi gramatika, yang dalam penulisan esai mengambil bentuk kalimat-kalimat minor.
Eksplorasi sintaksis stilistik juga terpapar pada paragraf berikut: "1943, di London seorang wanita berumur 34 tahun meninggal di sebuah perawatan. Simone Weil. Dia pemikir dan penulis yang sudah terkemuka semudah itu. Dokter mengumumkan sebab kematian itu sebagai `bunuh diri'. Wanita muda yang manis dan berkacamata itu pergi setelah satu proses melaparkan diri secara suka rela. Bukan untuk langsing. Simone menolak untuk makan lebih dari ransum yang diterima bangsanya, orang Prancis, di bawah pendudukan Jerman."
(Tempo, 30 Juli 1977).
Alinea berisi tujuh kalimat di atas adalah demonstrasi Goenawan dalam menorehkan impresi pada pembacanya. Dan salah satu peranti stilistik untuk itu adalah kalimat minor, yang diabaikan oleh kebanyakan esais Indonesia. ***4***
(Z. Abdullah)