Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Puskepi Sofyano Zakaria menyatakan, KPK bisa menjadikan rekaman pembicaraan antara MS, MRC dan SN sebagai pintu masuk untuk menyelidiki kasus itu, karena dinilai telah melakukan penghinaan terbesar bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
"Pembicaraan yang terdapat dalam rekaman tersebut seharusnya sudah bisa dijadikan alat bukti dan atau alas hukum oleh penegak hukm bahwa telah terjadi rencana permufakatan yang mengatasnamakan, atau setidaknya menjual nama presiden dan wakil presiden tanpa sepengetahuan mereka," kata Sofyano Zakaria kepada Antara di Pontianak, Senin malam.
Ia menjelaskan, karena kasus itu sudah menyangkut dan "menjual" nama dan jabatan presiden dan wakil presiden, ini bisa diyakini publik sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap lembaga kepresidenan dan menyangkut pula harkat dan martabat negara.
"Sehingga harus diselesaikan secara hukum dan tidak hanya harus berakhir diranah Mahkamah Kehormatan Dewan, karena ini tidak hanya menyangkut SN sebagai ketua DPR RI tetapi terkait dengan seorang pengusaha, MRC yang tidak bisa disidangkan dalam MKD tetapi harus pada ranah peradilan umum.
Dalam kesempatan itu, Sofyano menyatakan, sikap Presiden Joko Widodo yang "tersinggung keras" terhadap fitnah yang dialamatkan kepadanya terkait pembicaraan pada rekaman suara antara MS, MRC, dan SN pada kasus Freeport adalah hal yang manusiawi.
"Siapapun akan dan pantas bereaksi seperti itu. Apalagi ini dialamatkan kepada seorang kepala negara, pemimpin bangsa Indonesia. Penyebutan nama Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam pembicaraan terkait kontrak perpanjangan Freeport, semakin sangat menjatuhkan martabat bangsa, karena Jokowi dan JK adalah Presiden dan wakil Presiden yang sah dan masih memegang jabatannya," ujarnya.
Menurut dia, jika kasus rekaman itu tidak terpublikasikan ke masyarakat maka sangat mungkin "permufakatan" itu terjadi, dan mungkin bisa saja dimanfaatkan oleh mereka yang berkepentingan untuk itu, dan terlibat dalam pembicaraan yang direkam tersebut.
"Pembicaraan antara sosok pengusaha MRC dengan SN tersebut juga bisa dipahami sebagai cara untuk "menekan" secara halus Maruf Syamsoedin, Presiden Direktur Freeport agar Freeport terpengaruh dan berkemungkinan menyetujui rencana tersebut.
Terlepas dari persoalan apakah pembicaraan SN ketua DPR RI itu akan dinilai melanggar atau tidak melanggar kode etik anggota DPR yang sedang disidangkan MKD, yang jelas pembicaraan tersebut benar terjadi dan nyaris tidak dibantah oleh pihak yang terlibat dalam kasus rekaman tersebut dalam persidangan MKD, katanya.
"Pada persidangan MKD tidak pernah ada bantahan dari para pihak bahwa rekaman tersebut palsu atau hasil rekayasa teknologi. Dengan demikian, ini bisa dipahami publik ada 'rencana' permufakatan untuk mencari keuntungan pribadi dengan mengatas namakan presiden dan wakil presiden.
"Karena hal ini menyangkut harkat dan martabat presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara, harusnya penegak hukum menyikapi hal ini secara serta merta dan sesegera mungkin, artinya KPK, Kejaksaan Agung dan Polri harus segera bertindak," kata Direktur Puskepi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Pembicaraan yang terdapat dalam rekaman tersebut seharusnya sudah bisa dijadikan alat bukti dan atau alas hukum oleh penegak hukm bahwa telah terjadi rencana permufakatan yang mengatasnamakan, atau setidaknya menjual nama presiden dan wakil presiden tanpa sepengetahuan mereka," kata Sofyano Zakaria kepada Antara di Pontianak, Senin malam.
Ia menjelaskan, karena kasus itu sudah menyangkut dan "menjual" nama dan jabatan presiden dan wakil presiden, ini bisa diyakini publik sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap lembaga kepresidenan dan menyangkut pula harkat dan martabat negara.
"Sehingga harus diselesaikan secara hukum dan tidak hanya harus berakhir diranah Mahkamah Kehormatan Dewan, karena ini tidak hanya menyangkut SN sebagai ketua DPR RI tetapi terkait dengan seorang pengusaha, MRC yang tidak bisa disidangkan dalam MKD tetapi harus pada ranah peradilan umum.
Dalam kesempatan itu, Sofyano menyatakan, sikap Presiden Joko Widodo yang "tersinggung keras" terhadap fitnah yang dialamatkan kepadanya terkait pembicaraan pada rekaman suara antara MS, MRC, dan SN pada kasus Freeport adalah hal yang manusiawi.
"Siapapun akan dan pantas bereaksi seperti itu. Apalagi ini dialamatkan kepada seorang kepala negara, pemimpin bangsa Indonesia. Penyebutan nama Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam pembicaraan terkait kontrak perpanjangan Freeport, semakin sangat menjatuhkan martabat bangsa, karena Jokowi dan JK adalah Presiden dan wakil Presiden yang sah dan masih memegang jabatannya," ujarnya.
Menurut dia, jika kasus rekaman itu tidak terpublikasikan ke masyarakat maka sangat mungkin "permufakatan" itu terjadi, dan mungkin bisa saja dimanfaatkan oleh mereka yang berkepentingan untuk itu, dan terlibat dalam pembicaraan yang direkam tersebut.
"Pembicaraan antara sosok pengusaha MRC dengan SN tersebut juga bisa dipahami sebagai cara untuk "menekan" secara halus Maruf Syamsoedin, Presiden Direktur Freeport agar Freeport terpengaruh dan berkemungkinan menyetujui rencana tersebut.
Terlepas dari persoalan apakah pembicaraan SN ketua DPR RI itu akan dinilai melanggar atau tidak melanggar kode etik anggota DPR yang sedang disidangkan MKD, yang jelas pembicaraan tersebut benar terjadi dan nyaris tidak dibantah oleh pihak yang terlibat dalam kasus rekaman tersebut dalam persidangan MKD, katanya.
"Pada persidangan MKD tidak pernah ada bantahan dari para pihak bahwa rekaman tersebut palsu atau hasil rekayasa teknologi. Dengan demikian, ini bisa dipahami publik ada 'rencana' permufakatan untuk mencari keuntungan pribadi dengan mengatas namakan presiden dan wakil presiden.
"Karena hal ini menyangkut harkat dan martabat presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara, harusnya penegak hukum menyikapi hal ini secara serta merta dan sesegera mungkin, artinya KPK, Kejaksaan Agung dan Polri harus segera bertindak," kata Direktur Puskepi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015