Putussibau (Antara Kalbar) - Pekerjaan memecah batu ternyata tidak hanya dilakukan kaum lelaki. Ketika menelusuri tepian Sungai Kapuas, tepatnya di Desa Pala Pulau, Kecamatan Putussibau Utara, terlihat beberapa gubuk beratap daun dan didalamnya ada sejumlah wanita dari desa setempat yang sedang memecah batu.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
Bongkahan batu berukuran mini itu diangkat dari Sungai Kapuas menggunakan mesin. Setelah di darat, oleh pekerja, batu tersebut dipindahkan ke dalam gubuk masing-masing untuk dipecah. Batu hasil pecahan para wanita itu dibeli oleh penampung, dengan sistem pesanan, yang di hargai Rp150 ribu perkubik.
Hajijah (43) ketika dijumpai di lokasi pemecahan batu mengungkapkan, menggeluti pekerjaan memecah batu itu bukan pilihan. Namun karena kesulitan ekonomi dalam keluarga, ia pun harus melakukannya.
Hajijah menceritakan, pekerjaan sebagai pemecah batu dimulainya sejak tiga tahun silam. Harga batu tersebut digunakan untuk menunjang perekonomian keluarga, seperti membeli beras dan jajan anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Lantaran suaminya hanya sebagai penoreh karet.
"Lumayanlah mas untuk nambah jajan anak sekolah. Sekarang karet hampir tidak ada harganya, semua harga barang pada naik," tutur Hajijah sambil menyeka keringat di mukanya.
Ada sembilan wanita rekan Hajijah yang juga bekerja sebagai pemecah batu. Jadwal mereka turun ke lokasi pemecahan batu juga tak beda jauh dengan waktu PNS, maupun pegawai swasta pergi ke kantor.
"Kami turun bekerja jam 08.00 Wib sampai jam 05.00 Wib sore. Hanya hari Jumat kami ndak turun," ujarnya.
Hajijah mengaku, kemampuannya memecah batu dalam sehari hanya setengah kubik. Untuk mendapatkan jumlah tersebut, kata dia tentu membutuhkan tenaga ekstra. Sehingga tak jarang Hajijah mengaku sering jatuh sakit.
Dari sisi harga, Rp150 perkubik itu memang cukup untuk menambah penghasilan keluarga. Namun persoalan lain yang dikeluhkan pemecah batu ada pada pembeli.
Norsemah (37) mengatakan, pemasaran batu yang sudah dipecahakan mereka itu tergantung pesanan. Tak jarang Norsemah dan rekannya kecewa setelah batu dipecah, namun tidak ada pembelinya.
"Kalau memang banyak pesanan yang mau beli, kami pun semangat mecahkan batu ini," ucapnya.
Ibu tiga anak ini mengaku sangat menekuni pekerjaannya. Bagi Norsemah, memecah batu juga merupakan lapangan kerja yang harus disyukuri. Apalagi suasana di lokasi kerja menurutnya ada kecocokan, sesama jenis satu profesi. Sehingga pekerjaan bukan lagi menjadi beban.
"Yang penting kerjaan ini halal dan bisa bantu meringankan beban suami. Dibawa enak aja. Kalau sudah jam istrahat, kami ngumpul dan bergosip," kata Norsemah tersenyum.
Menurut dia, pekerjaan memecah batu memang beresiko, sehingga teknik memecahnya harus benar. Jika tidak maka pecahan batu tersebut bisa mengenai mata. Namun karena sudah berpengalaman memecah batu, Norsemah dan rekannya tidak memakai pengaman apapun.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015