Menapaki Suruh Tembawang, sebuah desa pedalaman di tapal batas antara Kalbar (Indonesia) dan Sarawak (Malaysia), sangat terasa menapaki sebuah desa yang minim tersentuh pembangunan.
Desa yang dihuni sekitar 2.000 penduduk ini tidak memiliki infrastruktur dasar yang memadai, bahkan rumah-rumah yang ada pada umumnya tidak layak huni.
Walau pun masih dalam wilayah Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, warga desa Suruh Tembawang merasa lebih dekat bertransaksi dagang dengan warga negeri jiran. Tak lain sebabnya, lebih mahalnya biaya perjalanan di wilayah negeri sendiri.
Bayangkan, untuk pergi dari desa ke ibu kota Kecamatan Entikong hanya memungkinkan menyusuri sungai menggunakan perahu. Bila perjalanan menyusuri sungai ke hilir memakan waktu lima jam sedang ke hulu mencapai tujuh jam. Biayanya sekali jalan Rp 700.000. "Bolak balik ongkosnya Rp1,4 juta," kata Alex warga Dusun Badat, Desa Suruh Tembawang
Sedangkan akses jalan darat, belum ada yang memadai. "Kalau pun harus terpaksa jalan darat, bisa tiga hari ke kota Entikong," katanya.
Sementara jika pergi ke desa terdekat di negeri seberang, Gunung Sapit, warga desa Suruh Tembawang cukup menempuh waktu 2,5 jam dengan jalan kaki.
"Biaya transportasi tak ada, bahkan harga jual di desa Gunung Sapit ini jauh lebih baik. Satu ikat ubi bisa dihargai Rp 30 ribu, sedang kalau ke Entikong hanya Rp 3.500. Juga harga sahang (lada) di negeri jiran bisa mencapai Rp180 ribu per kilogram, kalau di Entikong hanya 80.000/kg," jelasnya.
Kondisi terisolasi memang menyentuh, tidak terkecuali para tentara pengamanan perbatasan yang datang dari Batalyon Infanteri 403/ Wirasada Pratista. tak lama setelah mendarat di tapal batas. Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Dansatgas) Letkol Inf Renal Aprindo Sinaga langsung memikirkan bagaimana desa perbatasan ini bisa lebih bisa meningkatkan kesejahteraannya, dengan modal alam yang ada.
Akhirnya terbuka ide pemberdayaan danau-danau yang cukup banyak tersebar, dengan pemberdayaan perikanan air tawar. Kegiatan ini diharapkan bisa menambah pendapatan warga, karena selama ini penduduk desa hanya mampu mengolah hasil kebun.
"Saya melihat di sepanjang daerah perbatasan banyak danau yang tidak dimanfaatkan warga, jadi kita tergerak untuk mengajak masyarakat untuk membudidaya ikan air tawar," ungkap Dansatgas Pamtas Yonif 403/WP Letkol Inf Renal Aprindo Sinaga.
Kebetulan pasukan yang bernaung di bawah Kodam Diponegoro itu juga sudah memiliki pengalaman dan sudah mempraktikan budidaya perikanan di Jawa.
Setelah dilakukan pembersihan danau, pada 12 Agustus 2013 mulai diserahkan bantuan sekitar 5.000 bibit ikan air tawar, di antaranya jenis ikan lele dan mujahir, untuk 10 kelompok binaan di Suruh Tembawang. Satu kelompok mewakili satu wilayah RT atau sekitar 20 KK.
"Diharapkan dengan bantuan bibit ikan ini bisa nantinya desa ini mengembangkan perikanan di desanya. Ini akan mengurangi ketergantungan dari membeli ikan dari negeri jiran. Juga bisa meningkatkan gizi masyarakat setenpat karena ikan merupakan sumber protein hewani yang baik," kata Renal Aprindo.
Sebanyak 10 tentara turut mengajarkan cara membudidaya ikan air tawar dalam jaring keramba apung, serta cara perawatan dan pemberian makanan untuk ikannya.
"Sejauh ini bibit ikan yang sudah kita berikan kepada warga, sudah mulai besar dan dalam waktu dekat siap panen," katanya tersenyum.
Kades Suruh Tembawang Gak Mulyadi mengungkapkan rasa bangganya kepada satgas Pamtas TNI, karena selain pemberian bantuan bibit ikan, dilakukan juga pengajaran tentang budidaya ikan air tawar dan perawatannya.
Dengan pengetahuan dan praktik budidaya ikan yang diajarkan oleh anggota Pamtas, Gak Mulyadi mengharapkan ke depannya warga sudah bisa mengembangkan sendiri, karena masih banyak tempat bisa dijadikan untuk pengembangan budidaya air tawar bagi warga di Desa Suruh Tembawang.
"Di masa mendatang warga akan bisa memenuhi sendiri gizinya dengan lebih baik, khususnya protein hewani. Atau kalau ada kelebihan panen ikan nantinya, bisa dijual untuk tambahan pendapatan rumah tangga. Mudah-mudahan budidaya ikan ini terus berkembang secara mandiri," ungkap Gak Mulyadi.
Dansatgas sendiri senang dengan antusiasme warga dalam budidaya ikan air tawar ini. Dengan segala keterbatasannya ia berharap program pemberdayaan tidak saja meningkatkan kesejahteraan, tetapi cinta tanah air tetap terjaga.
Bagi Alex, warga desa Badat yang ikut dalam budidaya ikan berharap rintisan pemberdayaan dari para Satgas Pamtas bisa dikesinambungkan dengan program pemerintah daerah.
