Jakarta (Antara Kalbar) - Kenaikan harga BBM bersubsidi belum tentu membuat masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, demikian dikatakan pakar transportasi Universitas Gajah Mada Danang Parikesit.

"Kenaikan tarif angkutan umum sebaiknya hingga 20 persen dan tidak melebihi persentase kenaikan harga BBM. Jika tarif angkutan umum naik 30 persen, artinya tidak ada insentif agar orang pindah dari angkutan pribadi ke angkutan umum," kata Danang ketika dihubungi ANTARA News di Jakarta, Jumat malam.

Pengajar Fakultas Teknik UGM itu mengatakan seharusnya perencanaan  kenaikan harga BBM merupakan satu kesatuan dengan pembahasan pola transportasi.

"Kaitannya sangat besar, seperti pembahasan mengenai tarif. Pembahasannya seharusnya sejak sebelum diputuskan harga BBM naik," kata Danang.

Dia mengusulkan pengurangan subsidi BBM seharusnya diikuti dengan penambahan infrastruktur transportasi dan meningkatkan kualitas angkutan umum.

Menurut dia, dalam jangka pendek ini tidak akan ada perubahan yang berarti dari jumlah konsumsi BBM.

Lebih lanjut Danang  menjelaskan, angkutan umum belum menjadi pilihan alternatif masyarakat, baik dalam kota ataupun antarkota karena trayek yang dilalui tidak mengikuti jalur sepeda motor atau mobil pribadi dan lokasi permukiman.

"Kalau kita bicara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), jumlah gerbong kereta commuter line tidak mengikuti lonjakan penumpang," kata Danang.

Integrasi antara kereta commuter line dengan kereta ekonomi, menurut Danang, menyebabkan penurunan jumlah gerbong kereta di wilayah Jabodetabek dan keterbatasan kapasitas angkutan kereta, terutama pada pagi dan sore hari.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013