Pontianak (Antara Kalbar) - Kamar Dagang dan Industri Daerah Kalimantan Barat menyatakan lemahnya ekspor daerah maupun tingkat nasional salah satu pemicu anjloknya nilai mata uang rupiah atas dolar AS.

"Lemahnya ekspor juga dipicu oleh kelemahan regulasi pemerintahan masa lalu, hal itu dapat dilihat dari banyaknya hambatan ekspor pada produk kehutanan, pertanian, dan pertambangan," kata Pengurus Kompartemen Luar Negeri Kadin Kalbar, Rudyzar Zaidar Mochtar saat dihubungi di Pontianak, Kamis.

Ia menilai pemerintah terlalu memaksakan kehendak untuk menjadikan produk-produk ekspor itu menjadi barang jadi. Sementara barang jadi, jika dijual di dalam negeri, juga mengalami masalah, seperti mahalnya biaya transportasi.

"Sementara kalau mau dieksporpun, terlalu banyak hambatan birokrasi," kata Rudyzar.

Menurut dia pemerintah seyogyanya merevisi kembali peraturan-peraturan yang tidak penting dan terkesan hanya bersifat administrasi serta membebani dunia usaha, misalnya dokumen ekspor yang yang wajib diberlakukan, padahal negara tujuan sesungguhnya tidak mewajibkan hal itu.

Begitu pula dengan kebijakan impor barang, yang seharusnya diperketat. "Saya kira ini salah satu cara untuk menekan dolar AS. Kebijakan impor barang harus ditinjau kembali," jelas Rudyzar.

Saat ini pemerintah telah panik dengan naiknya dolar. Di satu sisi ekspor Indonesia lebih kecil, dibandingkan impor, sementara hutang luar negeri banyak yang sudah jatuh tempo. Ditambah lagi dengan tingginya animo masyarakat Indonesia keluar negeri untuk berlibur atau berwisata religius, katanya.

Dari sisi lain ekspor banyak tetapi devisa ekspor tidak balik ke tanah air dikarenakan kepemilikan perusahaan banyak dikuasai orang asing. Sementara Bank Indonesia telah memperketat dolar untuk transaksi dalam negeri berbentuk rupiah. Bahkan eksportir kecil, jika menarik dolar di bank devisa saat ini sifatnya sudah harus mengisi macam-macam formulir, ujarnya.

Rudyzar menegaskan, seharusnya pemerintah membuat regulasi, atau meninjau ulang peraturan yang ada, khususnya peraturan yang hanya bersifat "lips service" saja, atau untuk kepentingan kelompok tertentu saja.

"Pemerintah kami minta tidak mengeluarkan kebijakan yang bersifat melarang, tetapi tidak pernah ada solusi," katanya.

Rudyzar menambahkan kebijakan yang tidak masuk akal seperti itu, adalah peninggalan pemerintah sebelumnya. Peraturan yang dibuat di sektor pertambangan, kehutanan, dan perdagangan, sebaiknya ditinjau kembali agar orang kembali bergairah untuk berusaha. Di satu sisi, perusahaan dalam negeri satu per satu sudah tutup alias gulung tikar, seperti di sektor industri kehutanan dan pertambangan.

Sebagai contoh, Permendag 35/M-DAG/PER/11/2011 dan peraturan lainnya. "Dalam peraturan tersebut setiap dua tahun akan dievaluasi, tetapi hingga saat ini tidak pernah ada evaluasi, apalagi perubahan, sehingga hanya janji-janji `surga`, harusnya itu tetap dievaluasi, jangan menunggu badai datang baru di lakukan," kata Rudyzar.

Sementara di satu sisi, kata Rudyzar pemerintah mulai jam 00.00 pada 2015, akan memberlakukan kebijakan, yakni seluruh produk industri kehutanan harus mengantongi dokumen Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). "Pada saat itu juga, perdagangan bebas ASEAN akan menyerbu Indonesia dengan pangsa pasar terbesar ke-4 di dunia," katanya.

Kebijakan tersebut dianggap akan membunuh usaha kecil, dikarenakan birokrasi dan biaya mahal untuk pengurusan SVLK, kendati kayu tersebut berasal dari kebun sendiri.

Rudyzar mengapresiasi gebrakan yang dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Hanya di kementerian Susi-lah roda pemerintahan berlari kencang. Sedangkan di kementerian lain, masih berjalan seperti `siput`," ungkapnya.

Pewarta: Andilala

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014