Pontianak  (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Indonesia (Puskepi) Sofyano Zakaria menyatakan turunnya harga minyak dunia bisa menjadi "ancaman" terhadap perekonomian dan perusahaan minyak yang ada di Indonesia.

"Turunnya harga minyak dunia pada dasarnya bukanlah berkah bagi bangsa ini, tetapi sekaligus ancaman terhadap perekonomian negeri kita. Karena jika harga minyak terus turun dibawah harga pokok produksi, perusahaan minyak yang ada di Indonesia akan menghentikan produksinya dan berdampak semakin banyaknya PHK (pemutusan hubungan kerja) bagi pekerja mereka," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan, harga pokok produksi minyak di Indonesia dikisaran antara 25 - 30 dolar As/barel, sehingga menjadi ancaman bagi perusahaan minyak dalam negeri. Harga minyak kemungkinan akan terus turun, apalagi Amerika sudah banjir dengan shale oilnya dan juga shale gas, biaya produksi shale oil Amerika, sangat murah yakni sekitar 5 - 10 dolar AS/barel atau jauh lebih murah dari biaya produksi minyak fosil.

Disisi lain, negara-negara Arab penghasil minyak terbesar di dunia ini juga tetap ambisi untuk tidak mengurangi produksinya. Apalagi biaya pokok produksi mereka lebih murah ketimbang negara-negara lain, yaitu sekitar 5 dolar AS hingga 10 dolar AS/barel, katanya.

Murahnya biaya lifting di negara-negara Arab, itu disebabkan karena sumur-sumur minyak mereka penuh minyak, hal itu jauh berbeda dibanding dengan sumur minyak di Indonesia yang sudah nyaris "kering" sehingga perlu biaya tinggi untuk mengeluarkan minyaknya, kata Sofyano.

"Pemerintah sebaiknya menyikapi secara cerdas turunnya harga minyak dunia, dengan menahan besaran harga jual yang ada saat ini, dan mengelola keuntungan dari selisih harga tersebut untuk dipergunakan sebagai dana cadangan untuk dana stabilitasi BBM yang akan dipergunakan ketika harga minyak dunia naik kembali," ungkapnya.

Menurut dia, pemerintah juga perlu menetapkan formula harga jual BBM dan menjelaskannya kemasyarakat sehingga mereka paham berapa keuntungan dan kerugian yang dialami Pertamina ketika harga minyak dunia turun dan ketika harga minyak dunia naik kembali.

"Dengan formula harga tersebut, pemerintah harus tegas dan konsekuen menetapkan margin yang diberikan kepada Pertamina dan kepada mitranya dalam menyalurkan BBM. Margin inilah yang menjadi hak penuh Pertamina namun tidak terhadap keuntungan yang diperoleh dari selisih harga pengadaan, pengilangan dan distribusi dibanding dengan harga beli minyak dunia yang turun itu," ujarnya.

Keuntungan yang diperoleh karena tidak diturunkannya harga jual BBM tersebut bisa ditetapkan sebagai penerimaan negara, namun sebaiknya ditempatkan sebagai dana stabilitasi harga BBM yang hanya akan dipergunakan untuk menjaga tetapnya besaran harga jual BBM yang telah berlaku saat ini, katanya.

"Pemerintah juga perlu menjelaskan ke publik apa dampak akibat melemahnya rupiah terhadap harga minyak dunia yang dominan diimpor, sehingga mereka bisa memahami atas sikap dan kebjakan pemerintah terhadap harga BBM," kata Sofyano.

Besarnya keuntungan yang diperoleh pemerintah itu harus secara periodik dipublikasikan ke publik, termasuk juga ketika Pertamina mengalami kerugian akibat naiknya harga minyak dan semakin melemahnya rupiah, kata Direktur Puskepi.



Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015