Jakarta (Antara Kalbar) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengemukakan bahwa bentuk dan jenis ancaman yang dilakukan terhadap saksi dan korban dari suatu kasus hukum kini semakin berkembang dan tidak hanya sebatas ancaman fisik.
"Ada perkembangan mengenai bentuk dan jenis ancaman terhadap saksi dan atau korban, di mana tidak lagi hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga mutasi ke tempat kerja yang jauh dan ancaman untuk tidak memberikan hak-hak," kata Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Menurut Lies, hal tersebut terkadang tidak hanya ditujukan kepada saksi atau korban secara langsung, melainkan juga kepada pihak keluarga saksi dan atau korban yang akan memberikan kesaksian dalam suatu tindak pidana.
Untuk itulah, ujar dia, LPSK melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum guna memudahkan koordinasi jika ada kasus-kasus seperti tersebut.
Sedangkan mengenai pemberian identitas baru, ia mengemukakan bahwa sampai saat ini LPSK belum pernah melakukannya.
Hal ini disebabkan proses pemberian identitas baru kepada saksi atau korban tidak semudah menyebutkannya, karena banyak proses dan konsekuensi yang mengikuti di belakangnya.
Lies memaparkan, seandainya ada saksi atau korban yang terpaksa harus berganti identitas, semua data yang bersangkutan juga ikut berganti, mulai dari akta lahir, ijazah, hingga rekening bank.
Konsekuensinya, semua yang dimiliki sebelumnya akan hilang dan berganti dengan yang baru. "Karena identitasnya baru, semua data berganti, dan tentu saja hubungan kekerabatan dan keluarga juga akan terputus. Jadi, memang tidak mudah pelaksanaannya," ujar Lies.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memperkuat kerja sama nota kesepahaman (MoU) mengenai perlindungan terhadap "Whistleblower" dan "Justice Collaborator".
"Jajaran Kemenkumham mendukung nota kesepahaman Whistleblower dan Justice Collabarator," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui keterangan tertulis di Jakarta Selasa (28/4).
Semendawai mengatakan perpanjangan kesepahaman itu mendorong agar pihak yang mengetahui tindak pidana membongkar kasus besar secara sukarela sehingga akan memudahkan penegak hukum membongkar kasus besar khususnya kejahatan transnasional yang terorganisir.
Ketua LPSK berharap kerja sama itu dapat memicu para terpidana atau tersangka yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana kasus besar mengungkapkan kesaksiannya.
"Harapannya akan semakin banyak yang melaporkan kasus besar untuk membongkar kejahatan hinga ke akarnya," ujar Semendawai.
(M040/M. Dian A)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Ada perkembangan mengenai bentuk dan jenis ancaman terhadap saksi dan atau korban, di mana tidak lagi hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga mutasi ke tempat kerja yang jauh dan ancaman untuk tidak memberikan hak-hak," kata Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Menurut Lies, hal tersebut terkadang tidak hanya ditujukan kepada saksi atau korban secara langsung, melainkan juga kepada pihak keluarga saksi dan atau korban yang akan memberikan kesaksian dalam suatu tindak pidana.
Untuk itulah, ujar dia, LPSK melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum guna memudahkan koordinasi jika ada kasus-kasus seperti tersebut.
Sedangkan mengenai pemberian identitas baru, ia mengemukakan bahwa sampai saat ini LPSK belum pernah melakukannya.
Hal ini disebabkan proses pemberian identitas baru kepada saksi atau korban tidak semudah menyebutkannya, karena banyak proses dan konsekuensi yang mengikuti di belakangnya.
Lies memaparkan, seandainya ada saksi atau korban yang terpaksa harus berganti identitas, semua data yang bersangkutan juga ikut berganti, mulai dari akta lahir, ijazah, hingga rekening bank.
Konsekuensinya, semua yang dimiliki sebelumnya akan hilang dan berganti dengan yang baru. "Karena identitasnya baru, semua data berganti, dan tentu saja hubungan kekerabatan dan keluarga juga akan terputus. Jadi, memang tidak mudah pelaksanaannya," ujar Lies.
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memperkuat kerja sama nota kesepahaman (MoU) mengenai perlindungan terhadap "Whistleblower" dan "Justice Collaborator".
"Jajaran Kemenkumham mendukung nota kesepahaman Whistleblower dan Justice Collabarator," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui keterangan tertulis di Jakarta Selasa (28/4).
Semendawai mengatakan perpanjangan kesepahaman itu mendorong agar pihak yang mengetahui tindak pidana membongkar kasus besar secara sukarela sehingga akan memudahkan penegak hukum membongkar kasus besar khususnya kejahatan transnasional yang terorganisir.
Ketua LPSK berharap kerja sama itu dapat memicu para terpidana atau tersangka yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana kasus besar mengungkapkan kesaksiannya.
"Harapannya akan semakin banyak yang melaporkan kasus besar untuk membongkar kejahatan hinga ke akarnya," ujar Semendawai.
(M040/M. Dian A)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015