Pontianak  (Antara Kalbar) - Staf Ahli Bidang Energi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Arief Yuwono mengatakan, Indonesia akan meminimalisasi kebakaran hutan dan lahan yang rutin terjadi dengan restorasi lahan gambut.

"Bahkan sampai saat ini, kita sudah memiliki badan khusus yang menangani restorasi lahan gambut tersebut," kata Arief, saat menghadiri rapat evaluasi penanganan bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalbar, Pontianak, Rabu.

Dia menjelaskan, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah yang luar biasa aktif dalam penanggulangan kebakaran lahan, karena hal itu sudah menjadi perhatian dunia. Diharapkan pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya bisa ikut bekerja maksimal dalam penanggulangan pembakaran lahan danhutan tersebut.

"Kita sudah memiliki sistem pencegahan yang luar biasa, dimulai dari antisipasi di tempat kejadian, kemudian kita bisa melacak dari mana asal asap, kita juga bisa memprediksi berbagai faktor dalam tujuh hari kedepan terkait perubahan cuaca. Diharapkan dengan berbagai upaya antisipasi yang kita lakukan, kita bisa meminimalisir bahkan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan untuk tahun ini, dan tahun-tahun berikutnya," tuturnya.

Arief menjelaskan, aktivitas pembakaran hutan dan lahan tidak hanya terjadi di Indonsia, tetapi juga di Thailand, Philiphina, Vietnam dan beberapa negara lainnya.

"Untuk itu, kedepan, kita akan mengembalikan fungsi lahan gambut, agar bisa berfungsi dengan baik, dalam penyerapan karbon, sehingga bisa menstabilkan iklim udara dunia. Kita memiliki banyak lahan gambut dan ini menjadi salah satu aset yang harus dipertahankan agar tidak rusak oleh aktivitas perkebunan, pertambangan atau aktivitas lainnya," tuturnya.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki luas lahan rawa gambut yang diperkirakan mencapai 20,6 juta hektare atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dengan potensi lahan gambut tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi paru-paru bagi dunia.

"Dalam pencegahan pembakaran hutan dan lahan, kita juga sudah bergabung dengan beberapa negara lainnya dan terlibat dalam kesepakatan COP21 (Konferensi Perubahan Iklim Dunia ke-21), dimana COP21 tersebut menyepakati batas kenaikan suhu rata-rata global dibawah 2 derajat Celcius pra industri dan berupaya menekan hingga suhu 1,5 derajat Celcius sebagai upaya signifikan mengurangi resiko dampak perubahan iklim," jelasnya.

Dalam KOP21 itu, lanjutnya, setiap negara dalam menekan emisi gas rumah kaca dilakukan secepat mungkin dengan catatan mengembangkan teknologi dan kegiatan menahan dan menyerap karbon. Upaya tersebut harus didukung dengan pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan.

"Untuk mendukung itu, sebelum tahun 2025 akan ada pendanaan 100 miliar dolar AS pertahun dari negara maju ke negara berkembang. Dan ini menjadi komitmen bersama dalam menekan semakin tingginya pemanasan global," tuturnya.



(U.KR-RDO/T011)

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016