Kehadiran Presiden Joko Widodo di COP-21 Paris harus dipandang bukan saja sebagai kehadiran Kepala Negara Indonesia, melainkan juga harus dijadikan sebagai momentum penting kehadiran seorang sarjana kehutanan Indonesia dalam kondisi sejajar dengan 146 kepala negara dan kepala pemerintahan lain yang menghadiri acara acara tersebut.
Bisa dipastikan bahwa Presiden Jokowi merupakan satu- satunya presiden yang bergelar sarjana kehutanan di antara semua kepala negara dan kepala pemerintahan dalam forum tersebut.
Hal ini tentunya bukan saja bisa dianggap membanggakan seluruh sarjana kehutanan Indonesia melainkan juga harus dimaknai sebagai suatu momentum yang penting bagi ketajaman pemikiran sarjana kehutanan Indonesia (yang dalam hal ini diwakili oleh Presiden Jokowi), serta menjadi tolok ukur kenegarawanan Jokowi dalam membela kesejahteraan rakyat Indonesia serta kepentingan bangsa dan negara dalam percaturan dan pertarungan penjajahan politik lingkungan secara global.
Rakyat Indonesia sangat mengharapkan Jokowi, sebagai sarjana kehutanan, sangat paham akan sejarah panjang perjalanan pembangunan kehutanan di negeri ini, serta mau menyadari betapa buruknya dampak penjajahan politik lingkungan di negeri ini sejak empat-lima dekade lalu.
Rakyat Indonesia tentunya juga sangat berharap agar sebagai "rimbawan",maka Jokowi, tidak akan takut menghadapi tekanan bangsa lain yang selalu bernafsu untuk mengatur dan menjajah perekonomian bangsa ini melalui isu dan politik lingkungan global.
Dan, sebagai individu yang juga berlatar belakang sebagai pengusaha, tentunya Jokowi juga tidak diharapkan akan terjerat oleh perangkap pemikiran para "makelar donor" yang mengiming-imingi bangsa ini dengan dana lingkungan yang penuh dengan tipu daya untuk menghancurkan struktur-struktur perekonomian bangsa yang sudah dibangun dengan bersusah payah selama ini.
Presiden harus diingatkan bahwa sampai saat ini tidak ada satu pun dana lingkungan tersebut yang benar-benar sampai ke tangan rakyat yang namanya selalu dijual oleh para "makelar-donor" dan para LSM.
Presiden harus tahu bahwa berbagai skema dana-lingkungan yang diprakarsai oleh berbagai agen pembangunan asing (international development agency) mana pun, maupun yang disuarakan oleh para "makelar-donor" dan LSM-lingkungan yang hipokrit tersebut adalah juga tidak pernah menghasilkan sesuatu yang signifikan secara berkelanjutan.
Yang terjadi adalah malah sebaliknya, yaitu isu dana-lingkungan telah dijadikan "pintu masuk" bagi bangsa asing untuk bekerja di Indonesia dengan bayaran tinggi dengan berbagai keistimewaan serta sikap yang tidak hanya merendahkan bangsa kita melainkan juga telah menghina pemimpin bangsa.
Beredarnya video Harison Ford yang "memaki-maki" Zulkifli Hasan ketika menjadi menteri kehutanan merupakan suatu sikap penghinaan terhadap pemimpin di negeri ini oleh bangsa asing melalui isu dan politik lingkungan.
Sedangkan kegagalan skema dan implementasi REDD (dan semua turunannya) merupakan bukti lain dari kegagalan konsep berpikir bangsa barat dalam memperbaiki iklim global selama 20 tahun terakhir, sekaligus sebagai bukti kegagalan pemikiran dan tindakan para "pejuang-lingkungan" yang hipokrit.
Sebagai "rimbawan", tentunya Jokowi juga masih bisa mengingat dengan jelas betapa susahnya hidup para "blandong" dan "pesanggem" di dalam hutan. Kelangsungan hidup keluarga mereka adalah sangat tergantung pada upah dan gaji yang mereka terima bertahun-tahun dari kegiatan pengusahaan hutan selama ini.
Perlu diingat bahwa kehidupan 40 juta warga sekitar hutan (baik 'blandong', 'pesanggem' dan karyawan serta masyarakat hutan lain) selama ini adalah bukan ditopang oleh berbagai skema bantuan sosial yang disediakan negara --bukan pula oleh proyek-proyek lingkungan yang dijajakan oleh para "pejuang-lingkungan" yang hipokrit-- melainkan adalah ditopang dan didukung oleh kegiatan ekonomi pengusahaan hutan yang secara sah telah diatur dalam undang-undang, baik dalam bentuk HPH (hak pengusahaan hutan), HTI (hutan tanaman industri), perkebunan dan lain sebagainya.
