Pontianak  (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik  Sofyano Zakaria menyatakan, masyarakat jangan dibebankan ongkos angkut dan pengisian elpiji bersubsidi dari Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) ke pangkalan-pangkalan elpiji bersubsidi.

"Karena ongkos angkut dan ongkos pengisian itu sudah dibayar oleh pemerintah, sehingga tidak perlu lagi dibebankan pada masyarakat, kalau itu terjadi maka harga elpiji bersubsidi di pasaran akan mengalami kenaikan dari harga ketentuan," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Rabu.

Ia menjelaskan, keputusan Pertamina yang mengubah pola distribusi elpiji umum dari pola SPBE ke SPEK (Stasiun Pengisian Elpiji Khusus) untuk wilayah Jawa dan Bali tidak menyalahi aturan.

Sehingga, konsekuensi dari perubahan itu, yakni biaya pengisian elpiji ke tabung elipiji dan ongkos angkut dari depot ke SPEK menjadi beban atau tanggung jawab para agen elpiji juga dibenarkan.

"Keputusan korporasi tersebut tidak bertentangan dengan Permen ESDM No. 26/2009, karena produk yang dijual nonsubsidi, sehingga keputusan tersebut harusnya tidak dipermasalahkan oleh pemerintah termasuk oleh para politisi di Senayan," ungkapnya.

Tetapi untuk harga jual elpiji 12 kilogram atau non subsidi tidak masalah kalau ongkos angkut dan pengisian dibebankan kepada konsumen, karena memang elpiji tersebut tidak disubsidi, katanya.

"Seharusnya para agen tidak mengalihkan beban tersebut ke konsumen secara tidak proporsional atau diatas kewajaran, seperti yang terjadi saat ini, karena agen membebankan ongkos transpor dan pengisian elpiji ke tabung kepada konsumen," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Sofyano menyatakan, walau tanpa adanya aksi korporasi BUMN Pertamina tentang pengalihan ongkos angkut dan pengisian elpiji ke tabung ke para agen elpiji 12 kilogram, masyarakat selama ini tidaklah membeli elpiji 12 kilogram itu sesuai dengan harga yang ditetapkan Pertamina, dan hal itu tidak dipermasalahkan oleh Pertamina.

Demikian pula yang terjadi pada harga elpiji tiga kilogram yang disubsidi pemerintah, masyarakat selalu membeli elpiji subsidi diatas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yang mengacu kepada Permen ESDM No. 28/2008 maupun HET yang ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah, yang mengacu kepada Peraturan Bersama Mendagri dan MenESDM No. 17/2011 dan No. 5/2011.

"Pada dasarnya penetapan harga Migas, baik harga BBM non subsidi maupun elpiji non subsidi harus diatur dan ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 22/2001  tentang Migas. Namun hingga saat ini nyaris luput dari perhatian para tokoh masyarakat maupun Komisi VII DPR RI," ujarnya.

Padahal UU mengisyaratkan bahwa pemerintah harus menjalankan UU, dan presiden sebagai kepala pemerintahan  bisa di "impeach" jika tidak menjalankan apa yang diperintahkan oleh UU tersebut, katanya.

Pewarta: Andilala

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013