Jakarta (Antara Kalbar) - Dengan berakhirnya debat calon presiden dan calon wakil presiden pada 5 Juli 2014, maka lengkaplah sudah bagi rakyat Indonesia menjadi saksi dari performa Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai kandidat capres-cawapres Indonesia 2014-2019.
Dalam sesi "closing statement" rakyat Indonesia telah menjadi saksi tentang bagaimana percaya dirinya Jokowi dalam menyampaikan pernyataannya, dan mereka juga telah menjadi saksi paraunya suara Prabowo (dan merebaknya air matanya) dalam menyampaikan pernyataan penutupnya.
Di satu sisi, "gesture" dan sikap kepercayaan diri Jokowi dalam menyampaikan "closing statement"-nya adalah merupakan indikator dan cerminan dari semangat serta rasa kesiapannya untuk menjadi pemimpin bangsa ini dalam lima tahun ke depan.
Sedangkan di sisi lain, paraunya suara dan merebaknya air mata Prabowo adalah menggambarkan ikut bergetarnya hati Prabowo dalam mengartikulasikan pernyataan penutupnya yang bersifat visioner dan kebangsaan.
Sungguh lagi-lagi itu semua adalah suatu proses pembelajaran yang baik bagi rakyat Indonesia. Jokowi membuat "closing statement" dengan mengutamakan "ruang-akal"-nya, sedangkan Prabowo mengartikulasikan pemikirannya dengan mengikutsertakan "ruang-qalbi"nya.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan masing-masing kubu selama lima seri debat Capres-Cawapres yang sudah kita saksikan bersama, maka ada satu pertanyaan penting yang perlu kita renungkan bersama, yaitu: "Apakah kita sebagai anak bangsa telah berhasil atau gagal dalam menampilkan performa terbaik dari para Capres-Cawapres kita selama proses debat?".
Pertanyaan ini penting untuk diajukan bukan hanya untuk memperbaiki diri dalam proses pemilihan presiden berikutnya dalam lima tahun mendatang, melainkan juga adalah sebagai bagian dari introspeksi diri kita bersama sebagai anak bangsa untuk mempersiapkan diri kita semua secara proaktif terlibat dalam proses pembangunan lima tahun mendatang.
Atas pertanyaan itu, jika boleh berpendapat, maka mudah-mudahan banyak di antara kita yang setuju bahwa sesungguhnya kita telah gagal total.
Kita bukan hanya gagal dalam menggali pemikiran-pemikiran terbaik dari para kandidat Capres dan Cawapres kita, melainkan juga telah ramai-ramai mempermalukan kandidat Capres-Cawapres kita di depan kamera yang ditonton ratusan jutaan publik, nasional dan internasional.
Sebagai suatu bangsa, kita harus malu menampilkan acara debat para kandidat Capres-Cawapres kita dalam bentuk demikian.
Sindiran Kwiek Kian Gie --tentang adanya Capres yang hanya menyuarakan "shoping list"-- dan kehilangan arah dalam menentukan skala prioritas, saat menjadi narasumber sebelum acara debat terakhir, bukan hanya perlu kita pelajari sebagai indikator objektif dan luhurnya kualitas Kwiek sebagai teknokrat dan birokrat serta politikus, melainkan juga perlu untuk menjadi cemeti bagi semua orang pintar yang terlibat dalam proses debat capres tersebut.
Kita semua telah gagal membangun kerangka berfikir yang strategis dalam menggali kesiapan Capres-Cawapres melalui proses debat tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat retorika dan "old-fashion" sangat mewarnai proses debat pada semua seri dan sesi, sedangkan benang merah untuk menyelesaikan persoalan masa lalu, menjawab persoalan jangka pendek saat ini dan/serta mempersiapan tantangan masa depan sama sekali tidak terbentuk dan tidak kita dapatkan selama proses debat.
Kita juga telah ramai-ramai membiarkan kubu tertentu menina-bobokan bangsa dengan berbagai janjinya yang tak memiliki "time-frame" yang masuk akal.
Kesalahan orang pintar
Hal ini bukan hanya menggambarkan kekurangan para Capres-Cawapres yang kelelahan dan stres selama masa kampanye, melainkan adalah gambaran kesalahan semua orang pintar yang terlibat dalam proses tersebut.
Itu semua bukan hanya telah menjadikan kita semua menjadi telah membuat suatu seri debat Capres-Cawapres yang bernilai amatiran belaka, melainkan juga telah mempermalukan para kandidat Capres-Cawapres itu sendiri.
Proses debat pada semua seri telah membiarkan Jokowi terus menerus hingga "closing statement"-nya menggunakan "politik-eufemisme" untuk menghina banyak pihak melalui ungkapan-ungkapannya tentang "banyak pihak tidak berniat membangun bangsa".
Sedangkan di sisi lain proses debat juga telah membiarkan Prabowo dijadikan bantalan tembak atas isu "sejarah-politik" yang diarahkan pada dirinya.
Apakah hal tersebut yang sesungguhnya kita inginkan?
Jawabannya tentu adalah tidak, namun kita telah bekerja amatiran dan khilaf dalam menyelenggarakan proses debat Capres-Cawapres.
Ungkapan Jokowi bahwa "kita tidak perlu lagi banyak berteori melainkan perlu bertindak-bertindak dan bertindak" adalah bukan hanya menggambarkan tidak masifnya pemahaman beliau dalam memaknai pentingnya aspek ilmu pengetahuan dalam suatu proses pembangunan, melainkan juga sangat potensial untuk memicu konflik vertikal dan horizontal antara teknokrat, birokrat dan akademisi serta praktisi.
