Pontianak (Antara Kalbar) - Sebanyak 118 peserta dari organisasi yang hadir dalam Konferensi Nasional Kebebasan Beragama/Kepercayaan (KBB) yang digelar di Jakarta, 2-3 Juni berkaitan peringatan Hari Pancasila 1 Juni, sepakat mengeluarkan sembilan rekomendasi untuk penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah, aparat penegak hukum, dan masyarakat.
Panitia pelaksana konferensi, Uli Parulian Sihombing, dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Pontianak, Kamis mengungkapkan peserta konferensi bertema "Indonesia Tanpa Kebencian" itu meliputi sejumlah lembaga penggiat hak asasi ,anusia (HAM) yaitu The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, Abdurrahman Wahid Center (AWC) Universitas Indonesia, CRCS Universitas Gajah Mada, Yayasan Cahaya Guru, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) dan HIVOS.
Selama dua hari yakni 2-3 Juni, di Jakarta, sebanyak 118 peserta dari organisasi non-pemerintah, organisasi keagamaan/kepercayaan, pemerintah pusat/daerah, perguruan tinggi, media, lembaga negara independen dan individu telah menghadiri Konferensi Nasional KBB tersebut.
Konferensi KBB bertujuan untuk mendiskusikan isu-isu kebebasan beragama/kepercayaan yang muncul, dan mencari alternatif solusinya ke depan, katanya.
Konferensi diadakan berkaitan dengan memperingati Hari Pancasila 1 Juni.
Dalam konferensi mengemuka pendapat bahwa Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 12/2005 tentang Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) sudah menjamin hak setiap orang atas kebebasan beragama/kepercayaan (KBB) termasuk hak mempunyai agama/kepercayaan sesuai dengan pilihannya, hak untuk beribadah dan lain-lain.
Akan tetapi, jaminan hukum dan konstitusi belum bisa dilaksanakan secara baik. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan/kepercayaan di negeri ini belum bisa menikmati hak atas kebebasan beragama/kepercayaan.
Kemudian juga, masih minimnya penegakan hukum secara adil atas kasus-kasus kekerasan/pelanggaran KBB. Aparat Penegak Hukum (APH) belum bisa bertindak independen dalam penegakan hukum tersebut, dan lebih banyak tunduk kepada tekanan massa.
Maka dari itu, lahirlah sembilan rekomendasi meliputi, pertama mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pengelolaan keragaman secara adil seperti model pengelolaan keragaman yang dilakukan oleh Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.
Kedua melakukan revisi tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri tentang izin mendirikan rumah ibadah, dan juga revisi aturan-aturan sejenis di tingkat lokal.
Ketiga membentuk mekanisme yang transparan dan partisipatif untuk meninjau ulang (review) aturan-aturan di daerah yang melanggar konstitusi/peraturan-peraturan yang lebih tinggi oleh pemerintah pusat (Depdagri).
Keempat menyediakan pendidikan KBB untuk Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Jaksa, Hakim, Polisi dan Advokat.
Kelima membekali aparat keamanan dengan kapasitas yang memadai untuk mengantisipasi ancaman hasutan kebencian bekerja sama dengan kekuatan masyarakat yang relevan. Di samping itu, masyarakat perlu menyadari bahaya ujaran kebencian, karena itu penting memasukkan dalam kode etik larangan hasutan kebencian dalam kode etik lembaga masyarakat sipil seperti sekolah dan lain-lain.
Keenam mendorong dialog antara APH, masyarakat, dan pimpinan-pimpinan keagamaan/kepercayaan untuk mencegah dan mencari solusi permasalahan keagamaan.
Ketujuh menghapuskan aturan-aturan keagamaan yang diskriminatif dan anti keragaman di sekolah-sekolah negeri.
Kedelapan mengembalikan fungsi sekolah sebagai pemersatu, penyemai kebangsaan dan penguat rasa kebangsaan.
Kesembilan memfasilitasi kebebasan berekspresi melalui media cetak, siar, dan online untuk kepentingan masyarakat umum dalam melindungi keberagaman umat beragama.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Panitia pelaksana konferensi, Uli Parulian Sihombing, dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Pontianak, Kamis mengungkapkan peserta konferensi bertema "Indonesia Tanpa Kebencian" itu meliputi sejumlah lembaga penggiat hak asasi ,anusia (HAM) yaitu The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, Abdurrahman Wahid Center (AWC) Universitas Indonesia, CRCS Universitas Gajah Mada, Yayasan Cahaya Guru, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) dan HIVOS.
Selama dua hari yakni 2-3 Juni, di Jakarta, sebanyak 118 peserta dari organisasi non-pemerintah, organisasi keagamaan/kepercayaan, pemerintah pusat/daerah, perguruan tinggi, media, lembaga negara independen dan individu telah menghadiri Konferensi Nasional KBB tersebut.
Konferensi KBB bertujuan untuk mendiskusikan isu-isu kebebasan beragama/kepercayaan yang muncul, dan mencari alternatif solusinya ke depan, katanya.
Konferensi diadakan berkaitan dengan memperingati Hari Pancasila 1 Juni.
Dalam konferensi mengemuka pendapat bahwa Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 12/2005 tentang Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) sudah menjamin hak setiap orang atas kebebasan beragama/kepercayaan (KBB) termasuk hak mempunyai agama/kepercayaan sesuai dengan pilihannya, hak untuk beribadah dan lain-lain.
Akan tetapi, jaminan hukum dan konstitusi belum bisa dilaksanakan secara baik. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan/kepercayaan di negeri ini belum bisa menikmati hak atas kebebasan beragama/kepercayaan.
Kemudian juga, masih minimnya penegakan hukum secara adil atas kasus-kasus kekerasan/pelanggaran KBB. Aparat Penegak Hukum (APH) belum bisa bertindak independen dalam penegakan hukum tersebut, dan lebih banyak tunduk kepada tekanan massa.
Maka dari itu, lahirlah sembilan rekomendasi meliputi, pertama mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pengelolaan keragaman secara adil seperti model pengelolaan keragaman yang dilakukan oleh Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.
Kedua melakukan revisi tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri tentang izin mendirikan rumah ibadah, dan juga revisi aturan-aturan sejenis di tingkat lokal.
Ketiga membentuk mekanisme yang transparan dan partisipatif untuk meninjau ulang (review) aturan-aturan di daerah yang melanggar konstitusi/peraturan-peraturan yang lebih tinggi oleh pemerintah pusat (Depdagri).
Keempat menyediakan pendidikan KBB untuk Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Jaksa, Hakim, Polisi dan Advokat.
Kelima membekali aparat keamanan dengan kapasitas yang memadai untuk mengantisipasi ancaman hasutan kebencian bekerja sama dengan kekuatan masyarakat yang relevan. Di samping itu, masyarakat perlu menyadari bahaya ujaran kebencian, karena itu penting memasukkan dalam kode etik larangan hasutan kebencian dalam kode etik lembaga masyarakat sipil seperti sekolah dan lain-lain.
Keenam mendorong dialog antara APH, masyarakat, dan pimpinan-pimpinan keagamaan/kepercayaan untuk mencegah dan mencari solusi permasalahan keagamaan.
Ketujuh menghapuskan aturan-aturan keagamaan yang diskriminatif dan anti keragaman di sekolah-sekolah negeri.
Kedelapan mengembalikan fungsi sekolah sebagai pemersatu, penyemai kebangsaan dan penguat rasa kebangsaan.
Kesembilan memfasilitasi kebebasan berekspresi melalui media cetak, siar, dan online untuk kepentingan masyarakat umum dalam melindungi keberagaman umat beragama.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014