"Penyuluh pertanian dan perikanan kalau bisa datangkan untuk kami secara rutin, biar kami juga bisa mengembangkan pertanian dan perikanan modern, seperti yang lainnya," harapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
Desa yang dihuni sekitar 2.000 penduduk ini tidak memiliki infrastruktur dasar yang memadai, bahkan rumah-rumah yang ada pada umumnya tidak layak huni.
Walau pun masih dalam wilayah Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, warga desa Suruh Tembawang merasa lebih dekat bertransaksi dagang dengan warga negeri jiran. Tak lain sebabnya, lebih mahalnya biaya perjalanan di wilayah negeri sendiri.
Bayangkan, untuk pergi dari desa ke ibu kota Kecamatan Entikong hanya memungkinkan menyusuri sungai menggunakan perahu. Bila perjalanan menyusuri sungai ke hilir memakan waktu lima jam sedang ke hulu mencapai tujuh jam. Biayanya sekali jalan Rp 700.000. "Bolak balik ongkosnya Rp1,4 juta," kata Alex warga Dusun Badat, Desa Suruh Tembawang
Sedangkan akses jalan darat, belum ada yang memadai. "Kalau pun harus terpaksa jalan darat, bisa tiga hari ke kota Entikong," katanya.
Sementara jika pergi ke desa terdekat di negeri seberang, Gunung Sapit, warga desa Suruh Tembawang cukup menempuh waktu 2,5 jam dengan jalan kaki.
"Biaya transportasi tak ada, bahkan harga jual di desa Gunung Sapit ini jauh lebih baik. Satu ikat ubi bisa dihargai Rp 30 ribu, sedang kalau ke Entikong hanya Rp 3.500. Juga harga sahang (lada) di negeri jiran bisa mencapai Rp180 ribu per kilogram, kalau di Entikong hanya 80.000/kg," jelasnya.
Kondisi terisolasi memang menyentuh, tidak terkecuali para tentara pengamanan perbatasan yang datang dari Batalyon Infanteri 403/ Wirasada Pratista. tak lama setelah mendarat di tapal batas. Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Dansatgas) Letkol Inf Renal Aprindo Sinaga langsung memikirkan bagaimana desa perbatasan ini bisa lebih bisa meningkatkan kesejahteraannya, dengan modal alam yang ada.
Akhirnya terbuka ide pemberdayaan danau-danau yang cukup banyak tersebar, dengan pemberdayaan perikanan air tawar. Kegiatan ini diharapkan bisa menambah pendapatan warga, karena selama ini penduduk desa hanya mampu mengolah hasil kebun.
"Saya melihat di sepanjang daerah perbatasan banyak danau yang tidak dimanfaatkan warga, jadi kita tergerak untuk mengajak masyarakat untuk membudidaya ikan air tawar," ungkap Dansatgas Pamtas Yonif 403/WP Letkol Inf Renal Aprindo Sinaga.
Kebetulan pasukan yang bernaung di bawah Kodam Diponegoro itu juga sudah memiliki pengalaman dan sudah mempraktikan budidaya perikanan di Jawa.
Setelah dilakukan pembersihan danau, pada 12 Agustus 2013 mulai diserahkan bantuan sekitar 5.000 bibit ikan air tawar, di antaranya jenis ikan lele dan mujahir, untuk 10 kelompok binaan di Suruh Tembawang. Satu kelompok mewakili satu wilayah RT atau sekitar 20 KK.
"Diharapkan dengan bantuan bibit ikan ini bisa nantinya desa ini mengembangkan perikanan di desanya. Ini akan mengurangi ketergantungan dari membeli ikan dari negeri jiran. Juga bisa meningkatkan gizi masyarakat setenpat karena ikan merupakan sumber protein hewani yang baik," kata Renal Aprindo.
Sebanyak 10 tentara turut mengajarkan cara membudidaya ikan air tawar dalam jaring keramba apung, serta cara perawatan dan pemberian makanan untuk ikannya.
"Sejauh ini bibit ikan yang sudah kita berikan kepada warga, sudah mulai besar dan dalam waktu dekat siap panen," katanya tersenyum.
Kades Suruh Tembawang Gak Mulyadi mengungkapkan rasa bangganya kepada satgas Pamtas TNI, karena selain pemberian bantuan bibit ikan, dilakukan juga pengajaran tentang budidaya ikan air tawar dan perawatannya.
Dengan pengetahuan dan praktik budidaya ikan yang diajarkan oleh anggota Pamtas, Gak Mulyadi mengharapkan ke depannya warga sudah bisa mengembangkan sendiri, karena masih banyak tempat bisa dijadikan untuk pengembangan budidaya air tawar bagi warga di Desa Suruh Tembawang.
"Di masa mendatang warga akan bisa memenuhi sendiri gizinya dengan lebih baik, khususnya protein hewani. Atau kalau ada kelebihan panen ikan nantinya, bisa dijual untuk tambahan pendapatan rumah tangga. Mudah-mudahan budidaya ikan ini terus berkembang secara mandiri," ungkap Gak Mulyadi.
Dansatgas sendiri senang dengan antusiasme warga dalam budidaya ikan air tawar ini. Dengan segala keterbatasannya ia berharap program pemberdayaan tidak saja meningkatkan kesejahteraan, tetapi cinta tanah air tetap terjaga.
Bagi Alex, warga desa Badat yang ikut dalam budidaya ikan berharap rintisan pemberdayaan dari para Satgas Pamtas bisa dikesinambungkan dengan program pemerintah daerah.
"Penyuluh pertanian dan perikanan kalau bisa datangkan untuk kami secara rutin, biar kami juga bisa mengembangkan pertanian dan perikanan modern, seperti yang lainnya," harapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013