Balikpapan (Antara Kalbar) - Adanya perusakan Teluk Balikpapan untuk perluasan pabriknya, PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) melanggar perjanjian deforestasi yang telah dibuat Wilmar Internasional.
"Wilmar menandatangani kebijakan zero-deforestation pada 5 Desember 2013 lalu. Karena penandatanganan itu, Wilmar meraih banyak publikasi positif sebagai perusahaan peduli lingkungan," kata peneliti lingkungan dan alam di Teluk Balikpapan, Stanislav Lhota di Balikpapan, Minggu.
Di Teluk Balikpapan, WINA membuat pelabuhan minyak mentah kelapa sawit (CPO) dan pabrik pengolahan buah menjadi CPO. Perusahaan juga menebang hutan mangrove untuk mendapatkan perluasan lahan.
Zero deforestasi atau nol deforestasi adalah kebijakan untuk tidak lagi menebang hutan alam untuk kebutuhan lahan, dalam hal ini untuk industri.
Bila perusahaan perkebunan membutuhkan lahan, baik untuk kebun maupun pabrik atau lain-lain, dapat memilih area yang lain, namun bukan hutan alam yang masih asri seperti hutan mangrove primer di Teluk Balikpapan.
Menurut Lhota, pelanggaran Wilmar atas kesepakatan yang dibuatnya sendiri juga akan merugikan dirinya sendiri.
Jika Wilmar terus melanjutkan pembangunan dengan merusak di Teluk Balikpapan, maka negara-negara maju yang menjadi tujuan ekspor Wilmar akan menolak produk-produk tersebut.
"Sebab negara-negara Eropa dan AS sudah lama menerapkan kebijakan eco-label dan zero deforestasi," ujar Lhota, peneliti dari Universitas of Life Sciences di Praha, Republik Ceko itu. Lhota telah meneliti satwa, terutama primata bekantan (Nasalis larvatus) di Teluk Balikpapan tidak kurang dari sepuluh tahun.
Eco-label antara lain mensyaratkan produk yang dikirim tidak diproduksi dengan merusak atau membabat hutan alam. Produk dibuat tidak dengan merusak atau mencemari lingkungan.
Untuk dapat masuk ke negara yang menerapkan eco-label, produk tersebut harus lulus ujian yang disyaratkan untuk mendapatkan sertifikat eco-label.
Menurut catatan Lhota, Teluk Balikpapan dan Kawasan Industri Kariangau dipantau dunia internasional karena kegiatan PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) di daerah aliran Sungai Berenga.
PT WINA telah merusak 27,1 hektar hutan di sekitar Sungai Berenga Kanan, kebanyakan adalah hutan mangrove dan kawasan lindung di pesisir dan sempadan sungai.
PT WINA juga berencana memperluas area di mana hutan mangrove akan dibuka dan dirusak. Mereka telah menutup kawasan Hulu Sungai Berenga Kanan dengan timbunan tanah.
Selain mangrove yang dirusak secara langsung karena penebangan dan penimbunan, sangat banyak pohon mangrove yang mati di hulu sungai akibat penutupan sungai tersebut. Perubahan sirkulasi air karena penimbunan membuat pohon-pohon mangrove mati.
"Dengan kebijakan deforestasi Wilmar, mestinya tidak terjadi hal seperti ini dalam pengembangan bisnis mereka," ujar Stanislav Lhota.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Wilmar menandatangani kebijakan zero-deforestation pada 5 Desember 2013 lalu. Karena penandatanganan itu, Wilmar meraih banyak publikasi positif sebagai perusahaan peduli lingkungan," kata peneliti lingkungan dan alam di Teluk Balikpapan, Stanislav Lhota di Balikpapan, Minggu.
Di Teluk Balikpapan, WINA membuat pelabuhan minyak mentah kelapa sawit (CPO) dan pabrik pengolahan buah menjadi CPO. Perusahaan juga menebang hutan mangrove untuk mendapatkan perluasan lahan.
Zero deforestasi atau nol deforestasi adalah kebijakan untuk tidak lagi menebang hutan alam untuk kebutuhan lahan, dalam hal ini untuk industri.
Bila perusahaan perkebunan membutuhkan lahan, baik untuk kebun maupun pabrik atau lain-lain, dapat memilih area yang lain, namun bukan hutan alam yang masih asri seperti hutan mangrove primer di Teluk Balikpapan.
Menurut Lhota, pelanggaran Wilmar atas kesepakatan yang dibuatnya sendiri juga akan merugikan dirinya sendiri.
Jika Wilmar terus melanjutkan pembangunan dengan merusak di Teluk Balikpapan, maka negara-negara maju yang menjadi tujuan ekspor Wilmar akan menolak produk-produk tersebut.
"Sebab negara-negara Eropa dan AS sudah lama menerapkan kebijakan eco-label dan zero deforestasi," ujar Lhota, peneliti dari Universitas of Life Sciences di Praha, Republik Ceko itu. Lhota telah meneliti satwa, terutama primata bekantan (Nasalis larvatus) di Teluk Balikpapan tidak kurang dari sepuluh tahun.
Eco-label antara lain mensyaratkan produk yang dikirim tidak diproduksi dengan merusak atau membabat hutan alam. Produk dibuat tidak dengan merusak atau mencemari lingkungan.
Untuk dapat masuk ke negara yang menerapkan eco-label, produk tersebut harus lulus ujian yang disyaratkan untuk mendapatkan sertifikat eco-label.
Menurut catatan Lhota, Teluk Balikpapan dan Kawasan Industri Kariangau dipantau dunia internasional karena kegiatan PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) di daerah aliran Sungai Berenga.
PT WINA telah merusak 27,1 hektar hutan di sekitar Sungai Berenga Kanan, kebanyakan adalah hutan mangrove dan kawasan lindung di pesisir dan sempadan sungai.
PT WINA juga berencana memperluas area di mana hutan mangrove akan dibuka dan dirusak. Mereka telah menutup kawasan Hulu Sungai Berenga Kanan dengan timbunan tanah.
Selain mangrove yang dirusak secara langsung karena penebangan dan penimbunan, sangat banyak pohon mangrove yang mati di hulu sungai akibat penutupan sungai tersebut. Perubahan sirkulasi air karena penimbunan membuat pohon-pohon mangrove mati.
"Dengan kebijakan deforestasi Wilmar, mestinya tidak terjadi hal seperti ini dalam pengembangan bisnis mereka," ujar Stanislav Lhota.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014