Tak perlu malu
Presiden tentunya tidak perlu malu untuk belajar dari "kekeliruan" masa lalu dalam tata kelola kehutanan di negeri ini.
Jika ditelusuri secara objektif, maka banyak pihak akan sepakat untuk berkesimpulan bahwa kehancuran sektor kehutanan di negeri ini secara umum adalah bukan oleh tingkah laku para pengusaha dalam sektor kehutanan, melainkan adalah karena kekeliruan politisi, anggota DPR dan pemerintah dalam menata sistem serta peraturan perundang-undangan yang ada, dan karena kejahatan "oknum" birokrat dalam proses implementasinya.
Semua itu menjadi lebih buruk karena sepak terjang LSM-Lingkungan yang hipokrit dan selalu melakukan "negative campaign" (bahkan "black-campaign") untuk menyudutkan banyak pihak guna meraih keuntungan finansial bagi institusi dan diri mereka pribadi.
Dana reboisasi
Presiden Jokowi tentunya tahu bahwa sejak tahun 1967 pengusaha hutan di Indonesia telah dibebani dengan Dana Reboisasi (DR) untuk setiap kubik kayu yang dipanen oleh HPH, di mana saat ini pengusahaan hutan juga telah dibebani dana PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)) dan dana Penggantian Nilai Tegakan (PNT).
Dana tersebut disetorkan kepada pemerintah --entah ke mana dana reboisasi itu saat ini-- namun rasanya hingga saat ini tidak ada satu pun bukti keberhasilan pemerintah dalam melakukan proses reboisasi di negeri ini.
Selain karena alibi masalah alam dan luasan areal yang perlu direboisasi, maka kegagalan proses reboisasi selama ini adalah lebih disebabkan oleh pelaksanaan reboisasi yang tidak lengkap dan bersifat diskontinyu, dan tentunya juga karena "dinamika-korupsi" dalam proyek reboisasi.
Struktur pembiayaan kegiatan reboisasi terlalu sering tidak dilengkapi dengan dana biaya pemeliharaan yang sangat dibutuhkan untuk menjamin pertumhuhan anakan pohon yang ditanam.
Masyarakat juga perlu mengajak Presiden mengingat kembali bahwa melesatnya kehancuran hutan di Tanah Air adalah bukan karena kegiatan pengusahaan hutan, melainkan oleh karena keleliruan pemerintah sendiri dalam menyikapi isu dan politik lingkungan yang bermula pada awal tahun 80-an.
Saat itu, negeri ini diterjang oleh isu konservasi, dan pemerintah meresponnya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah yang melarang ekspor kayu bulat. Meskipun larangan ekspor kayu bulat diarahkan untuk membangun industri hilir sektor kehutanan, peraturan yang ada mengabaikan nilai ekonomi premium dari kayu yang dipanen dari pengusahaan hutan.
Kayu kualitas prima yang berharga di atas 600 dolar AS per kubik pada pasar ekspor dipaksa hanya menjadi 80-120 dolar AS per kubik pada pasar industri hilir kehutanan.
Tetap dukung
Perlu disadari bahwa saat itu para pengusaha kehutanan Indonesia tetap mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Hal ini terbukti dari maju pesatnya industri kayu lapis di Indonesia pada era akhir 80-an hingga awal 90-an.
"Pengorbanan" pengusaha kehutanan di Indonesia untuk mendirikan industri hilir kehutanan saat itu kembali dihancurkan oleh isu lingkungan yang berhasil mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan moratorium HPH pada awal 90-an.
Tanpa disadari pemerintah, hal ini telah menjadikan industri hilir kehutanan dalam negeri menjadi kekurangan bahan baku dan akhirnya gulung tikar.
Kebijakan ini telah menjadikan banyak areal eks-HPH (yaitu HPH-HPH generasi pertama yang tidak diperpanjang izin konsesinya) menjadi bersifat "open access", dan terjadilah penjarahan tegakan hutan besar-besaran dimana-mana oleh masyarakat dan berbagai "oknum" pemerintah serta aparat keamanan.
Semakin rusaknya hutan saat itu tentunya adalah bukan karena kesalahan pengusaha kehutanan, melainkan adalah karena kesalahan kebijakan pemerintah yang tidak teliti dan tidak terukur, namun oleh LSM-lingkungan hal ini telah dipelintir dan dijadikan sebagai bahan untuk mendiskreditkan pengusahaan hutan Indonesia.
