Pontianak  (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan sebaiknya pemerintah mendorong agar bisnis gas non subsidi tidak hanya dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) sehingga harga gas tabung 12 kilogram tersebut bisa kompetitif.

"Kalau bisnis gas tidak hanya dilakukan oleh Pertamina, sehingga harga jual gas non subsidi tersebut bisa bersaing," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan, jika pemerintah prihatin dengan harga gas tabung 12 kilogram yang selalu dikoreksi sesuai harga pasar CP Aramco, maka pemerintah harus menetapkan bahwa gas 12 kilogram sebagai barang yang disubsidi.

"Sepanjang gas tabung 12 kilogram ditetapkan sebagai gas umum atau non subsidi, maka harga jualnya tetap merupakan kewenangan badan usaha niaga gas," ungkapnya.

Menurut Permen ESDM No. 26/2009, gas tabung 12 kilogram ditetapkan sebagai gas umum yang tidak disubsidi pemerintah, oleh karenanya harganya sepenuhnya diatur dan ditetapkan oleh badan usaha niaga elpiji/gas dalam hal ini adalah Pertamina, katanya.

Dalam hal ini, Pertamina hanya wajib melaporkan saja ke pemerintah jika akan menetapkan harga jual. Jadi tidak perlu meminta izin atau meminta persetujuan pemerintah, yang kini sekitar 60 persen kebutuhan gas dalam negeri diimpor, termasuk gas non subsidi.

Harga gas mengacu ke harga CP Aramco, dan untuk April 2015 berada dikisaran Rp7 ribu/kilogram, itu diluar ongkos angkut, marjin SPBE, marjin agen, marjin pertamina, PPN, dan biaya biaya lain. "Atau menurut perhitungan saya, harga jual gas non subsidi yang pantas di masyarakat berkisar Rp13 ribu atau Rp150 ribu/tabung 12 kilogram," ujarnya.

Menurut Sofyano gas tabung 12 kilogram karena bukan gas bersubsidi maka penetapan harganya sama dengan harga minyak goreng, gula, atau beras yang harganya mengacu ke harga pasar, sehingga tidak memerlukan sosialisasi dari pelakunya, dan itulah yang seharusnya disikapi oleh pemerintah.

"Selama ini Pertamina terpaksa menjual rugi gas non subsidi yang kerugiannya mencapai belasan triliun rupiah/tahun. Ini harus dipahami juga oleh pemerintah, dan hanya Pertamina yang mau dan terpaksa melakukan bisnis gas tabung 12 kilogram itu," ungkapnya.

Padahal, Pertamina sebagai perusahaan persero dan sebagai BUMN, menurut PP No. 12/1998 tentang Perusahaan Perseroan, diwajibkan memupuk keuntungan, dan menurut UU No. 19/2003 tentang BUMN diwajibkan secara tegas untuk mengejar keuntungan termasuk ketika melakukan tugas PSO (public service obligation) dari pemerintah.

"Sehingga, jika pemerintah atau pihak legislatif `memaksa` Pertamina menjual rugi gas tabung 12 kilogram, dan atau Pertamina sengaja secara terus menerus menjual gas non subsidi dengan rugi, maka pemerintah dan Pertamina bisa dikatakan melanggar UU," kata Sofyano.

Karena, sepanjang gas tabung 12 kilogram tidak ditetapkan secara hukum sebagai gas yang disubsidi, maka pemerintah tidak boleh "mensubsidi" gas non subsidi itu dalam bentuk apapun juga, walau dengan pertimbangan untuk kepentingan masyarakat banyak sekalipun, katanya.

Sementara itu, kerugian yang diderita Pertamina jika menjual gas tabung 12 kilogram dibawah harga keekonomian, tidak bisa ditutupi atau dikompensasi oleh pemerintah dengan pengurangan dividen pemerintah dari keuntungan Pertamina, katanya.

Mengintervensi badan usaha niaga elpiji yang berbentuk BUMN untuk tujuan dan kepentingan apapun, jelas perbuatan melanggar UU BUMN, katanya.

Direktur Puskepi menambahkan, kerugian tetap dicatat dalam pembukuan sebagai kerugian, dan itu tidak bisa ditutupi dengan pemotongan dividen. Jadi jika pemerintah ingin Pertamina menjual gas non subsidi dengan harga dibawah harga keekonomian demi kepentingan masyarakat banyak, maka satu-satunya solusinya, adalah menetapkan dalam PP, yakni peraturan menteri ESDM, bahwa gas tabung 12 kilogram disubsidi oleh pemerintah.

"Dengan begitu pemerintahlah yang mengatur dan menetapkan harga jual gas tabung 12 kilogram tersebut," katanya.





Pewarta: Andilala

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015