Pontianak (Antara Kalbar) - Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Provinsi Kalimantan Barat memperkirakan kerugian negara dari masuknya gula ilegal dalam kurun waktu 20 bulan terakhir mencapai ratusan miliar rupiah.

"Sekitar hampir Rp180 miliar. Ini belum dihitung dari tahun-tahun sebelumnya," ujar Ketua Apegti Provinsi Kalbar Syarif Usman Almutahar disela rapat koordinasi tim monitoring gula di Pontianak, Kamis.

Angka tersebut didapat dari pajak-pajak yang tidak dibayarkan dari para pelaku ke kas negara. "Nilainya sekitar Rp1.500 per kilogram," ujar dia.

Menurut dia, kebutuhan gula di Kalbar setiap bulan hampir enam ribu ton. Namun, ungkap dia, dalam kurun waktu 20 bulan terakhir, hanya ada satu kartu kendali memasukkan gula yang terbit.

"Nilainya pun tak seberapa. Hanya 30 ton," kata dia menegaskan.

Sementara di Kalbar, dapat dengan mudah ditemui gula di pasaran. Baik di tingkat pasar tradisional, warung pengecer, hingga pusat perbelanjaan.

Bahkan ada sejumlah pusat perbelanjaan yang membuat merek sendiri untuk gula pasir yang mereka jual.

Syarif Usman Almutahar sendiri bingung dari mana gula-gula tersebut dapat beredar bebas di pasaran.

"Di Kalbar ini tidak ada pabrik gula, perkebunan tebu. Dipasok dari Jawa pun, hanya 30 ton saja," katanya setengah bertanya.

Berdasarkan asumsi gula tersebut ilegal, maka ada 120.000 ton gula yang masuk dan beredar di Kalbar.

Ia tidak memungkiri, pasar gula di Kalbar sangat menjanjikan. Namun kalau mendatangkan dari Pulau Jawa, menjadi tidak ekonomis karena kalah bersaing dengan gula asal Malaysia.

Ia memperkirakan, harga gula dari Jawa yang tiba di Pontianak sudah di kisaran Rp10 ribu per kilogram. "Belum biaya angkut dari pelabuhan, keuntungan distributor, agen dan pengecer, harganya bisa Rp11 ribu per kilogram di tangan masyarakat," kata dia.

Mengacu ke harga tersebut, pasar gula di Kalbar bernilai sedikitnya Rp66 miliar dalam satu bulan.

Sedangkan gula dari Malaysia, dibeli dengan harga Rp5 ribu. "Karena gula ini ada yang kualitas baik, ada juga yang rendah. Semua dicampur atau dioplos, baik dengan gula yang kualitasnya baik, atau sedang," katanya.

Gula-gula tersebut tidak dijual di Malaysia, namun dikemas ulang dari negara pengirim di Malaysia. "Ada yang dari Bangladesh, Srilangka, India, yang kualitasnya rendah," ujar Syarif Usman.

Dari Sarawak, Malaysia, gula tersebut masuk ke Kalbar dengan berbagai modus. Para pelaku terkadang memanfaatkan perjanjian perdagangan di perbatasan Indonesia - Malaysia di wilayah Kalbar yang membolehkan masyarakat setempat membeli barang dari Malaysia dengan nilai maksimal 600 ringgit Malaysia.

"Yang di konsumsi masyarakat Malaysia, gula yang ada tulisan subsidi dari Kerajaan Malaysia. Celakanya, yang masuk ke Kalbar, tidak jelas asal usul maupun kualitasnya," kata dia menegaskan.

Ia berharap ada tindakan tegas dari pemerintah maupun pihak terkait untuk mengatasi hal tersebut.

Pewarta: Teguh Imam Wibowo

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013