Dhaka (Antara Kalbar/Xinhua-OANA) - Meskipun pemerintah telah melancarkan berbagai upaya guna menghentikan praktek itu, pernikahan dini tetap masih marak di daerah pedesaan di Bangladesh.
Akibat dari perbuataan semacam itu ialah terjadi lah letusan pertambahan penduduk selain merajalelanya buta huruf dan kurangnya pemberdayaan perempuan di negeri tersebut.
Ketentuan resmi usia minimum bagi perkawinan di kalangan perempuan ialah 18 tahun dan bagi lelaki 21 tahun. Tapi banyak perempuan desa menikah pada usia 11 atau 12 tahun.
Ada banyak penyebab terjadinya pernikahan dini, tapi alasan yang paling utama, di antaranya, ialah kemiskinan, takhayul, kurangnya pendidikan yang layak dan keamanan sosial, kata Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.
Pertumbuhan penduduk di Bangladesh sedikit di atas dua persen, dengan total penduduk sebanyak 160 juta jiwa. Bangladesh adalah salah satu negara paling miskin dan paling padat penduduk di dunia.
Kementerian Urusan Perempuan dan Anak di negeri itu tak bisa memberi jumlah pasti pernikahan dini dalam setahun. Namun jumlah pernikahan dini, katanya, telah turun dengan terlihatnya peningkatan pada pendaftaraan anak perempuan di sekolah.
Kementerian tersebut menyatakan pendidikan yang layak telah meningkatkan kesadaran di kalangan perempuan Bangladesh mengenai dampak negatif dari pernikahan dini, bukan hanya pada kesehatan mereka tapi pada status ekonomi mereka.
Pada kenyataannya, kata kementerian itu, makin banyak anak perempuan memprotes pernikahan paksa pada usia dini dan laporan mengenai protes tersebut terus disiarkan oleh berbagai surat kabar.
Satu stasiun televisi swasta, Shamoy, pada 27 Maret melaporkan orang tua telah memukuli anak perempuan mereka setelah anak perempuan itu menolak untuk dinikahkan dan malah mengikuti ujian akhir di sekolahnya. Anak perempuan tersebut menolak perkawinan yang diatus buat dia oleh orang tuanya dan mengatakan kepada stasiun televisi itu ia ingin melanjutkan studinya untuk menjadi seorang dokter pada suatu hari.
Peristiwa tersebut terjadi di satu desa terpencil di Kabupaten Joypurhat di Bangladesh Utara.
Perkawinan paksa masih umum terjadi di daerah pedesaan di Bangladesh dan biasanya anak perempuan tak memiliki pilihan kecuali mengikuti kemauan orang tua mereka.
Satu peristiwa lain sebelumnya terjadi di Kabupaten Barguna. Karena menentang perkawinan yang sudah diatur, seorang anak perempuan melarikan diri ke Ibu Kota Bangladesh, Dhaka, dan meminta bantuan dari lembaga terkait pemerintah. Ia diberi perlindungan dan bantuan oleh pemerintah.
Anak perempuan cerdas itu dilaporkan dipaksa menikah dengan seorang lelaki di luar kemauannya. Ia belakangan mengakhiri perkawinannya dan pergi ke sekolah dan orang tuanya tak bisa berbuat apa-apa.
Berbagai lembaga yang menangani kaum perempuan berusaha menghentikan pernikahan dini di daerah pedesaan. Mereka telah memulai kegiatan yang terutama ditujukan kepada orang tua yang masih percaya bahwa mereka memiliki hak untuk menikahkan anak perempuan mereka tanpa persetujuan anak perempuan mereka.
Pernikahan dini secara hukum dilarang di Bangladesh berdasarkan Peraturan Pengekangan Pernikahan Dini 1929. Peraturan itu menetapkan usia sah bagi pernikahan buat anak perempuan ialah 18 tahun.
Bangladesh juga telah menerima pada 5 Oktober 1990, konvensi PBB mengenai pernikahan, usia minimal bagi pernikahan dan pendaftaran pernikahan. Namun konvensi internasional itu memiliki dampak kecil pada seringnya pernikahan dini di Bangladesh.
Pemerintah Bangladesh sebenarnya telah mempertimbangkan untuk menurunkan batas usia buat anak perempuan untuk menikah dari 18 jadi 16 tahun dengan tujuan mensahkan pernikahan dini.
Namun satu forum perempuan dengan keras menentang rencana pemerintah tersebut, dan menyatakan tindakan pemerintah itu untuk menurunkan batas usia buat anak perempuan dalam kasus tertentu kelihatannya adalah taktik untuk memberi kesan bahwa jumlah pernikahan dini telah turun di negeri itu.