Kita semua perlu menyadari bahwa empat kutub "Lingkaran Ilmu Pengetahuan" adalah tidak boleh kita abaikan dan tidak mungkin kita putus sama sekali.
Kutub utara dari "Lingkaran Ilmu Pengetahuan" yang menggambarkan posisi "wisdom" adalah selalu kita butuhkan dalam setiap proses pembangunan, tanpa hal tersebut maka proses pembangunan pasti akan kehilangan rohnya.
Kutub timur yang mewakili dinamika praktis dari berbagai aspek "wisdom" adalah harus selalu kita olah dan kita hantarkan untuk mampu menjadi suatu teori yang sahih dan valid pada posisi kutub selatan.
Sedangkan di sisi barat, selanjutnya, berbagai teori tersebut perlu terus kita implementasikan dan uji untuk bisa menjadi sebuah keluhuran budi pekerti yang akan bisa menghasilkan "wisdom" kembali nantinya.
Para orang pintar di sekeliling Jokowi perlu mengingatkan beliau agar tidak memicu konflik sosial dari aspek tersebut.
Masalah dan permasalahan
Dalam konteks akademik, harus bisa dibedakan antara "masalah" dan "permasalahan".
Adanya murid bodoh adalah masalah. Tidak naik kelasnya murid yang bodoh adalah masalah. Tidak baiknya nilai ijazah murid yang bodoh adalah masalah.
Susahnya lulusan yang bodoh (bernilai kecil) untuk mendapatkan pekerjaan adalah masalah.
Atas semua "masalah" itu, apakah "permasalahan" sesungguhnya bagi seorang calon pemimpin bangsa? Sekuensi berfikir demikian nampaknya tidak disadari sama sekali oleh para orang pintar yang terlibat dalam proses debat capres-cawapres, sehingga menjadi tidak aneh kalau esensi debat yang ada menjadi mengambang dan kehilangan makna sama sekali dan bahkan mempermalukan para kandidat pemipin bangsa kita lima tahun ke depan.
Kecenderungan kita selama seri debat untuk mengajak para kandidat Capres-Cawapres kita hanya berdiskusi dalam "ruang-masalah" adalah suatu kekeliruan yang sangat besar, sehingga tidak aneh kalau kemudian ada kandidat Capres-Cawapres kita yang hanya bermain dalam semantika "shoping list" yang disindirkan oleh Kwiek.
Untuk menggali dan menuntut kemampuan tertinggi dari para kandidat Capres-Cawapres Indonesia --beserta semua orang pintar di sekelilingnya-- kita seharusnya membangun diskusi/debat dalam tataran "ruang permasalahan".
Atas hal itu, maka mestinya pertanyaan-pertanyaan yang harus kita ajukan pada mereka haruslah diartikulasikan dalam tiga tingkatan pertanyaan yang berbeda.
Pada tingkatan pertama pertanyaan yang harus kita ajukan adalah "Apakah permasalah strategis dalam aspek/sektor XYZ".
Pada tingkat kedua, pertanyaannya adalah "Apakah hakikat dari dinamika permasalahan pada sektor XYZ tersebut".
Sedangkan pada tingkat ketiga, pertanyaannya yang perlu kita ajukan adalah : "Apakah gagasan pemecahan permasalahan serta strategi implementasinya yang kandidat miliki atas permasalahan XYZ tersebut".
Melalui jawaban para kandidat atas pertanyaan tingkat pertama, kita akan bisa mengetahui sejauh mana para kandidat mengenali berbagai "masalah" yang ada serta apa resultantenya (permasalahan)-nya dari semua dinamika masalah tersebut.
Melalui jawaban pertanyaan tingkat kedua, kita akan mengetahui sejauh apa para kandidat menguasai hakekat ilmu dan pengetahuan serta pengalaman praktis atas permasalahan yang sedang dibicarakan.
Penguasaan hakikat ini perlu kita tuntut dari para kandidat adalah untuk mengetahui kekuatan dasar berpijak serta tata nilai yang akan dipakainya dalam memutuskan tindakan pemecahan masalah nantinya.
Tanpa hal ini maka bisa dipastikan pola "grambayangan" dan/atau "trial and error" pasti akan selalu terjadi dan terjadi lagi.
Selanjutnya melalui jawaban pertanyaan tingkat ketiga kita akan bisa mengetahui seberapa cerdas, jitu serta terukurnya strategi implementasi pemecahan permasalahan yang dimiliki masing-masing kandidat.
Akhirnya, setelah tiga tingkatan pertanyaan itu kita ajukan, maka kita pun tidak boleh luput menjaga "time frame" strategi implementasi yang diajukan masing-masing kandidat.
Untuk itu, kepada para kandidat perlu kita pertanyakan apa starteginya untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan masa lalu , apa strateginya untuk menjawab permasalahan jangka pendek, dan apa strateginya untuk menyelesaikan dan mempersiapkan permasalahan masa depan.
Rakyat Indonesia tidak boleh membiarkan ada kandidat yang hanya berfikir sampai taraf meletakkan pondasi pembangunan saja. Semua "time frame" pemecahan permasalahan harus dilakukan secara paralel, permasalahan masa lalu harus segera diselesaikan, permasalah masa kita perlu kita jawab segera, dan pemasalahan masa depan perlu kita siapkan.
Akhirnya, kita semua perlu saling mengucapkan selamat merenung dan memilih, serta selamat mempersiapkan diri kita masing-masing secara optimal, baik serta benar untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan bangsa Indonesia dalam lima tahun ke depan.
*)Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB
(A035/Z. Abdullah)