Jangan terperangkap
Sebagai Presiden bangsa tentunya , rakyat tidak boleh membiarkan Presiden Jokowi terperangkap oleh iming-iming dana lingkungan yang telah dijanjikan oleh berbagai negara maju sejak 20 tahun lalu pada COP-21 di Paris nanti.
Masyarakat perlu mengingatkan Presiden bahwa kinerja pengusahaan kehutanan Indonesia adalah jauh lebih besar dalam menghidupi rakyat negeri ini dibandingkan janji-janji muluk dana lingkungan tersebut.
Pengalaman selama ini menunjukkan dana lingkungan yang hanya beberapa puluh juta dolar AS itu sebagian besar adalah hanya habis untuk memperkaya oknum dan institusi lingkungan tertentu melalui berbagai FGD (diskusi kelompok terfokus) dan seminar-seminar lingkungan yang tak habis-habisnya
Sementara itu, pengusahaan hutan Indonesia secara riil selama ini telah berkinerja secara nyata menggulirkan roda ekonomi bangsa setidaknya sebesar RP5 triliun-Rp6 triliun per tahun, melalui berbagai pembiayaan usaha dan gaji pegawai yang menghidupi setidaknya 20 juta rakyat yang menjadi anggota keluarganya.
Nilai tersebut tentu akan menjadi lebih besar ketika digabungkan dengan pengusahaan perkebunan sawit (dan industri turunannya) yang berada pada posisi nomor satu dunia.
Lebih lanjut, tentunya juga perlu rakyat menyadari bahwa negara-negara Skandinavia yang selama ini sedang gencar menawarkan dana hibah dan utang untuk perbaikan lingkungan adalah merupakan kompetitor utama produk "pulp" dan kertas Indonesia di dunia (demikian juga Kanada).
Selanjutnya, patut pula dipertanyakan berapa lamakah semua rangkaian kerja yang akan dibebankan kepada Satgas tersebut akan bisa diselesaikan, dan akan seberapa rusakkah areal bekas karhutla sementara mengunggu hasil kerja Satgas ?
Atas semua pemikiran tersebut di atas, maka barangkali boleh masyarakat mengusulkan kepada Presiden bahwa sebaiknya penanganan isu dan politik lingkungan di Indonesia adalah dilakukan dengan cara merangkul pengusaha nasional, bukan dengan kebijakan dan tindakan yang bisa menghancurkan pengusaha nasional dan perekonomian bangsa dan negara kita.
Sedangkan kelantangan institusi dan "pejuang-lingkungan" yang selalu menekan pemerintah dan pengusaha sebenarnya bisa diselesaikan "secara adat" sebagai sesama "rimbawan" dan pecinta lingkungan.
Sebagai sesama "rimbawan" dan pecinta lingkungan, rakyat dan Presiden tentunya bisa sama-sama menguji kecerdasan dan kecintaan kepada bangsa dan negara melalui kerja sama bahu membahu untuk mengubah "negative/black campaign" menjadi "positive campaign" yang menyejukkan dan menggairahkan semua pihak berpartisipasi secara sadar dan optimum dalam memajukan subsektor lingkungan di negeri kita.
Jika sebagai "rimbawan" Presiden bisa melakukan semua hal tersebut di atas, maka negara tentunya tidak perlu membentuk Satgas Gambut segala.
Rencana pembentukan Satgas Gambut secara hakikat adalah bisa dimaknai sebagai hal yang mendelegitimasi eksistensi Kementerian LHK yang strukturnya sudah terlajur terlalu "tambun" dan selama setahun ini telah kehilangan momentum kinerja dan juga harmoni kerja secara internal.
Bersatulah "Rimbawan Indonesia", mari rakyat menyanyikan mars Rimbawan dan mendukung perjuangan Perwira Rimba Raya Indonesia --Presiden Jokowi sebagai Rimbawan dan Kepala Negara-- di COP-21 Paris.
Semoga Perwira Rimba Raya Indonesia tidak harus "menggadaikan" kedaulatan bangsa dan negara dalam usaha segera mewujudkan "rimba raya yang indah permai dan mulia", seperti bait Mars Rimbawan) di negeri ini.
*) Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)
(A041/A.F. Firman)
Telaah - COP-21 Paris: Hentikan Penjajahan Politik Lingkungan Indonesia
Selasa, 1 Desember 2015 20:51 WIB