(C003/Chaidar)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
Akibat dari perbuataan semacam itu ialah terjadi lah letusan pertambahan penduduk selain merajalelanya buta huruf dan kurangnya pemberdayaan perempuan di negeri tersebut.
Ketentuan resmi usia minimum bagi perkawinan di kalangan perempuan ialah 18 tahun dan bagi lelaki 21 tahun. Tapi banyak perempuan desa menikah pada usia 11 atau 12 tahun.
Ada banyak penyebab terjadinya pernikahan dini, tapi alasan yang paling utama, di antaranya, ialah kemiskinan, takhayul, kurangnya pendidikan yang layak dan keamanan sosial, kata Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.
Pertumbuhan penduduk di Bangladesh sedikit di atas dua persen, dengan total penduduk sebanyak 160 juta jiwa. Bangladesh adalah salah satu negara paling miskin dan paling padat penduduk di dunia.
Kementerian Urusan Perempuan dan Anak di negeri itu tak bisa memberi jumlah pasti pernikahan dini dalam setahun. Namun jumlah pernikahan dini, katanya, telah turun dengan terlihatnya peningkatan pada pendaftaraan anak perempuan di sekolah.
Kementerian tersebut menyatakan pendidikan yang layak telah meningkatkan kesadaran di kalangan perempuan Bangladesh mengenai dampak negatif dari pernikahan dini, bukan hanya pada kesehatan mereka tapi pada status ekonomi mereka.
Pada kenyataannya, kata kementerian itu, makin banyak anak perempuan memprotes pernikahan paksa pada usia dini dan laporan mengenai protes tersebut terus disiarkan oleh berbagai surat kabar.
Satu stasiun televisi swasta, Shamoy, pada 27 Maret melaporkan orang tua telah memukuli anak perempuan mereka setelah anak perempuan itu menolak untuk dinikahkan dan malah mengikuti ujian akhir di sekolahnya. Anak perempuan tersebut menolak perkawinan yang diatus buat dia oleh orang tuanya dan mengatakan kepada stasiun televisi itu ia ingin melanjutkan studinya untuk menjadi seorang dokter pada suatu hari.
Peristiwa tersebut terjadi di satu desa terpencil di Kabupaten Joypurhat di Bangladesh Utara.
Perkawinan paksa masih umum terjadi di daerah pedesaan di Bangladesh dan biasanya anak perempuan tak memiliki pilihan kecuali mengikuti kemauan orang tua mereka.
Satu peristiwa lain sebelumnya terjadi di Kabupaten Barguna. Karena menentang perkawinan yang sudah diatur, seorang anak perempuan melarikan diri ke Ibu Kota Bangladesh, Dhaka, dan meminta bantuan dari lembaga terkait pemerintah. Ia diberi perlindungan dan bantuan oleh pemerintah.
Anak perempuan cerdas itu dilaporkan dipaksa menikah dengan seorang lelaki di luar kemauannya. Ia belakangan mengakhiri perkawinannya dan pergi ke sekolah dan orang tuanya tak bisa berbuat apa-apa.
Berbagai lembaga yang menangani kaum perempuan berusaha menghentikan pernikahan dini di daerah pedesaan. Mereka telah memulai kegiatan yang terutama ditujukan kepada orang tua yang masih percaya bahwa mereka memiliki hak untuk menikahkan anak perempuan mereka tanpa persetujuan anak perempuan mereka.
Pernikahan dini secara hukum dilarang di Bangladesh berdasarkan Peraturan Pengekangan Pernikahan Dini 1929. Peraturan itu menetapkan usia sah bagi pernikahan buat anak perempuan ialah 18 tahun.
Bangladesh juga telah menerima pada 5 Oktober 1990, konvensi PBB mengenai pernikahan, usia minimal bagi pernikahan dan pendaftaran pernikahan. Namun konvensi internasional itu memiliki dampak kecil pada seringnya pernikahan dini di Bangladesh.
Pemerintah Bangladesh sebenarnya telah mempertimbangkan untuk menurunkan batas usia buat anak perempuan untuk menikah dari 18 jadi 16 tahun dengan tujuan mensahkan pernikahan dini.
Namun satu forum perempuan dengan keras menentang rencana pemerintah tersebut, dan menyatakan tindakan pemerintah itu untuk menurunkan batas usia buat anak perempuan dalam kasus tertentu kelihatannya adalah taktik untuk memberi kesan bahwa jumlah pernikahan dini telah turun di negeri itu.
(C003/Chaidar)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015