Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Puskepi Sofyano Zakaria mendesak pemerintah merevisi PP No. 11/2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Perhubungan, karena dampaknya harga BBM di Indonesia menjadi termahal di dunia.
"Bayangkan saja harga BBM jenis solar non subsidi dikonversi dari liter ke kilogram maka harga Rp9.600 /kilogram ditambah harga tarif pengawasan yang dikenakan menurut PP No. 11 Tahun 2015 sebesar Rp25 ribu/kilogram, sehingga biaya pengawasannya sangat tinggi ketimbangan harga BBM itu sendiri," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan PP No. 11/2015 sebagai pengganti PP No. 6/2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 74/2013 tentang Perubahan atas PP No. 6/2009.
Sofyano mempertanyakan penerbitan PP No. 11/2015 tersebut adalah tentang tarif untuk jenis pengawasan bongkar/muat pengangkutan barang berbahaya, yang mengkategorikan BBM dalam jenis barang berbahaya, sehingga harus dipungut biaya pengawasan atas bongkar muat pengangkutannya.
"Yang sangat mengherankan saya, biaya Pengawasan atas BBM tersebut menurut PP No. 11/2015 ditetapkan sebesar Rp25 ribu/kilogram. maka PP ini sangat tidak logis. Artinya PP No. 11/2015 itu, akan membuat harga BBM dinegeri ini menjadi mahal, dan sangat tidak masuk akal," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, dia mempertanyakan apakah dalam penyusunan PP No. 11/2015 itu tidak menjadi perhatian dari para penyusun PP tersebut. "Diberlakukanhya PP tersebut, sangat berpotensi melumpuhkan kehidupan negeri ini, karena harga BBM akan menjadi termahal di dunia karena harus dibebani dengan biaya tambahan berupa biaya pengawasan sebesar Rp25 ribu/kilogram, sehingga bisa melumpuhkan negara," katanya.
Pengenaan tarif pengawasan terhadap BBM itu, menurut dia pasti akan menimbulkan dampak luar biasa terhadap harga BBM, dan ini akan berdampak terhadap perekonomian pula. Karenanya pemerintah harus segera merevisi PP No. 11/2015 tersebut agar tidak menimbulkan "geger BBM" khususnya BBM yang diangkut dengan menggunakan fasilitas pelabuhan laut.
Sofyano mendesak menteri ESDM segera berkoordinasi dengan Menhub dan Menko Perekonomian, serta Menko Maritim untuk membahas PP No. 11/2015 tersebut sebelum masyarakat maritim mempermasalahkan keberadaan PP tersebut.
"Presiden harus segera mengeluarkan Perpres menunda pelaksanaan PP No. 11/2015 tersebut, atau setidaknya menteri perhubungan mengeluarkan peraturan menteri mengkecualikan BBM dari jenis barang berbahaya yang dimaksud dalam PP tersebut," kata Direktur Puskepi.
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menyatakan PP No. 11/2015 yang baru dikeluarkan itu sangat menyesatkan dan memberatkan rakyat karena memasukan BBM dalam kategori barang berbahaya.
"Apabila dianggap berbahaya maka seharusnya pemerintah melarang pemakaian BBM. Masalah ini selain akan membebani masyarakat, juga akan mendorong naiknya harga BBM karena dikenakan pungutan tambahan, serta dikategorikan melakukan kebohongan publik hanya sekedar untuk dapat memungut dana dari masyarakat," ungkapnya.
Mestinya, menurut dia menteri ESDM meminta pembatalan penerapan PP ini khususnya untuk BBM, itulah fungsinya menteri ESDM. Kalau tidak maka tidak ada menteri ESDM.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Bayangkan saja harga BBM jenis solar non subsidi dikonversi dari liter ke kilogram maka harga Rp9.600 /kilogram ditambah harga tarif pengawasan yang dikenakan menurut PP No. 11 Tahun 2015 sebesar Rp25 ribu/kilogram, sehingga biaya pengawasannya sangat tinggi ketimbangan harga BBM itu sendiri," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan PP No. 11/2015 sebagai pengganti PP No. 6/2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 74/2013 tentang Perubahan atas PP No. 6/2009.
Sofyano mempertanyakan penerbitan PP No. 11/2015 tersebut adalah tentang tarif untuk jenis pengawasan bongkar/muat pengangkutan barang berbahaya, yang mengkategorikan BBM dalam jenis barang berbahaya, sehingga harus dipungut biaya pengawasan atas bongkar muat pengangkutannya.
"Yang sangat mengherankan saya, biaya Pengawasan atas BBM tersebut menurut PP No. 11/2015 ditetapkan sebesar Rp25 ribu/kilogram. maka PP ini sangat tidak logis. Artinya PP No. 11/2015 itu, akan membuat harga BBM dinegeri ini menjadi mahal, dan sangat tidak masuk akal," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, dia mempertanyakan apakah dalam penyusunan PP No. 11/2015 itu tidak menjadi perhatian dari para penyusun PP tersebut. "Diberlakukanhya PP tersebut, sangat berpotensi melumpuhkan kehidupan negeri ini, karena harga BBM akan menjadi termahal di dunia karena harus dibebani dengan biaya tambahan berupa biaya pengawasan sebesar Rp25 ribu/kilogram, sehingga bisa melumpuhkan negara," katanya.
Pengenaan tarif pengawasan terhadap BBM itu, menurut dia pasti akan menimbulkan dampak luar biasa terhadap harga BBM, dan ini akan berdampak terhadap perekonomian pula. Karenanya pemerintah harus segera merevisi PP No. 11/2015 tersebut agar tidak menimbulkan "geger BBM" khususnya BBM yang diangkut dengan menggunakan fasilitas pelabuhan laut.
Sofyano mendesak menteri ESDM segera berkoordinasi dengan Menhub dan Menko Perekonomian, serta Menko Maritim untuk membahas PP No. 11/2015 tersebut sebelum masyarakat maritim mempermasalahkan keberadaan PP tersebut.
"Presiden harus segera mengeluarkan Perpres menunda pelaksanaan PP No. 11/2015 tersebut, atau setidaknya menteri perhubungan mengeluarkan peraturan menteri mengkecualikan BBM dari jenis barang berbahaya yang dimaksud dalam PP tersebut," kata Direktur Puskepi.
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menyatakan PP No. 11/2015 yang baru dikeluarkan itu sangat menyesatkan dan memberatkan rakyat karena memasukan BBM dalam kategori barang berbahaya.
"Apabila dianggap berbahaya maka seharusnya pemerintah melarang pemakaian BBM. Masalah ini selain akan membebani masyarakat, juga akan mendorong naiknya harga BBM karena dikenakan pungutan tambahan, serta dikategorikan melakukan kebohongan publik hanya sekedar untuk dapat memungut dana dari masyarakat," ungkapnya.
Mestinya, menurut dia menteri ESDM meminta pembatalan penerapan PP ini khususnya untuk BBM, itulah fungsinya menteri ESDM. Kalau tidak maka tidak ada menteri ESDM.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015