Sungai Raya, Kalbar, 11/9 (Antara) - Sebanyak 26 masyarakat penggarap lahan pertanian di kawasan bandara Supadio Pontianak menuntut kompensasi dari 12 hektare lahan yang digarap oleh mereka selama puluhan tahun.

"Sebagai kuasa hukum, saya hanya menginginkan agar masyarakat penggarap ini mendapatkan hak mereka dari pihak PT Angkasa Pura II Pontianak. Biar bagaimana pun mereka juga manusia dan mereka berhak atas hak garapan mereka," kata kuasa hukum penggarap, Dahlia SH, MA di Sungai Raya, Selasa.

Dia menjelaskan, awalnya lahan yang ada di bandara Supadio itu merupakan lahan milik kesultanan Pontianak yang kemudian dikelola oleh Bandara Supadio Pontianak. Namun, 26 masyarakat penggarap lahan di sekitar bandara Supadio itu sudah mencari nafkah sejak tahun 1949, sedangkan sertifikat kepemilikan bandara Supadio itu diterbitkan pada tahun 1981.

"Berdasarkan UU tentang Agraria, penggarap suatu lahan juga memiliki hak atas lahan yang sudah mereka garap, apa lagi jika lahan itu sudah digarap puluhan tahun lamanya," tuturnya.

Ditempat yang sama, Ketua DPW Lembaga Pemantau Penyelenggara Trias Politika (LP2TRI) Kusnan didampingi sekretarisnya Darsono menambahkan, jika pihak pengelola bandara Supadio Pontianak tidak memberikan hak para penggarap tersebut, maka ke depan mereka tidak akan memiliki mata pencarian lain.

"Paling tidak ada dana pengganti dari PT Angkasa Pura untuk para petani, agar mereka bisa membuka usaha baru sebagai ganti dari lahan yang mereka garap selama ini yang menjadi tempat pencarian mereka," katanya.

Dia menegaskan, untuk menggugah kesadaran dari pihak PT. Angkasa Pura II, 26 penggarap lahan itu memasang plang bertuliskan "Tanah ini di bawah pengawasan kuasa LP2TRI dikarenakan pihak bandara belum merealisasikan surat Soemediono atas nama Kepala Pelabuhan Udara Supadio Nomor PO/038/V/75/KPU dan SKT Nomor 1027/TN/1975 kepada penggarap".

"Kita harapkan, ini menjadi perhatian serius dari pihak pengelola bandara atas hak dari para penggarap lahan. Karena selama ini pengelola bandara Supadio tidak pernah menjelaskan berapa kompensasi yang akan diberikan kepada penggarap, itu yang menyebabkan masyarakat menjadi gerah dan melakukan langkah ini," katanya.

Sementara itu, salah seorang penggarap lahan di kawasan bandara Supadio, Bairun bin Tuban yang juga warga Wonodadi 2 Kecamatan Sungai Raya mengaku sedih karena tidak diperbolehkan lagi menggarap lahan di bandara itu. Pasalnya, selama lebih dari 30 tahun dia dan istrinya menggarap lahan tersebut.

"Kalau sudah tidak diperbolehkan lagi untuk menggarap lahan ini, jelas saya bingung mau cari makan dimana lagi. Karena selama ini, lahan ini lah yang menghidupi keluarga saya," katanya.

Bairun sendiri menggarap 5000 meter persegi dari 12 hektare lahan yang ada di bandara itu. Dia mengaku dalam satu tahun, lahan yang digarapnya bisa menghasilkan 700 kilogram beras dan digunakan untuk makan sehari-hari.

"Kami sadar lahan ini bukan milik kami, tapi setidaknya kami mengharapkan belas kasih dari PT Angkasa Pura dari jerih payah kami selama menggarap lahan tersebut," tuturnya. ***2***


(U.KR-RDO//N005) 

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014