Jakarta (Antara Kalbar) - Bahasa media massa, ujar seorang munsyi, haruslah disampaikan secara ilmiah, menggunakan kaidah yang betul karena publik akan mengikuti kebiasaan yang ditulis oleh media massa.
Pertanyaannya: sudah betulkah bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia, yang digunakan oleh media massa di Tanah Air? Jawaban atas pertanyaan ini tak mungkin memuaskan sebelum dilakukan penelitian ekstensif dan intensif.
Namun, beberapa kasus memperlihatkan bahwa untuk koran-koran terkemuka yang terbit di ibu kota pun masih mengidap sejumlah kesalahan gramatikal dan semantik yang mestinya tak perlu terjadi.
Pada 25 Juni 2013 di halaman muka sebuah surat kabar nasional yang terbit di Jakarta, ada berita utama yang berjudul "Kontrol Cenderung Otoriter". Dalam anak judul, ada kalimat majemuk bertingkat seperti ini: "Jika RUU Ormas Disahkan, Akan Diuji Materi".
Bagi mereka yang tak mempelajari bahasa Indonesia secara agak mendalam, kalimat tersebut tak terlalu bermasalah. Mereka tahu maksud penulis, yakni kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan menggugat di Mahkamah Konstitusi atas UU Ormas, jika DPR akhirnya mengesahkan RUU Ormas tersebut.
Jadi tujuan jurnalis dan redaktur menulis kalimat majemuk bertingkat di atas untuk menyampaikan suatu pokok pikiran dalam kalimat cukup efektif sebab masih dalam batas-batas yang komunikatif. Namun, dari sisi gramatika yang betul, kalimat di atas salah besar. Yang betul adalah sebagai berikut: "Jika Disahkan, RUU Ormas yang jadi UU Ormas itu akan diuji Materi."
Anak kalimat atau biasa disebut klausa tergantung boleh tidak menyebut subjek kalimat sehingga RUU Ormas bisa dilesapkan. Sebaliknya, induk kalimat atau bisa juga disebut klausa bebas tidak boleh kehilangan subjek kalimat. Argumennya begini: kalau yang disebut klausa bebas itu dicomot dari konteks kalimat majemuk, induk kalimat itu harus memenuhi kriteria sebuah kalimat lengkap: setidaknya mengandung subjek dan predikat (dan tidak perlu harus mengandung objek).
Sebaliknya, anak kalimat atau klausa tergantung tak harus mengandung kalimat lengkap sebab sekalipun mengandung kalimat lengkap, klausa itu tetap akan "menggantung" alias tak bisa berdiri sendiri. Kenapa? Ya, karena dalam setiap anak kalimat dalam kalimat majemuk bertingkat selalu diikuti partikel kelas konjungsi. Merujuk pada anak judul di atas, pembaca akan sulit memahami makna kalimat ini: "Jika RUU Ormas Disahkan." Tapi pembaca akan mafhum jika induk kalimat itu dicomot dari konteksnya: "RUU Ormas yang jadi UU Ormas itu akan diuji materi."
Membuang subjek dalam induk kalimat dalam konteks kalimat majemuk bertingkat merupakan salah satu indikasi kesembronoan dalam berbahasa Indonesia jurnalistik . Kasus yang terjadi pada koran nasional yang beroplag besar dan terbit secara nasional itu tentu juga terjadi di surat kabar lain yang lebih kecil oplah dan jangkauan peredarannya.
Kesembronoan dalam mematuhi gramatika seperti di atas tentu akan bisa dicegah jika pewarta dan redaktur memeriksa secara ekstra hati-hati untuk setiap kalimat yang disusun berdasarkan kalmat majemuk bertingkat sebab kalimat jenis ini paling sering ditulis secara tidak tepat.
Kesembronaan media massa dalam berbahasa jurnalistik yang terjadi pada aspek semantik antara lain terlihat pada koran yang sama pada terbitan dua hari kemudian, 27 Juni 2013. Pada halaman 23, di rubrik Nama dan Peristiwa, di bawah judul "Suka Berkelana", ada serangkaian kalimat berikut ini : "Sutradara dan aktris Ine Febriyanti (36) mengatakan, dirinya sangat suka berkelana alias `backpacker'."
Pembaca mana pun akan bertanya-tanya membaca penyamaan makna "berkelana" dengan "backpacker". Yang pertama termasuk kelas kata verba sementara yang terakhir masuk kategori kelas kata nomina. Kalau kalimat itu disunting mejadi "Sutradara dan aktris Ine Febriyanti (36) mengatakan sangat suka berkelana bergaya `backpacker'", kalimat ini jadi bernalar.
Sebagaimana ditulis Macmillan Dictionary. Com, "backpacker" bermakna: "someone, especially a young person without much money, who travels around an area on foot or public transport, often carrying a backpack," alias "seseorang, terutama seorang muda tanpa banyak uang, yang berkelana di suatu wilayah dengan jalan kaki atau alat pengangkutan umum, sering menyandang tas punggung."
Jelaslah bahwa menyamakan makna "berkelana" dengan "pengelana" merupakan kesembronoan berbahasa. Kesembronoan yang beberapa kali dilakukan oleh surat kabar yang sama juga terjadi untuk kasus penghilangan partikel "tentang" dalam judul berita seperti ini: "Mahasiswa Diingatkan Toleransi". Maksud pewarta dan redaktur bersangkutan tentulah "Mahasiswa Diingatkan Tentang Toleransi".
Kesembronoan berbahasa dalam media massa jika dibiarkan bisa menjadikan kebiasaan atau kelaziman yang diikuti oleh massa sehingga akhirnya muncullah salah kaprah. Hal seperti ini hanya bisa dihilangkan jika pewarta dan redaktur memperlakukan laku berbahasa sebagai laku berpikir.
Menulis berita tidak harus berpikir cuma untuk urusan isi tapi juga medium penyampai isi. Akurasi faktul harus diikuti oleh akurasi linguistik. Fakta dan data yang akurat tanpa didukung oleh gramatika yang akurat akan cacat. Bukankah dalam dunia media massa dikenal semboyan "Content is king and language is queen", isi adalah raja dan bahasa adalah ratu" Makanya keduannya harus dipandang sama istimewa.
(Z. Abdullah)